BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang masalah
Peradilan di Indonesia
merupakan suatu bentuk usaha negara untuk mewujudkan kesejahteraan di
tengah-tengah masyarakatnya, namun untuk menciptakan dan mengerti dengan bentuk
usaha negara tersebut, tentu kita dituntut untuk tau seperti peradilan di
Indonesia tersebut dan terdapat di dalam peradilan
diindonesia tersebut terdapat peradilan yg bersifat khusus dalam jobdes
kerjanya adalah mengadili perkara-perkara yg bersifat khusus dan hanya khusus
untuk orang-orang muslim. Lembaga peradilan adalah salah satu upaya hukum
Negara untuk lebih menertibkan dasar-dasar hukum baik yg terdapat dalam
pancasila ataupun UUD yg kesemuanya tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni
keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita harus mengetahui mulai
dari pengertian peradilan sampai pada bentuk-bentuk lembaga peradilan di
Indonesia ataupun tata cara berperkara yg baik dalam pengadilan maka dari itu pemakalah
mencoba mengurai dari segi kesejahteraan masyarakat.Di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk
menyajikan beberapa pengertian peradilan, mulai dari para pakar hukum sampai
menurut undang-undang, kami juga akan membahas tentang dasar hukum peradilan di
Indonesia, cakupan studi peradilan di Indonesia dan juga hubungan studi
peradilan di Indonesia dengan studi lain.
B.
Rumusan masalah
1.
Pengertian peradilan agama
diindonesia???
2.
Lembaga-lembaga peradilan di
Indonesia???
3.
Tata cara berperkara ygt baik
di pengadilan sesesuai dengan atauran yang berlaku di indonesia???
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Peradilan
Agama
Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi
salah satu diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman
yg sah di indonesia.[1] Peradilan agama adalah
salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua peradilan khsusus
lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan
perdilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu [2].
Peradilan agama
adalah peradilan islam di indonesia, sebab dari jenis perkara yg boleh di
adilinya, selusruhnya adalah jenis perkara menurut agama islam di rangkaikannya
kata-kata peradilan islam dengan di indonesia adalah karena jernis perkara yang
boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala macam perkara menurut peradilan
islam secafra universal. Tegasnya peradilan agama adalah peradilan islam
liminatif, yang telah disesuaikan (di-mutatis mutandiskan) dengan keadaan di indonesia
Peradilan agama adalah saalah satu dari peradilan
negara di indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang
dalam jenisd perakara perdata islam tertentu.[3]
Pada tahun 1982 menjadi wacana yg sangat berkembang
ketika itu dimana ada yg berpendapat tentang istilah peradilan agama itu
sendiri sesbenarnya kurang tepat pemakaiannya. Maka oleh karena itu, kata peradilan agama kiranya kurang tepat,
sekalipun istilah tersebut sudah salah kaprah undang-undang pun menyebutkan
demikian. Ketika itu tidak terlihat rumus-rumus nama atau istilah lain yang
muncul sebagai pengganti istilah peradilan
agama, hal ini di ungkap setidaknya untuk penulisan sejarah peradilan agama
di indonesia perlu kiranya di jelaskan.[4]
B. Tata
cara berperkara di Peradilan di Indonesia
Pengadilan
agama (PA) adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan
agama.hal itu menunjukkan bahwa pengadilan agama adalah satuan (unit)
penyelenggara peradilan agama[5].
tugas pokoknya, sebagaimana yang daiatur dalam pasal 2 Undang-Undang no.14tahun
1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan Kehakiman, adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan
menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya. Perkara-perkara yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama adalah perkara-perkara tertentu, antara orang-orang
yang beragama Islam demi tegaknya hukum dan keadilan.
Dalam
rangka melakasanakan tugas pengadilan, panitera menerima perkara yang diajukan
kepada Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut.
1) Pendaftara
Perkara
Pendaftaran
perkara diajukan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di meja
I. Aktivitas yang dilakukan meja I dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut:
a. Menerima
gugatan permohonan, perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan
peninjauan kembali (PK), eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan
biaya eksekusi.
b. Membuat
Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM
tesebut kepada calon penggugat atau pemohon.
c. Menyerahkan
kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.
d. Menaksir
biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG
yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.
e. penjelasan-penjelasan
yang diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan sesuai dengan Surat
Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama tanggal 11
Januari 1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994
2) Membayar
Panjar Perkara
Pembayaran
panjar perkara dilakukan di abgian pemegang kas. Kas merupakan bagian meja I.
Tugas pemegang kas:
a) Pemegang
Kas menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM.
b) Pemenggang
Kas menandatangani SKUM, membubuhi nomor urut perkara dan tanggal penerimaan
perkara dalam SKUM dan dalam surat gugatan/permohonan sebagaimana tersebut
dalam buku jurnal yang berkaitan dengan perkara yang diajukan.
c) Mengembalikan
asli serta tindasan pertama SKUM beserta surat gugatan/Permohonan kepada calim
penggugat / pemohonan.
3) Menyerahkan
Kelengkapan Berkas Perkara
Setelah
perkara didaftar dan biaya panjarnya dibayar, pihak yang berperkara kemudian
melengkapi berkas perkara sesuai ketentuan dan menyerahkannya kepada petugaas
di meja II. Proses penyelesaian perkara yang berlangsung di meja II yaitu:
a) Menerima
surat gugat/perlawanan dari calon penggugat atau perlawanan dalam rangkap
sebanyak jumlah tergugat / terlawan di tambah dua rangkap
b) Menerima
surat permohonan dari calon pemohon sekurang-kurangnya sebanyak dua (2)
rangkap.
c) Menerima
tindasan pertama SKUM dari calon penggugat/lawan/pemohon.
d) Mendaftar
/ mencatat surat gugatan / permohonan dalam register yang bersangkutan serta
memberi nomor register pada surat gugatan / permohonan tersebut.
e) Menyerahkan
kembali satu rangkap surat gugatan / permohonan yang telah diberi nomor
register kepada penggugat atau pemohon.
f) Asli surat gugatan / permohonan dimasukkan
dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan
surat-surat yang berhubungan dengan gugatan / permohonan untuk disampaikan
kepada Wakil Panitera. Selanjutnya, berkas perkara gugatan/permohonan tersebut
disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui panitera.
g) Mendaftar
atau mencatat putusan Pengadilan Agama / pengadilan tinggi Agama atau Mahkamah
Agung dalam buku register yang bersangkutan.
Alur
yang dilalui surat gugatan / permohonan setelah diterima oleh sub kepaniteraan
permohonan atau gugatan (Meja II) hingga di sidangkan oleh Pengadilan Agama
yaitu:
a) Sub
kepaniteraan permohonan atau gugatan mempelajari kelengkapan persyaratan dan
mencatat semua data-data perkara dalam buku penerimaan perkara. Berkas tersebut
kemudian di sampaikan kepada panitera dengan melampirkan semua formulir yang
berhubungan dengan pemeriksaan perkara.
b) Selambat-lambatnya
pada hari kedua setelah surat gugatan atau permohonan diterima di bagian
kepaniteraan, panitera harus sudah menyerahkan kepada Ketua Pengadilan Agama
selanjutnya mencatatkannya dalam buku eskpedisi, kemudian menyampaikan kembali
berkas perkara tersebut kepada panitera dengan disertai penetapan Penunjukkan
Majlis Hakim (PMH) yang harus dilakukannya selambat-lambatnya 10(sepuluh) sejak
gugatan / permohonan di daftarkan.
c) Panitera
menyerahkan berkas perkara yang diterimanya dari Ketua/Wakil Ketua Pengadilan
Agama kepada Majlis/Hakim yang ditunjuk berdasarkan PMH. Selanjutnya panitera
menunjuk seorang atau lebih panitera penganti untuk diper-bantukan kepada
Majlis/Hakim yang bersangkutan.
d) Setelah
Majlis/Hakim menerima berkas perkara dariKetua/Wakil Ketua tersebut, kemudian
Ketua Majlis/Hakim membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).[6]
4) Pemanggilan
Para Pihak
Mengenai
pemanggilan pihak-pihak ada 2 yaitu menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 dan PP Nomor
9 Tahun 1975 dan menurut HIR/RBg(Peradilan Umum). Kami akan mengambil menurut
HIR/RBg(Peradilan Umum) dikarenakan lebih umum dan waktunya tidak terlalu jauh
dengan tahun sekarang.
Ketentuan
Pemanggilan menurut HIR/RBg(Peradilan Umum) sebagai berikut:
a) Jika
Pemanggilan pertama untuk sidang pertama kepada penggugat atau pemohon telah
dilakukan dengan resmi dan patut tetapi ia atau kuasa sahnya tidak hadir, maka
sebelum perkaranya diputus dengan digugurkan, ia dapat dipanggil untuk kedua
kalinya. Resmi yaitu bertemu langsung secara pribadi dengan para pihak atau kuasa
hukumnya. Apabila tidak bertemu dengan para pihak, maka penggilan disampaikan
melalui Kepalan Desa/ Kelurahan setempat. Patut yaitu panggilan harus sudah
dapat diterima minimal 3 (tiga) hari sebelum sidang pertama dilaksanakan.
b) Pemanggilan
terhadap para pihak yang berada diluar yuridiksi dilaksanakan dengan meminta
bantuan Pengadilan Agama tempat para pihak berada untuk memanggil yang
bersangkutan. Selanjutnya, Pengadilan Agama tersebut mengirim relaas kepada
Pengadilan Agama yang meminta bantuan.
c) Panggilan
terhadap tergugat atau termohon yang berada di luar negeri dilakukan melalui
Perwakilan Republik Indonesia setempat, dengan ketentuan:
i.
Untuk perkara
permohonan cerai talak, perkara permohonan untuk beristri lebih dari seorang
dan perkara gugatan cerai,secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan
sejak perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama.
ii.
Untuk perkara
selainnya, dengan memperhitungkan selambat-lambatnya penggilan sudah diterima
dan memperhitungkan waktu untuk yang dipanggil itu datang menghadap Pengadilan
Agama yang bersangkutan.
d) tergugat atau termohon tidak diketahui tempat tinggalnya, sedangkan perkara itu tentang gugatan cerai, maka panggilan
kepada yang tidak diketahui tempat tinggalnya tersebut dilakukan dengan cara
menempelkan panggilan pada Papan Pengumuman Pengadilan Agama, dengan tenggang
waktu antara panggilan dan sidang adalah 30 hari. Adapun untuk selain perkara
perkawinan, pemanggilan dilakukan dengan cara diumumkan di papan pengumuman
Pemerintah Kabubaten / Kota setempat.[7]
5) Tahap-tahap
Pemeriksaan Perkara
Pemeriksaan
perkara dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
a) Tahap
sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim
menanyakan identitas para pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan
oleh penggugat / pemohonan, dan (4) anjuran untuk berdamai.
b) Tahap
jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan / permohonan,
kemudian upaya damai tidak berhasil, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat
atau termohon, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab
tertulis, maka ditanyakan kembali, apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan
tergugat / termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu, masuklah pada proses
jawab-menjawab, baik antara pihak, maupun antara hakim dengan para pihak.
c) Tahap
pembuktian. Tahap pembuktian dimulai setelah tidak ada lagi yang akan
dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang
diajukan pihak berperkara.
d) Tahap
penyusunan konklusi. Setelash tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis
bermusyawarah, pihak-pihak diperbolehkan mengajukan konklusi
(kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan).
Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya hal ini tidak
diperlukan bagi perkara-perkara yang ringan, sehingga hakim boleh
meniadakannya.
e) Musyawarah
Majelis Hakim. Musyawarah hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum.
Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang
sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis.
keputusan sidang musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa
panitera. Ini merupakan lampiran Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan kedalam dictum keputusan.
f) Pengucapan
Keputusan. Pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak
penggugat atau tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi
pihak yang menyatakan menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan
banding. Sedangkan bagi pihak yang menyatakan tidak menerima atau piker-pikir
dulu, baginya masih terbuka melakukan upaya banding.[8]
6) Eksekusi
UU
Nomor 7 tahun 1989, Peradilan Agama sudah dapat melaksanakan secara paksa
(eksekusi) atau putusan penetapannya sendiri, termasuk dapat melaksanakan
segala macam bentuk sita (beslag) yang diperlukan.
Hal-hal
yang diperlukan dalam masalah eksekusi yaitu:
a) Diktum
putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat condemnatoir, artinya
berwujud menghukum pihak untuuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya.
b) diktum
yang bersifat condemnatoir tadi harus jelas dan rinci misalnya wujudnya,
bentuknya, batas-batasnya, dan lain sebagainya.
c) atau
barang yang untuk dibayarkan atau diserahkan itu harus bebas dari sangkutan
dari pihak ketiga.
d) Terjaminnya
pembayaran / penyerahan benda yang disebutkan di dalam diktum, juga tidak luput
dari ada atau tidaknya benda itu.
e) Biaya
eksekusi bukanlah murah, juga bukan tidak berbahaya[9]
7) Hasil
Pemeriksaan Perkara.
Meja III merupakan unit
kerja terakhir yang dilalui oleh sebuah perkara tingkat pertama yang diajukan
kepada Pengadilan Agama . tugas-tugas Meja III adalah:
a) Menyerahkan
salinan Putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung kepada pihak yang
berkepentingan.
b) Menyerahkan
salinan penetapan Pengadilan Agama kepada yang berkepentingan.
c) Menerima
memori/kontra memori banding , memori/kontra memori kasasi. Jawaban/tanggapang
peninjauan kembali dari yang lain-lain.
d) Menyusun,
menjahit dan mempersiapkan berkas.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peradilan agama adalah sebutan (literatur)
resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan
kehakiman yg sah di indonesia untuk di jadikan sebuah kelembagaan hukum dalam
proses keadilan bagi seluruh rakyat dindonesia yg tertuang dalam pancasila
dasar, Peradilan agama adalah salah satu
diantara peradilan khusus di indonesia, dua peradilan khsusus lainnya adalah
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan peradilan khusus
karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai
golongan rakyat tertentu dan pemakalah dapat menyimpulokan mengenai tata cara
berperkara yg baik di pengadilan baik peradilan khusus ataupun peradilan umum.
1. Meja I
Pihak berperkara yang dating
didamaikan atau diberi nasehat serta penjelasan tentang upaya hukum oleh
Panitera Muda Permohonan atau gugatan.
2. Operator
Komputer Yuridis
Membantu pembuatan surat ajuran
gugatan atau permohonan bagi pihak yang berperkara yang telah diberikan nasehat
dan upaya damai dari meja I.
3. Meja I
Surat ajuan tersebut dibuat rangkap 5
dan diterima Meja I untuk dicek dan diperiksa, kemudian diberikan SKUM. Perkara
permohonan oleh Panitera Muda Permohonan, sedangkan perkara gugatan oleh
Panitera Muda Gugatan.
4. Bendaharawan /
Kasir
Menerima surat ajuan dan SKUM rangkap
3 serta Panjar Biaya Perkara (PBP) dari pihak berperkara dan memberikan Nomor
Register Perkara.
5. Meja II
Menerima
surat permohonan / gugatan sebanyak
rangkap 4 ditambah banyak pihak yang digugat, dan menyerahkan satu rangkap surat ajuan yang telah
diberi Nomor Register Perkara.
6. Meja II
Menyusun
dalam map khusus serta melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang
berkaitan dengan gugatan / permohonan kemudian menyerahkan kepada Wakil
Panitera.
7. Wakil Panitera
Memeriksa kembali kelengkapan dan
keabsahan serta kepatutan berkas perkara, kemudian diserahkan kepada Ketua
Pengadilan Agama melalui Panitera.
8. Panitera
Memeriksa kembali kelengkapan dan
keabsahan serta kepatutan berkas perkara, kemudian menyuruh petugas Meja II
untuk mencatat dalam Buku Register Perkara. Selanjutnya, menyerahkan berkas
kepada Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Agama.
9. Ketua/Wakil
Ketua PA
Mencatat dalam buku ekspedisi dan
mempelajari berkas perkara kemudian membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang
akan memeriksa perkara tersebut, menyershksn kembali berkas kepada Panitera.
10. Panitera
Menerima berkas dari Ketua/Wakil
Ketua dan membuat penetapan penunjukkan Panitera Pengganti dan Jurusita
Pengganti, kemudian menyerahkan berkas kepada Majelis Hakim yang ditunjuk.
11. Majelis
Hakim/Proses Persidangan
Membuat Penetapan Hari Sidang (PHS),
memanggil para pihak melalui jurusita Pengganti, memeriksa dan memproses
perkara bersama Panitera Penganti.
12. Majelis Hakim
dan Panitera Pengganti
Menyerahkan putusan keluarga kepada
Meja III untuk dibuat Akta Cerai dan memberitahukan segala proses persidangan
kepada Meja II melalui Panitera Pengganti untuk dicatat dalam Buku Register
Perkara.
13. Meja III
Memeriksa kelengkapan, meminutasi,
dan menjahit berkas serta membuat Akta Cerai bagi perkara yang telah diputus
dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta menyerahkan Akta Cerai kepada pihak
yang bersangkutan.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih banyak
hal-hal perlu di perbaiki baik dari sistematika penulisan ataupun penjelasan
dari makalah ini maka dari itu kiranya para audiensi untuk dapat memberikan
saran hangat kepada pemakalah agara mejadi bahan evaluasi untuk pembuatan
makalah selanjtnya
DAFTAR
PUSTAKA
Basiq Djalil, H. A.,
Drs., S.H., MA. Peadilan Agama di Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta.Kencana
prenada media group. 2006
Roihan A. Rasyid,
‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991
[1]UU no 14
tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, pasal 10 ayat
1
[2] UU no 14
tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, pasal 10 ayat
1
[3] Roihan A. Rasyid, hukum acara peradilan
agama, cet. Kedua, penerbit CV. Rajawali, jakarta, tahun 1991, hal 5
[4] Sudikno merto kusumo, simposium sejarah
peradilan agama, penerbit. Proyek pembinaan administrasi hukum dan peradilan
agama, depag, jakarta, 1982-1983.hal. 63.
[5] Hasan
Bisri, ‘’Peradilan Agama dan Peradilan Islam’’, Ulul Albab press, Bandung,
1997, h. 115
[6] DR. Jaih
Mubarok,M Ag, ‘’Peradilan Agama Di Indonesia’’, pustaka bani Quraisy, Bandung,
2004, h, 78
[7] Roihan
A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991,
h, 87-89
[8] Roihan
A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991,
h, 81-82
[9] Roihan
A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991,
h, 223-224
[10] Roihan
A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991,
h, 223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar