BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pada dasarnya, dapat dilihat dari segi
sumbernya, hukum perikatan di Indonesia itu ada yang lahir dari undang-undang
dan ada yang lahir dari perjanjian serta dari sumber-sumber lain yang ditunjuk
oleh undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata, “tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena
undang-undang”.perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.[1]
Lazimnya bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari berbagai
macam sumbernya itu dinamakan hukum perikatan (het verbintenissenrecht).Sedangkan
hukum perjanjian (het overeenkomstenrecht)adalah salah satu bagian dari
hukum perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir
dari perjanjian saja.[2] Di
Indonesia, perikatan-perikatan (dalam lapangan hukum harta kekayaan) di atur
dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).[3]
B. Rumusan masalah
1. Ada
berapa asas, syarat dan sumber perikatan ?
2. Apa
saja yang dijelaskan dalam pembagian perikatan ?
C. Tujuan penulisan makalah
1. Untuk
melatih mahasiswa dalam menyusun tugas makalah dan memenuhi syarat tugas dalam
mata kuliah hukum perikatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas, syarat dan sumber perikatan
A.I Asas-asas perjanjian
Dalam hukum perjanjian dapat
dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Asas-asas tersebut adalah
seperti yang akan diuraikan dibawah ini:
1) System terbuka (open system), setiap orang boleh
mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam
Undang-undang. Sering disebut asas kebebasan bertindak.
2) Bersifat perlengkapan (optional), artinya pasal-pasal
undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak yang membuat perjanjian
menghendaki membuat perjanjian sendiri.
3) Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu
terjadi sejak adanya kata sepakat antara pihak-pihak.
4) Bersifat
obligatoir, artinya perjanjian yang dibuat oleh pihak- pihak itu baru
dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik.[4]
Asas-asas dalam hukum
perikatan
:
1) Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang
akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara
mereka dibelakang hari.
2) Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang
mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam
hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu
sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3) Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang
menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur
mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut
pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
4) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung
kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian,
yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5) Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar,
yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya
untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam
zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral).
Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan
perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan
melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai
panggilan hati nuraninya.
6) Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339
KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang
diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
7) Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari
perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas
diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8) Asas Perlindungan
Asas
perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum.[5]
A.II
Syarat-syarat dalam perikatan
Mengenai
hal syarat-syarat perjanjian didalam hukum Eropa Kontinental diatur dalam pasal
1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KHU
Perdata menentukan empat syarat sebagai berikut:
a)
Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak
Yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu
orang atau lebih dengan pihak lainnya. Tentang kapan terjadinya persesuaian
pernyataan, ada empat teori, yakni:
1.
Teori Ucapan (ultingsheorie), kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
2.
Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram.
3.
Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum
diterimanya (tidak diketahui secara langsung).
4.
Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Saat
terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditor dan
debitor. adakalnya tidak ada persesuaian. Mengenai ketidaksesuaian ini ada tiga
teori yang menjawab, yaitu:
1.
Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada
persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak
jadi.
2.
Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang
tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian
adalah pernyataan. Jiak terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka
perjanjian tetap terjadi.
3.
Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan
perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang
menimbulkabn perjanjian.
Ada
tiga alternatif pemecahan dari kesulitan yang dihadapi ketiga toeri diatas
sebgai berikut:
1.
dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak yang menganggap perjanjian terjadi
jika tidak terjadi persesuaian, pemecahannya: pihak lawan mendapat ganti rugi,
karena pihak lawan mengharpkannya.
2.
dengan tetap mempertahankan Teori Kehendak, hanya pelaksnaannya kurang ketat,
yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.
3.
Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku (standart contract), yaitu
suatu perjanjian yang didasarkan kepada ketentuan umum didalamnya. Biasanya
dalam bentuk formulir.[5]
b)
Kecakapan bertindak
Adalah
kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang akan
mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk
melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh UU yaitu orang yang
sudah dewasa dengan ukuran umur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang yang tidak
berumur meliputi: anak dibawah umur, orang dibawah pengampuan, dan isteri
(pasal 1330 KHU Perdata), tetapi isteri dapat melakukan perbuatan hukum yang
diatur dalam pasal 31 UU No. 1 tahun 1974 jo. SEMA no. Tahun 1963.
c)
Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)
Dalam
berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah
prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalh apa yang menjadi kewajiban debitor
dan apa yang menjadi hak kreditor.[6] Prestasi ini terdiri dari perbuatan
positif dan negatif. Prestasi terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).
d)
Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam
pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal).
Dalam pasal 1337 KHU Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab
adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
A.III Sumber perikatan
Sumber-sumber perikatan dalam hukum Indonesia
ada dua, yaitu :
1) Perjanjian,
dan 2) Undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata,
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun
karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.[6]
Undang-undang
sebagai sumber perikatan dibedakan lagi menjadi undang-undang semata dan
undang-undang yang kaitanya dengan perbuatan orang. Perikatan yang lahir dari undang-undang
semata adalah perikatan yang kewajiban didalamnya langsung diperintahkan oleh
undang-undang, seperti hak dan kewajiban yang timbul antara ayah dan anak dalam
hal nafkah, juga beberapa hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan
yang bersebelahan sesuai dengan ketentuan undang-undang (pasal 625 KUH
Perdata), hubungan yang muncul dari kewajiban pemeliharaan (pasal 321 KUH
Perdata), dan hubungan pupil dan wali (pasal 385,409 KUH Perdata).[7]
Perikatan
yang lahir dari undang-undang akibat perbuatan orang adalah suatu perikatan
yang timbul karena adanya perbuatan yang dilakukan seseorang dan kemudian undang-undang
menetapkan adanya hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan tersebut.
Perbedaan itu dibedakan menjadi dua macam : (1) perbuatan sesuai hukum
(rechtmaltige daad), dan (2) perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Contoh
perikatan yang timbul dari undang-undang karena adanya perbuatan sesuai hukum
(rechtmatige daad) adalah orang melakukan apa yang dinamakan “pembayaran tanpa
utang” (onverschuldigde betaling) yang disebutkan dalam pasal 1359 KUH Perdata.
Pembayaran tanpa utang maksudnya adalah pembayaran yang dilakukan oleh
seseorang berdasarkan dugaan bahwa dia berhutang dan karenanya ia melakukan
pembayaran. Akan tetapi, ternyata dia tidak berhutang. Maka pembayaran tidak
terutang seperti tersebut oleh undang-undang dinyatakan dapat ditarik kembali
dan penerima pembayaran tersebut berkewajiban mengembalikanya.[8]
Disamping
perbuatan sesuai hukum, terdapat pula perbuatan melawan hukum (0nrechtmatige
daad). Perbuatan ini apabila dilakukan oleh seseorang, atas ketentuan
undang-undang terjadi perikatan antara pelaku perbuatan melawan hukum itu
dengan orang yang dirugikan akibat perbuatan tersebut seperti ditegaskan dalam
pasal 1365 KUH Perdata. Dengan kata lain tiap-tiap perbuatan melawan hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain yang menimbulkan atas pelaku perbuatan yang
karena kesalahanya timbul kerugian tersebut untuk memberikan penggantian
kerugian.[9]
Jadi,
dari apa yang secara ringkas telah dikemukakan diatas dapat dikatan bahwa
sumber-sumber yang melahirkan perikatan itu meliputi sebagai berikut :
a)
Perjanjian ,
b)
Undang-undang,
yang dibedakan menjadi :
1) Perbuatan
sesuai hukum (rechtmatige daad),
2) Perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad).[10]
B. Pembagian Perikatan
Pembuat undang-undang telah membagi
perikatan dalam beberapa kelompok, yaitu berdasarkan asal atau sumbernya,
berdasarkan isinya, sifat prestasinya ataupun saat matangnya prestasi yang
terhutang. Seperti yang telah dikatakan di depan, kesemuanya ditinjau dari segi
tertentu.[11]
B.I
Berdasarkan Sumbernya
A. Perjanjian sebagai
sumber perikatan
Undang-undang dalam pasal 1233
mengatakan, bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik
karena undang-undang.
Perjanjian
melahirkan perikatan berdasarkan KUH Perdata, pada prinsipnya perjanjian yang
kita kenal merupakan perjanjian obligatoir, kecuali undang-undang menentukan
lain. Perjanjian bersifat obligatoir berarti, bahwa dengan ditutupnya
perjanjian itu pada asasnya baru melahirkan perikatan-perikatan saja, dalam
arti, bahwa hak atas objek perjanjian belum beralih; untuk peralihan tersebut
masih diperlukan adanya levering/penyerahan. Dengan demikian pada prinsipnya
orang bisa membedakan antara saat lahirnya perjanjian obligatoirnya dengan saat
penyerahan prestasi/haknya, sekalipun pada jual beli tunaiyang langsung diikuti
dengan penyerahan bendanya, kedua momen itu jatuh bersamaan. Dengan demikian,
seringkali perjanjian itu melahirkan sekelompok perikatan.
B.
Undang-undang sebagai sumber perikatan
Undang-undang adalah sumber perikatan
bahwa lain dengan perjanjian yang melahirkan perikatan. Maka disini dapat lahir perikatan antara
orang/pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, tanpa orang-orang yang
bersangkutan menghendakinya atau lebih tepat, tanpa memperhitngkan kehendak
mereka. Bahkan bisa saja terjadi, bahwa perikatan timbul tanpa orang-orang/para
pihak melakukan suatu perbuatan tertentu; perikatan bisa lahir karena kedua
pihak berada dalam keadaan tertentu atau mempunyai kedudukan tertentu.
Sebagai contoh perikatan yang lahir
karena undang-undang saja dapat dikemukakan, kewajiban anak terhadap orang
tuanya, seperti yang disebutkan dalam pasal 321 yang berbunyi: “tiap-tiap anak
berwajib memberi nakah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam
garis keatas, apabila mereka dalam keadaan miskin.”
Jadi dalam peristiwa tersebut diatas,
perikatan antara anak dan orang tuanya atau keluarga seadarah dalam garis
keatas, muncul semata-mata karena mereka kebetulan mempunyai kedudukan sebagai
anak dan orang tuanya (atau keluarga sedarah dalam garis keatas) dan undang-undang
menentukan begitu.
B.II
Berdasarkan Isi/Prestasi Perikatannya
Undang-undang dalam pasal 1234
memberikan cara pengelompokan perikatan yang lain, yaitu dengan mendasarkan
kepada wujud isi/prestasi perikatannya. Disana dibedakan antara perikatan yang
berisi kewajiban:
a) Untuk
memberikan sesuatu
b) Untuk
melakukan/berbuat sesuatu
c) Untuk
tidak melakukan sesuatau.
a) Perikatan
untuk memberikan sesuatu
Yang
menjadi ukuran disi adalah objek perikatannya, wujud prestasinya, yaitu suatu
kewajiban bagi debitur untuk memberikan sesuatu kepada kreditur. Arti
“memberikan sesuatu” kiranya akan menjadi jelas, kalau kita meninjaunya dengan
hubungan obligatoir sebagai latar belakangnya. Hubungan obligatoir selalu perlu
diikuti dengan levering/penyerahan, yang berupa memberikan sesuatu, baik berupa
benda yang bertubuh maupun yang tidak bertubuh. Hubungan obligatoir dapat
muncul baik atas perjanjian maupun undang-undang.
b) Perikatan
untuk melakukan sesuatu
Pembuat
undang-undang lalai untuk memberikan kita suatu patokan untuk membedakan antara
perikatan untuk memberikan dan melakukan sesuatu, karena “memberikan sesuatu”
sebenarnya juga “melakukan sesuatu” itulah sebabnya ada yang mengusulkan
pembagian antara perikatan untuk “memberikan susatu” dan perikatan untuk
“melakukan atau tidak melakukan tindakan yang lain ”.[12]
yang lain dari pada memberikan sesuatu.
c) perikatan
untuk tidak melakukan sesuatu
Disini kewajiban
prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, melainkan sebaliknya, bersifat
pasif. Yang dapat berupa tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu
berlangsung. Seorang majikan ada kalanya dalam perjanjian dengan buruhnya,
sengaja mencantumkan klausula, agar sesudah berakhirnya hubungan kerja si buruh
dalam jangka waktu tertentu, tidak bekerja pada perusahaan yang menghasilkan/memproduksi
produk-produk yang sama (yang demikian dikenal dengan dengan sebutan
“concurrentie beding”, vide pasal 1602x KUH Perdata). Perjanjian seperti itu
menimbulkan perikatan yang berisi kewajiban si buruh untuk tidak melakukan
sesuatu, yang dalam hal ini berupa “tidak bekerja pada perusahaan lain” yang
menghasilkan produk sejenis dengan yang dihasilkan oleh perusahaan dengan siapa
ia menutup perjanjian itu.
B.III
Manfaat Pembagian
1)Masalah
eksekusi
pembuat undang-undang membedakan antara
perikatan yang berisi kewajiban “memberikan sesuatu” disatu pihak, dengan
perikatan dengan isi untuk “melakukan sesuatu” dan “tidak melakukan sesuatu”
dilain pihak, dalam eksekusinya.
2)
Eksekusi riil pada perikatan untuk memberikan
sesuatu
Pada perikatan untuk memberikan sesuatu,
yang berupa penyerahan suatu benda tertentu, kiranya sulit untuk dibayangkan
adanya eksekusi secara riil, dalam arti, bahwa tangan debitur dipaksa untuk
menyerahkan benda yang memang harus diserahkan kepada kreditur, kalau debitur
lalai untuk memenuhi kewajiban hukumnya secara sukarela. Padahal berdasarkan
perikatanya kreditur hanya mempunyai tagihan pribadi, yang hanya dapat
ditujukan kepada debitur saja. Dengan demikian yang wajib memenuhi adalah
debitur. Namun, tidak ada ketentuan hukum yang mengatakan, bahwa yang harus
menyerahkan benda objek perikatan adalah debitur sendiri secara pribadi. Juga
pada umumnya yang penting bagi kreditur dalam peristiwa demikian adalah
penyerahan barangnya, bukan penyerahan oleh debitur. Dengan demikian terbukalah
peluang untuk adanya eksekusi riil pada perikatan untuk memberikan sesuatu.
3) Eksekusi
riil pada perikatan untuk melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu
Pada
perikatan “melakukan sesuatu” dan “tidak melakukan sesuatu” tidak ada kemungkinan
untuk eksekusi secara riil, kalau eksekusi riil di sini diartikan suatu tekanan
langsung kepada debitur. Sama seperti pada perikatan memberikan sesuatu,
kreditur tak dapat minta bantuan hukum agar debitur secara physik dipaksa untuk
melakukan apa yang seharusnya dilakukan olehnya. Namun masih ada kemungkinan
dilakukan eksekusi secara riil dalam bentuk lain. Tidak tertutup kemungkinan,
bahwa atas tuntutan dari salah satu pihak, pengadilan memerintahkan (tergugat
dihukum) agar tergugat melakukan sesuatu seperti mengembalikan buku atau untuk
hari-hari selanjutnya tidak melakukan sesuatu (H.R. 29 Desember 1921 dan H.R.
13 November 1914)[13]),
baik disertai atau tidak dengan dwangsom(uang paksaan). Uang paksa tersebut
bisa berupa sejumlah uang tertentu untuk setiap kali pelanggaran atau untuk
tiap hari debitur lalai untuk memenuhi perintah/keputusan pengadilan.
4)
Eksekusi Riil tidak Langsung
Yang kita
bicarakan
diatas
adalah
masalah
eksekusi
langsung. Dengan
adanya
keteantuan yang memberikan
wewenang
kepada hakim untuk
menetapkan
sejumlah
uang yang harus
dibayar
oleh
debitur, kalau
ia
tidak
memenuhi
perintah
pengadilan, maka
kita
sekarang
mempunyai
sarana lain untuk
menekan agar debitur
memenuhi
kewajibanya
dengan
baik. Uang
itu
dapat di tetapkan
sekaligus
untuk
pelanggaran
debitur, tetapi
juga
ditetapkan
untuk
setiap kali atau
setiap
hari
debitur
wanprestasi. Uang
seperti
itu
dinamakan
uang
paksa(dwangson). Padahal
seperti
disebutkan
didepan
dalam
halisi, kewajiban
debitur
adalah
untuk
membayar
dan
menyerahkan
sejumlah
uang, ada
sarana
untuk
eksekusi
riil, yaitu
melalui
sita
executoir. Dengan
pandangan, bahwa orang pada
umumnya
sayang
akan
harta
bendanya, maka
adanya
dwangson
sebagai
sarana
penekan
berarti
bahwa
kemungkinan
dipenuhi
kewajiban
debitur
dengan
baik
menjadi
lebih
besar, atau
dengan
perkataan lain dwangson
merupakan
eksekusi
riil
juga, walaupun
secara
tidak
langsung. Ketentuan
mengenai
dwangson
ditentukan
pada RV. Di
negeri
Belanda
sejak 29 Desember 1932
melalui S.676. Di Indonesia ditambahkan
melalui S.1938-360 jis 361,
276. Walaupun demikian, karena
adanya
kebutuhan
praktek, maka
sebelum keluarnya ketentuan tentang dwangson, hakim sudah
biasa
untuk
mengaitkan
keputusannya
dengan ganti rugi yang harus
dibayar
debitur
untuk
kerugian yang diderita
oleh
kreditur
karena
tidak
dipenuhinya
kewajiban
debitur, termasuk
untuk
menetapkan
besarnya
uang
ganti
rugi yang harus
dibayar
debitur
untuk
setiap
hari
kelalaiannya
untuk
memenuhi
keputusan
pengadilan. Sekalipun
bukan
merupakan
dwangson, karena
harus
selalu
memperhitungkan
kerugian
kreditur
diwaktu yang akan
datang, sehingga
jumlahnya
harus
ada
hubungannya
dengan
kerugian, tetapi
mempunyai
kemiripan yang besar.
Karenanya
ada yang mengatakan, bahwa
“menetapkan sebelumnya, besarnya
kerugian yang akan
datang” sebenarnya
adalah
dwangson
semu.[14]
Sebenarnya
disamping
dwangson
masih
ada
sarana
eksekusi
tidak
langsung yang lain, yaitu
lijfdwang, tetapi di
Indonesia lembaga sandera dengan surat edaran M.A no. 82/1964 telah di bekukan.[15]
B.IV PembagianPerikatanMenurutDoktrin
Doktrin masih mengenal pembagian perikatan dengan cara lain, antara lain sebagai
berikut :
1.
Perikatan perdata dan perikatan alamiah
Perikatan
perdata
adalah
perikatan-perikatan sebagai yang kita
kemukakan
didepan, dengan
cirri
khas yang membedakannya
dari
perikatan
alamiah
ialah, bahwa
perikatan
perdata
pelaksanaannya
dapat
dituntut
didepan
pengadilan, dalam
arti
dapat
dimintakan
bantuan hukum untuk pelaksanaannya.
2.
Perikatan pokok atau principal dan
perikatan
accesoir
Perikatan
pokok
merupakan
perikatan yang dapat
berdiri
sendiri
dan
memang
biasanya
berdiri
sendiri, walaupun
tidak
menutup
kemungkinan
adanya
perikatan
lain
yang
ditempelkan
pada
perikatan
pokok
tersebut. Disinilah
letak
isi
pokok
perjanjian
dalam
jual
beli,
misalnya, disana
diatur
hubungan
hak
dan
kewajiban
utama
antara
penjual dan pembeli.
3.
Perikatan primair dan perikatan secundair
Perikatan
secundair
adalah
perikatan yang menggantikan
perikatan
primair, kalau
perikatan
primair
tidak
dipenuhi.
Contohnya :Tuntutan
ganti
rugi, bunga
dan
ongkos, dalam
hal
debitur
wanprestasi.
Antara perikatan acesoir dan perikatan secundair terdapat cirri persamaan, yaitu, bahwa
keduanya
mengabdi
pada
perikatan
pokok
atau
primair, sehingga
adanya
dan
hapusnya
bergantung
dari
perikatan
pokok
atau
primair.
4.
Perikatan sepintas dan perikatan yang memakan
waktu
Perikatan yang
sepintas adalah perikatan yang pemenuhannya
hanya
membutuhkan
waktu yang singkat
saja
dan
karenanya
hubungan
hukumnya
hanya
berlangsung
untuk
waktu yang pendek
saja. Umur
perikatannya
hanya
pendek
saja.
Contohnya: Perikatan yang timbul
dari
jual
beli (tunai), seperti
kewajiban
menyerahkan
benda yang dijual
dan
uang
harga
pembeliannya.
5.
Perikatan yang positif
dan
perikatan yang negatif
Perikatan yang
positif adalah perikatan yang isinya
mewajibkan
debitur
untuk
berbuat
atau
melakukan
sesuatu. Sedangkan perikatan yang negative adalah
perikatan yang melarang
orang berbuat sesuatu akan mewajibkan debitur untuk membiarkan sesuatu berlangsung (perikatan
untuk
tidak
berbuat
sesuatu).
6.
Perikatan yang sederhana
dan
perikatan yang kumulatif
Pada perikatan yang sederhana, kewajiban yang harus
ditunaikan
oleh
debitur
adalah
suatu
kewajiban
tertentu
saja
dan
kreditur
berhak
untuk
menolak
kalau
debitur
memberikan
prestasi yang lain, yang
bukan yang satu (yang diperjanjikan) itu (vide pasal 1389).
Perikatan kumulatif adalah perikatan yang mengandung
lebih
dari
satu
kewajiban
bagi
debitur
dan
pemenuhan
salah
satu
dari
kewajiban-kewajiban tersebut belum membebaskan debitur dari kewajibannya yang lain.
7.
Perikatan fakultatif dan perikatan alternative
Suatu perikatan dinamakan perikatan fakultatif kalau didalamnya ada kewajiban prestasi tertentu bagi debitur, tetapi
ia
bebas
untuk
menyuruh orang lain untuk
memenuhinya. Pada
umumnya
kewajiban
prestasi yang tidak
bersifat
pribadi
atau yang didasarkan
atas
kecakapan
dan
bakat
pribadi, merupakan
perikatan
fakultatif.
Pada perikatan alternative ada
lebih
dari
satu
kewajiban
prestasi, tetapi
debitur
diperkenankan
untuk
memilih
salah
satu
diantaranya
dan
pemenuhan yang satu
membebaskan
debitur
dari
kewajiban
untuk
berprestasi
lebih
lanjut.
8.
Perikatan yang dapat
dibagi-bagi
dan
perikatan yang tidak
dapat
dibagi-bagi
Dikatakan perikatan itu dapat dibagi-bagi,
kalau prestasinya dapat dipecah –pecah sedemikian rupa, sehingga masing-masing bagian berdiri sendiri,
tetapi tetap sebagian dari keseluruhannya. Perikatan yang tidak
dapat
dibagi-bagi, kalau
prestasinya
tidak
mungkin
dipecah-pecah
tanpa
mengakibatkan
nilai
prestasinya
menjadi lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
. Asas, syarat dan sumber perikatan
Dalam hokum perjanjian dapat dijumpai beberapa asas penting yang perlu diketahui. Asas-asas tersebut adalah seperti yang akan diuraikan dibawah ini:
1) System terbuka (open system);
2) Bersifatperlengkapan (optional);
3) Bersifatkonsensual;
4) Bersifatobligatoir.
. Syarat-syarat dalam perikatan:
a) Adanya kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak;
b) Kecakapan bertindak;
c) Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst);
d) Adanya causa yang halal (geoorloofdeoorzaak).
. Sumber-sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua, yaitu :
1) Perjanjian, dan 2) Undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.
. Pembagian Perikatan
Pembuat undang-undang telah membagi perikatan dalam beberapa kelompok, yaitu berdasarkan asal atau sumbernya, berdasarkan isinya, sifat prestasinya ataupun saat matangnya prestasi yang terhutang.
B. Daftar Pustaka
J. Satrio,
hokum perikatan, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993)
Subekti, hokum perikatan (Ttp.: PT Intermasa, 1979)
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html
[1] Subekti,
Hukum Perikatan (Ttp.: PT Intermasa, 1979), hlm.1.
[2] P.J.P
Tak, rechtsvorming in Nederland; een inleiding (Herleen: Samsom H.D. Tjeenk
Willink/Open Universiteit, 1991), hlm. 57.
[3] Lihat
KUH Perdata.
[6]Subekti,
hukum perikatan (Ttp.: PT Intermasa, 1979), hlm.1.
[7]J Satrio, hukum perikatan:
perikatan yang lahir dari undang-undang bagian pertama (Bandung: PT Citra
aditya bakti, 1993), hlm.31-32.
[8] M. Yahya
harahap, op. Cit, hlm 29.
[9] Subekti,
op. Cit, hlm 2.
[10] Lihat
satrio, hukum perikatan : perikatan yang lahir dari undang-undang bag pertama,
hlm 31.
[11] J
satrio, hukum perikatan, 1993, hlm 38.
[12]
Vollmar, hal. 14; Hofmann, hal. 25, mengatakan bahwa semua perikatan yang lain,
yang isinya bukan untuk memberikan sesuatu adalah untuk melakukan sesuatu.
[13]
Hofmann. Hal.46.
[14]Asser-Losecaatvermee, hal.166 dsl.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar