Rabu, 08 Oktober 2014

asas, syarat, dan sumber hukum perikatan di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pada dasarnya, dapat dilihat dari segi sumbernya, hukum perikatan di Indonesia itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada yang lahir dari perjanjian serta dari sumber-sumber lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata, “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang”.perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.[1] Lazimnya bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari berbagai macam sumbernya itu dinamakan hukum perikatan (het verbintenissenrecht).Sedangkan hukum perjanjian (het overeenkomstenrecht)adalah salah satu bagian dari hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian saja.[2] Di Indonesia, perikatan-perikatan (dalam lapangan hukum harta kekayaan) di atur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).[3]

B.     Rumusan masalah
1.      Ada berapa asas, syarat dan sumber perikatan ?
2.      Apa saja yang dijelaskan dalam pembagian perikatan ?

C.    Tujuan penulisan makalah
1.      Untuk melatih mahasiswa dalam menyusun tugas makalah dan memenuhi syarat tugas dalam mata kuliah hukum perikatan.




BAB II
PEMBAHASAN
A.   Asas, syarat dan sumber perikatan
A.I Asas-asas perjanjian
    Dalam hukum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Asas-asas tersebut adalah seperti yang akan diuraikan dibawah ini:
1)  System terbuka (open system), setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Sering disebut asas kebebasan bertindak.
2) Bersifat perlengkapan (optional), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian menghendaki membuat perjanjian sendiri.
3) Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak.
4) Bersifat obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik.[4]
 Asas-asas dalam hukum perikatan :
1) Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
2) Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3) Asas Kesimbangan
            Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
4) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5) Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
6) Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
7) Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8) Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.[5]
A.II Syarat-syarat dalam perikatan
Mengenai hal syarat-syarat perjanjian didalam hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KHU Perdata menentukan empat syarat sebagai berikut:
a) Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak
Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan terjadinya persesuaian pernyataan, ada empat teori, yakni:
1. Teori Ucapan (ultingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
2. Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram.
3. Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
4. Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditor dan debitor. adakalnya tidak ada persesuaian. Mengenai ketidaksesuaian ini ada tiga teori yang menjawab, yaitu:
1. Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.
2. Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jiak terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.
3. Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkabn perjanjian.
Ada tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga toeri diatas sebgai berikut:
1. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak yang menganggap perjanjian terjadi jika tidak terjadi persesuaian, pemecahannya: pihak lawan mendapat ganti rugi, karena pihak lawan mengharpkannya.
2. dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak, hanya pelaksnaannya kurang ketat, yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract), yaitu suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum didalamnya. Biasanya dalam bentuk formulir.[5]
b) Kecakapan bertindak
Adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh UU yaitu orang yang sudah dewasa dengan ukuran umur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak berumur meliputi: anak dibawah umur, orang dibawah pengampuan, dan isteri (pasal 1330 KHU Perdata), tetapi isteri dapat melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 31 UU No. 1 tahun 1974 jo. SEMA no. Tahun 1963.
c) Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalh apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor.[6] Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).

d) Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Dalam pasal 1337 KHU Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.
A.III Sumber perikatan
Sumber-sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua, yaitu :
1)      Perjanjian, dan 2) Undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.[6]
Undang-undang sebagai sumber perikatan dibedakan lagi menjadi undang-undang semata dan undang-undang yang kaitanya dengan perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang semata adalah perikatan yang kewajiban didalamnya langsung diperintahkan oleh undang-undang, seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam hal nafkah, juga beberapa hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan yang bersebelahan sesuai dengan ketentuan undang-undang (pasal 625 KUH Perdata), hubungan yang muncul dari kewajiban pemeliharaan (pasal 321 KUH Perdata), dan hubungan pupil dan wali (pasal 385,409 KUH Perdata).[7]
Perikatan yang lahir dari undang-undang akibat perbuatan orang adalah suatu perikatan yang timbul karena adanya perbuatan yang dilakukan seseorang dan kemudian undang-undang menetapkan adanya hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan tersebut. Perbedaan itu dibedakan menjadi dua macam : (1) perbuatan sesuai hukum (rechtmaltige daad), dan (2) perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Contoh perikatan yang timbul dari undang-undang karena adanya perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad) adalah orang melakukan apa yang dinamakan “pembayaran tanpa utang” (onverschuldigde betaling) yang disebutkan dalam pasal 1359 KUH Perdata. Pembayaran tanpa utang maksudnya adalah pembayaran yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan dugaan bahwa dia berhutang dan karenanya ia melakukan pembayaran. Akan tetapi, ternyata dia tidak berhutang. Maka pembayaran tidak terutang seperti tersebut oleh undang-undang dinyatakan dapat ditarik kembali dan penerima pembayaran tersebut berkewajiban mengembalikanya.[8]
Disamping perbuatan sesuai hukum, terdapat pula perbuatan melawan hukum (0nrechtmatige daad). Perbuatan ini apabila dilakukan oleh seseorang, atas ketentuan undang-undang terjadi perikatan antara pelaku perbuatan melawan hukum itu dengan orang yang dirugikan akibat perbuatan tersebut seperti ditegaskan dalam pasal 1365 KUH Perdata. Dengan kata lain tiap-tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain yang menimbulkan atas pelaku perbuatan yang karena kesalahanya timbul kerugian tersebut untuk memberikan penggantian kerugian.[9]
Jadi, dari apa yang secara ringkas telah dikemukakan diatas dapat dikatan bahwa sumber-sumber yang melahirkan perikatan itu meliputi sebagai berikut :
a)              Perjanjian ,
b)             Undang-undang, yang dibedakan menjadi :
1)      Perbuatan sesuai hukum (rechtmatige daad),
2)      Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).[10]
B.   Pembagian Perikatan
Pembuat undang-undang telah membagi perikatan dalam beberapa kelompok, yaitu berdasarkan asal atau sumbernya, berdasarkan isinya, sifat prestasinya ataupun saat matangnya prestasi yang terhutang. Seperti yang telah dikatakan di depan, kesemuanya ditinjau dari segi tertentu.[11]
B.I Berdasarkan Sumbernya
A. Perjanjian sebagai sumber perikatan
Undang-undang dalam pasal 1233 mengatakan, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.
       Perjanjian melahirkan perikatan berdasarkan KUH Perdata, pada prinsipnya perjanjian yang kita kenal merupakan perjanjian obligatoir, kecuali undang-undang menentukan lain. Perjanjian bersifat obligatoir berarti, bahwa dengan ditutupnya perjanjian itu pada asasnya baru melahirkan perikatan-perikatan saja, dalam arti, bahwa hak atas objek perjanjian belum beralih; untuk peralihan tersebut masih diperlukan adanya levering/penyerahan. Dengan demikian pada prinsipnya orang bisa membedakan antara saat lahirnya perjanjian obligatoirnya dengan saat penyerahan prestasi/haknya, sekalipun pada jual beli tunaiyang langsung diikuti dengan penyerahan bendanya, kedua momen itu jatuh bersamaan. Dengan demikian, seringkali perjanjian itu melahirkan sekelompok perikatan.
B. Undang-undang sebagai sumber perikatan
Undang-undang adalah sumber perikatan bahwa lain dengan perjanjian yang melahirkan perikatan.  Maka disini dapat lahir perikatan antara orang/pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, tanpa orang-orang yang bersangkutan menghendakinya atau lebih tepat, tanpa memperhitngkan kehendak mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa perikatan timbul tanpa orang-orang/para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu; perikatan bisa lahir karena kedua pihak berada dalam keadaan tertentu atau mempunyai kedudukan tertentu.
Sebagai contoh perikatan yang lahir karena undang-undang saja dapat dikemukakan, kewajiban anak terhadap orang tuanya, seperti yang disebutkan dalam pasal 321 yang berbunyi: “tiap-tiap anak berwajib memberi nakah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis keatas, apabila mereka dalam keadaan miskin.”
Jadi dalam peristiwa tersebut diatas, perikatan antara anak dan orang tuanya atau keluarga seadarah dalam garis keatas, muncul semata-mata karena mereka kebetulan mempunyai kedudukan sebagai anak dan orang tuanya (atau keluarga sedarah dalam garis keatas) dan undang-undang menentukan begitu.
B.II Berdasarkan Isi/Prestasi Perikatannya
Undang-undang dalam pasal 1234 memberikan cara pengelompokan perikatan yang lain, yaitu dengan mendasarkan kepada wujud isi/prestasi perikatannya. Disana dibedakan antara perikatan yang berisi kewajiban:
a)      Untuk memberikan sesuatu
b)      Untuk melakukan/berbuat sesuatu
c)      Untuk tidak melakukan sesuatau.
a)      Perikatan untuk memberikan sesuatu
Yang menjadi ukuran disi adalah objek perikatannya, wujud prestasinya, yaitu suatu kewajiban bagi debitur untuk memberikan sesuatu kepada kreditur. Arti “memberikan sesuatu” kiranya akan menjadi jelas, kalau kita meninjaunya dengan hubungan obligatoir sebagai latar belakangnya. Hubungan obligatoir selalu perlu diikuti dengan levering/penyerahan, yang berupa memberikan sesuatu, baik berupa benda yang bertubuh maupun yang tidak bertubuh. Hubungan obligatoir dapat muncul baik atas perjanjian maupun undang-undang.
b)      Perikatan untuk melakukan sesuatu
Pembuat undang-undang lalai untuk memberikan kita suatu patokan untuk membedakan antara perikatan untuk memberikan dan melakukan sesuatu, karena “memberikan sesuatu” sebenarnya juga “melakukan sesuatu” itulah sebabnya ada yang mengusulkan pembagian antara perikatan untuk “memberikan susatu” dan perikatan untuk “melakukan atau tidak melakukan tindakan yang lain ”.[12] yang lain dari pada memberikan sesuatu.
c)      perikatan untuk tidak melakukan sesuatu
Disini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, melainkan sebaliknya, bersifat pasif. Yang dapat berupa tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung. Seorang majikan ada kalanya dalam perjanjian dengan buruhnya, sengaja mencantumkan klausula, agar sesudah berakhirnya hubungan kerja si buruh dalam jangka waktu tertentu, tidak bekerja pada perusahaan yang menghasilkan/memproduksi produk-produk yang sama (yang demikian dikenal dengan dengan sebutan “concurrentie beding”, vide pasal 1602x KUH Perdata). Perjanjian seperti itu menimbulkan perikatan yang berisi kewajiban si buruh untuk tidak melakukan sesuatu, yang dalam hal ini berupa “tidak bekerja pada perusahaan lain” yang menghasilkan produk sejenis dengan yang dihasilkan oleh perusahaan dengan siapa ia menutup perjanjian itu.




B.III Manfaat Pembagian
1)Masalah eksekusi
pembuat undang-undang membedakan antara perikatan yang berisi kewajiban “memberikan sesuatu” disatu pihak, dengan perikatan dengan isi untuk “melakukan sesuatu” dan “tidak melakukan sesuatu” dilain pihak, dalam eksekusinya.
2) Eksekusi riil pada perikatan untuk memberikan  sesuatu
     Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, yang berupa penyerahan suatu benda tertentu, kiranya sulit untuk dibayangkan adanya eksekusi secara riil, dalam arti, bahwa tangan debitur dipaksa untuk menyerahkan benda yang memang harus diserahkan kepada kreditur, kalau debitur lalai untuk memenuhi kewajiban hukumnya secara sukarela. Padahal berdasarkan perikatanya kreditur hanya mempunyai tagihan pribadi, yang hanya dapat ditujukan kepada debitur saja. Dengan demikian yang wajib memenuhi adalah debitur. Namun, tidak ada ketentuan hukum yang mengatakan, bahwa yang harus menyerahkan benda objek perikatan adalah debitur sendiri secara pribadi. Juga pada umumnya yang penting bagi kreditur dalam peristiwa demikian adalah penyerahan barangnya, bukan penyerahan oleh debitur. Dengan demikian terbukalah peluang untuk adanya eksekusi riil pada perikatan untuk memberikan sesuatu.
3)    Eksekusi riil pada perikatan untuk melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu
Pada perikatan “melakukan sesuatu” dan “tidak melakukan sesuatu” tidak ada kemungkinan untuk eksekusi secara riil, kalau eksekusi riil di sini diartikan suatu tekanan langsung kepada debitur. Sama seperti pada perikatan memberikan sesuatu, kreditur tak dapat minta bantuan hukum agar debitur secara physik dipaksa untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan olehnya. Namun masih ada kemungkinan dilakukan eksekusi secara riil dalam bentuk lain. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa atas tuntutan dari salah satu pihak, pengadilan memerintahkan (tergugat dihukum) agar tergugat melakukan sesuatu seperti mengembalikan buku atau untuk hari-hari selanjutnya tidak melakukan sesuatu (H.R. 29 Desember 1921 dan H.R. 13 November 1914)[13]), baik disertai atau tidak dengan dwangsom(uang paksaan). Uang paksa tersebut bisa berupa sejumlah uang tertentu untuk setiap kali pelanggaran atau untuk tiap hari debitur lalai untuk memenuhi perintah/keputusan pengadilan.
4)      Eksekusi Riil tidak Langsung
Yang kita bicarakan diatas adalah masalah eksekusi langsung. Dengan adanya keteantuan yang memberikan wewenang kepada hakim untuk menetapkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh debitur, kalau ia tidak memenuhi perintah pengadilan, maka kita sekarang mempunyai sarana lain untuk menekan agar debitur memenuhi kewajibanya dengan baik. Uang itu dapat di tetapkan sekaligus untuk pelanggaran debitur, tetapi juga ditetapkan untuk setiap kali atau setiap hari debitur wanprestasi. Uang seperti itu dinamakan uang paksa(dwangson). Padahal seperti disebutkan didepan dalam halisi, kewajiban debitur adalah untuk membayar dan menyerahkan sejumlah uang, ada sarana untuk eksekusi riil, yaitu melalui sita executoir. Dengan pandangan, bahwa orang pada umumnya sayang akan harta bendanya, maka adanya dwangson sebagai sarana penekan berarti bahwa kemungkinan dipenuhi kewajiban debitur dengan baik menjadi lebih besar, atau dengan perkataan lain dwangson merupakan eksekusi riil juga, walaupun secara tidak langsung. Ketentuan mengenai dwangson ditentukan pada RV. Di negeri Belanda sejak 29 Desember 1932 melalui S.676. Di Indonesia ditambahkan melalui S.1938-360 jis 361, 276. Walaupun demikian, karena adanya kebutuhan praktek, maka sebelum keluarnya ketentuan tentang dwangson, hakim sudah biasa untuk mengaitkan keputusannya dengan ganti rugi yang harus dibayar debitur untuk kerugian yang diderita oleh kreditur karena tidak dipenuhinya kewajiban debitur, termasuk untuk menetapkan besarnya uang ganti rugi yang harus dibayar debitur untuk setiap hari kelalaiannya untuk memenuhi keputusan pengadilan.  Sekalipun bukan merupakan dwangson, karena harus selalu memperhitungkan kerugian kreditur diwaktu yang akan datang, sehingga jumlahnya harus ada hubungannya dengan kerugian, tetapi mempunyai kemiripan yang besar. Karenanya ada yang mengatakan, bahwa “menetapkan sebelumnya, besarnya kerugian yang akan datang” sebenarnya adalah dwangson semu.[14]
Sebenarnya disamping dwangson masih ada sarana eksekusi tidak langsung yang lain, yaitu lijfdwang, tetapi di Indonesia lembaga sandera dengan surat edaran M.A no. 82/1964 telah di bekukan.[15]

B.IV PembagianPerikatanMenurutDoktrin
      Doktrin masih mengenal pembagian perikatan dengan cara lain, antara lain sebagai berikut :
1.      Perikatan perdata dan perikatan alamiah
            Perikatan perdata adalah perikatan-perikatan sebagai yang kita kemukakan didepan, dengan cirri khas yang membedakannya dari perikatan alamiah ialah, bahwa perikatan perdata pelaksanaannya dapat dituntut didepan pengadilan, dalam arti dapat dimintakan bantuan hukum untuk pelaksanaannya.
2.      Perikatan pokok atau principal dan perikatan accesoir
            Perikatan pokok merupakan perikatan yang dapat berdiri sendiri dan memang biasanya berdiri sendiri, walaupun tidak menutup kemungkinan adanya perikatan lain yang ditempelkan pada perikatan pokok tersebut. Disinilah letak isi pokok perjanjian dalam jual beli, misalnya, disana diatur hubungan hak dan kewajiban utama antara penjual dan pembeli.
3.      Perikatan primair dan perikatan secundair
            Perikatan secundair adalah perikatan yang menggantikan perikatan primair, kalau perikatan primair tidak dipenuhi.
Contohnya :Tuntutan ganti rugi, bunga dan ongkos, dalam hal debitur wanprestasi.
Antara perikatan acesoir dan perikatan secundair terdapat cirri persamaan, yaitu, bahwa keduanya mengabdi pada perikatan pokok atau primair, sehingga adanya dan hapusnya bergantung dari perikatan pokok atau primair.
4.      Perikatan sepintas dan perikatan yang memakan waktu
Perikatan yang sepintas adalah perikatan yang pemenuhannya hanya membutuhkan waktu yang singkat saja dan karenanya hubungan hukumnya hanya berlangsung untuk waktu yang pendek saja. Umur perikatannya hanya pendek saja.
Contohnya: Perikatan yang timbul dari jual beli (tunai), seperti kewajiban menyerahkan benda yang dijual dan uang harga pembeliannya.
5.      Perikatan yang positif dan perikatan yang negatif
Perikatan yang positif adalah perikatan yang isinya mewajibkan debitur untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Sedangkan perikatan yang negative adalah perikatan yang melarang orang berbuat sesuatu akan mewajibkan debitur untuk membiarkan sesuatu berlangsung (perikatan untuk tidak berbuat sesuatu).
6.      Perikatan yang sederhana dan perikatan yang kumulatif
Pada perikatan yang sederhana, kewajiban yang harus ditunaikan oleh debitur adalah suatu kewajiban tertentu saja dan kreditur berhak untuk menolak kalau debitur memberikan prestasi yang lain, yang bukan yang satu (yang diperjanjikan) itu (vide pasal 1389).
Perikatan kumulatif adalah perikatan yang mengandung lebih dari satu kewajiban bagi debitur dan pemenuhan salah satu dari kewajiban-kewajiban tersebut belum membebaskan debitur dari kewajibannya yang lain.
7.      Perikatan fakultatif dan perikatan alternative
Suatu perikatan dinamakan perikatan fakultatif kalau didalamnya ada kewajiban prestasi tertentu bagi debitur, tetapi ia bebas untuk menyuruh orang lain untuk memenuhinya. Pada umumnya kewajiban prestasi yang tidak bersifat pribadi atau yang didasarkan atas kecakapan dan bakat pribadi, merupakan perikatan fakultatif.
Pada perikatan alternative ada lebih dari satu kewajiban prestasi, tetapi debitur diperkenankan untuk memilih salah satu diantaranya dan pemenuhan yang satu membebaskan debitur dari kewajiban untuk berprestasi lebih lanjut.
8.      Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi
Dikatakan perikatan itu dapat dibagi-bagi, kalau prestasinya dapat dipecah –pecah sedemikian rupa, sehingga masing-masing bagian berdiri sendiri, tetapi tetap sebagian dari keseluruhannya. Perikatan yang tidak dapat dibagi-bagi, kalau prestasinya tidak mungkin dipecah-pecah tanpa mengakibatkan nilai prestasinya menjadi lain.












BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
.     Asas, syarat dan sumber perikatan
Dalam hokum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Asas-asas tersebut adalah seperti yang akan diuraikan dibawah ini:
1)      System terbuka (open system);
2)      Bersifatperlengkapan (optional);
3)      Bersifatkonsensual;
4)      Bersifatobligatoir.
.    Syarat-syarat dalam perikatan:
a)      Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak;
b)      Kecakapan bertindak;
c)      Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst);
d)     Adanya causa yang halal (geoorloofdeoorzaak).
      .     Sumber-sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua, yaitu :
1) Perjanjian, dan 2) Undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.
.    Pembagian Perikatan
Pembuat undang-undang telah membagi perikatan dalam beberapa kelompok, yaitu berdasarkan asal atau sumbernya, berdasarkan isinya, sifat prestasinya ataupun saat matangnya prestasi yang terhutang.



B.   Daftar Pustaka
J. Satrio, hokum perikatan, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993)
Subekti, hokum perikatan (Ttp.: PT Intermasa, 1979)
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html






[1] Subekti, Hukum Perikatan (Ttp.: PT Intermasa, 1979), hlm.1.
[2] P.J.P Tak, rechtsvorming in Nederland; een inleiding (Herleen: Samsom H.D. Tjeenk Willink/Open Universiteit, 1991), hlm. 57.
[3] Lihat KUH Perdata.
[5]Diposkan 2nd May 2011 oleh kemasbani

[6]Subekti, hukum perikatan (Ttp.: PT Intermasa, 1979), hlm.1.
[7]J Satrio, hukum perikatan: perikatan yang lahir dari undang-undang bagian pertama (Bandung: PT Citra aditya bakti, 1993), hlm.31-32.
[8] M. Yahya harahap, op. Cit, hlm 29.
[9] Subekti, op. Cit, hlm 2.
[10] Lihat satrio, hukum perikatan : perikatan yang lahir dari undang-undang bag pertama, hlm 31.
[11] J satrio, hukum perikatan, 1993, hlm 38.
[12] Vollmar, hal. 14; Hofmann, hal. 25, mengatakan bahwa semua perikatan yang lain, yang isinya bukan untuk memberikan sesuatu adalah untuk melakukan sesuatu.
[13] Hofmann. Hal.46.
[14]Asser-Losecaatvermee, hal.166 dsl.

[15]Mengenai pro dan kontra lembaga sandera. J.Satrio, HukumJaminan, hal. 25 dsl.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar