Senin, 13 Oktober 2014

pembuktian dan daluarsa dalam hukum perdata

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pemilihan judul dalam suatu makalah adalah sangat penting karena dari situlah kita dapat mengetahui apa yang sebenarnya di rangkum dalam sebuah makalah.
Alasan saya memilih judul “Resume Hukum Perdata tentang Pembuktian dan Daluarsa” karena materi ini merupakan materi yang cukup penting diantara materi yang lain dan karena ini juga merupakan tugas dalam mata kuliah hukum perdata.
Latar belakangnya adalah mengenai tentang tingkahlaku yang dilakukan oleh manusia, yang salah satunya berhubungan dengan yang namanya perikatan dan daluarsa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang sering disebut dengan BW.
Pembuktian dan Daluarsa merupakan salah satu contoh yang sering terjadi didalam kehidupan manusia sehari-hari, dalam bernegara bahkan Dunia. Didalam makalah ini terdapat penjelasan-penjelasan mengenai pengertian Pembuktian dan Daluarsa, serta apasaja yang termasuk dan berhubungan dengan Pembuktian dan Daluarsa.
Pembuatan makalah ini sendiri dilakukan melalui pencampuran sumber yang berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan beberapa buku panduan serta pemikiran penulis itu sendiri.
Makalah ini mempunyai tujuan yang jelas yaitu, untuk meningkatkan ilmu serta pengetahuan terutama dalam perkulian Hukum Perdata, yang pastinya pembaca dapat memahami dengan sistematis tentang apa yang sudah di jabarkan didalam makalah ini.
Sistematika penulisannya pun beragam yang pertama terdiri dari bab I yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan  dan sistematika penulisan, yang kedua yaitu Bab II mengenai pengertian pembuktian pada umumnya dan daluwarsa. Dan yang terakhir bab III mengenai kesimpulan-kesimpulan dari makalah ini dan saran-saran yang ditujukan untuk membangun karakter penulis agas bisa lebih maju dalam berkarya.
B.     TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk melatih mahasiswa khususnya saya pribadi agar bisa menulis dengan baik dan untuk memenuhi tugas makalah pada mata kuliah hukum perdata.
C.    SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari lV bab yaitu yang pertama bab l pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan, pada bab ll pembahasan meliputi pembahasan pengertian pembuktian dan macam-macam pembuktian, pada bab lll pembahasan meliputi pembahsan Pengertian daluarsa dan hal-hal yang dapat mencegah dan menangguhkan daluarsa dan sebagainya, dan bab lV penutup  mengenai kesimpulan-kesimpulan dari makalah ini dan saran-saran yang ditujukan untuk membangun karakter penulis agas bisa lebih maju dalam berkarya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.     PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA
Menurut pasal 1865 KUH Perdata pembuktian pada umumnya setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.[1]
Pada pasal 1866 KUH Perdata menjelaskan tentang alat pembuktian, meliputi:
a.       Bukti tertulis;
b.      Bukti saksi;
c.       Persangkaan;
d.      Pengakuan;
e.       Dan sumpah.[2]

a.      Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis pada pasal 1866 KUH Perdata, sebagai alat bukti dalam urutan pertama, ada juga yang menyebutkan alat bukti surat. Hal ini sesuai dengan kenyataan jenis surat atau akta dalam perkara perdata, memegang peran yang penting. Semua kegiatan yang menyangkut bidang perdata, sengaja dicatat dan dituliskan dalam surat atau akta.[3] 
Surat-surat akte dapat dibagi lagi ats surat-surat akte resmi(authentiek) dan surat-surat akte di bawah tanganonderhands).[4]
Surat akte resmi ialah suatu akte yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tersebut. Pejabat umum yang dimaksudkan itu ialah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil (ambtenaar burgerlijke stand) dan sebagainya.

Suatu akte di bawah tangan ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditanda tangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tanda tanganya, yang berati ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte di bwah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan akte resmi.
b.      Alat bukti saksi
Alat bukti saksi seperti yang dijelaskan pada KUH Perdata pasal 1895 yaitu pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang.[5]
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam suatu perkara yang diperiksa di depan hakim. Suatu kesaksian , harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya sendiri dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.[6] 
c.       Alat bukti persangkaan
Alat bukti persangkaan seperti yang dijelaskan pada KUH Perdata pasal 1915 yaitu persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum.[7] 
Menurut prof Subekti, persangkaan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga telah terjadi.
Dalam hukum pembuktian, ada dua macam persangkaan, yaitu persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (wattelijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).[8]
d.       Alat bukti pengakuan
Pengakuan yang bernilai alat buktimenurut pasal 1923 KUH Perdata memiliki pengertian pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara, pernyataan atau keterangan itu dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan, keterang itu merupakan pengakuan (bekentenis, confession), bahwa apa yang didalilkan atau yang dikemukakan pihak lawan benar untuk keseluruhan atau sebagian.[9]
e.       Alat bukti sumpah
Alat bukti sumpah merupakan alat bukti yang terakhir yang dijelaskan dalam pasal 1866 KUH Perdata. Dalam pasal 1929 KUH Perdata ada dua macam sumpah di hadapan hakim:
1.      Sumpah yang diperintahkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain untuk pemutusan suatu perkara; sumpah itu disebut sumpah pemutus;
2.       Sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak.[10]
Pengertian sumpah sebagai alat bukti, adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan:
·         Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu, takut ats murka Tuhan, apabila dia berbohong;
·         Takut kepada murka atau hukuman Tuhan, dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya. [11]

B.     DALUWARSA (verjaring) PADA UMUMNYA
Daluwarsa atau lewat waktu menurut pasal 1946 KUH Perdata ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh  sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Kemudian pada pasal 1967 KUH Perdata menjelaskan bahwa “semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk”.
 Selanjutnya pada pasal 1968 KUH Perdata, untuk para ahli dan pengajar dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan, tuntutan para penguasa rumah penginapan dan rumah makan, tuntutan para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk uang tiap-tiap kali lewat waktu yang kurang dari satu triwulan untuk mendapatkan upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu, semua tuntutan ini lewat waktu dengan lewatnya waktu satu tahun.
Selanjutnya pada pasal 1969 KUH Perdata, tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan,tuntutan para jurusita, tuntutan para pengelola sekolah berasrama, tuntutan para buruh kecuali mereka yang dimaksudkan dalam pasal 1968, semua tuntutan ini lewat waktu dengan lewatmya waktu dua tahun.
Selanjutnya pada pasal 1970 KUH Perdata, tuntutan para advokat dan pengacara, hapus karena lewat waktu dengan lewatnta waktu dua tahun, terhitung sejak hari diputuskannya perkara, hari tercapainya perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, atau hari dicabutnya kuasa pengacara itu, mengenai hal perkara yang tidak selesai, tak dapatlah mereka menuntut pembayaran persekot dan jasa yang telah ditunggak lebih dari sepuluh tahun. Kemudian tuntutan para notaris untuk persekot dan upah mereka, lewat waktu juga dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak hari dibuatnya akta yang bersangkutan.
Selanjutnya pada pasal 1971 KUH Perdata, tuntutan para tukang kayu, tukang batu, dan tukang lainnya, tuntutan  para pengusaha toko, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu lima tahun.[12]
Ø  Ada dua macam Daluarsa atau Verjaring :
1. Acquisitieve Verjaring
2. Extinctieve Verjaring
         
a.1 Acquisitieve Verjaring
Acquisitieve verjaring adalah lewat waktu sebagai cara memperoleh hak milik atas suatu benda.
Ø  Syarat adanya daluwarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang menguasai benda tersebut.
Seperti dalam pasal 1963 KUH Perdata:
“ Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa , dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun “.
“ Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.
Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda ynag tidak bergerak lama kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dan apabila ia bisa menunjukkan suatu title yang sah, maka dengan daluarsa dua puluh tahun sejak mulai menguasai benda tersebut.
Misalnya : Nisa menguasai tanah perkarangan tanpa adanya title yang sah selama 30 tahun. Selama waktu itu tidak ada gangguan dari pihak ketiga, maka demi hukum, tanah pekarangan itu menjadi miliknya dan tanpa dipertanyakannya alas hukum tersebut.
b.2 Extinctieve Verjaring                                                                
Extinctieve verjaring adalah seseorang dapat dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum. Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, setiap orang dibebaskan dari semua penagihan atau tuntutan hukum. Ini berarti, bila seseorang digugat untuk mebayar suatu hutang yang sudah lebih dari tiga puluh tahun lamanya, ia dapat menolak gugatan itu dengan hanya mengajukan bahwa ia selama tiga puluh tahun belum pernah menerima tuntutan atau gugatan itu.[13]
 Misalnya : Dheya telah meminjam uang kepada Syamsul sebesar Rp.10.000.000,00 . Dalam jangka waktu 30 tahun, uang itu tidak ditagih oleh Syamsul, maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka Dheya dibebaskan untuk membayar utangnya kepada Syamsul.
Ø    Pelepasan lewat waktu seperti apa yang dijelaskan dalam pasal 1948 KUH Perdata yaitu pelepasan lewat waktu dapat dilakukan secara tegas atau secara diam-diam. Pelepasan secara diam-diam disimpulkan dari suatu perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa seseorang tidak hendak menggunakan suatu hak yang telah diperolehnya.
Pelepasan Daluarsa dibagi menjadi 2, yaitu :
 Dilakukan secara Tegas
Seseorang yang melakukan perikatan tidak diperkenankan melepaskan Daluarsa sebelum tiba waktunya, namun apabila ia telah memenuhi syarat-syarat yang ditentuka dan waktu yang telah ditentukan pula, maka ia berhak melepaskan Daluarsanya.
 Dilakukan secara Diam-diam
Pelepasan yang dilakukan secara diam-diam ini terjadi karena si pemegang Daluarsa tidak ingin mempergunakan haknya dalam sebuah perikatan.



  
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa:
v    Dari pasal 1957 KUH Perdata bahwa jika seseorang ingin menambah dan memperpanjang waktu daluarsa dapat dilakukan apabila ia masih berkuasa atas kepemilikan benda tersebut terhitung dari waktu orang sebelumnya yang menguasai benda tersebut hingga dia sekarang, itu tidak menilai bagaimana orang tersebut mendapatkan benda itu baik melalui cuma-cuma atau dengan beban.
Dalam pasal 1959 mengandung arti bahwa orang yang menyewa, menyimpan dan sebagainya barang milik orang lain tidak dapat memperoleh kepemilikan barang tersebut dengan jalan daluarasa, meskipun dengn lewat waktu berapa lamanya, tidak akan mempengaruhi sedikitpun. Orang-orang yang menyewa, menyimpan dan sebagainya dapat memperoleh hak milik dengan jalan daluarsa dengan syarat hak penguasaan telah berganti dari orang sebelumnya sebelum dia.
Orang dapat memindahkan hak milik barang yang disewakan, digadaikan dan sebagainya dengan jalan daluarasa dengan syarat apabila orang yang mempunyai benda tersebut telah menyerahkan hak kepemilikan kepada penyewa dan lain sebagainya dan si penyewa dapat memiliki hak atas benda tersebut. Daluarsa dihitung dengan hari bukan jam dan daluarsa dapat diperoleh apabila hari terakhir dari jangka waktu yang telah ditentukan telah lewat.
v  Daluarsa dipandang sebagai alat untuk memperolah sesuatu
Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh atau mendapatkan suatu benda tidak bergerak, bunga dan sebagainya, memiliki benda tersebut selam tiga puluh tahun tanpa ada pihak yang lain yang nenggangu kenikmatannya, maka ia adalah pemilik sah atas barang-barang tersebut tanpa harus menunjukan alas haknya, yang sesuai dengan pasal 1963 KUH Peradata.
Dalam proses daluarsa itikad baik harus selalu ada pada setiap orang yang ingin memperoleh hak milik sedangkan orang yang menunjukkan bahwa ia tidak beritikas baik maka ia harus membuktikan bahwa dia bisa beritikad baik. Itikad baik cukup dilakukan pada waktu denda itu belum berpindah hak milik hanya berpindah hak miliknya pada dirinya.
v  Daluarsa dipandang sebagai alat untuk dibebaskan dari kewajiban
Segala tuntutan hukum hapus karena daluarsa, sedangkan dalam peradilan tidaklan seseorang menunjukkan pada persidangan bahwa adanya pengadilan karena haknya sia-sia saja, hal itu tidak di karenakan daluarsa tidak dapat di ganggu gugat tetapi sudah tercantum daluwarsanya masing-masing berdasarkan KUH Perdata.
Kemudian dapat pula disimpulkan bahwa:
Tujuan Lembaga Daluarsa :
1. Untuk melindungi kepentingan masyarakat.
2. Untuk melindungi pemegang daluwarsa atau si berhutang dengan jalan mengamankannya terhadap tututan yang sudah kuno.
B. kritik dan saran
Dalam tahap belajar, tentunya saya pribadi masih memiliki banyak kekurangan atau kekeliruan bahkan kesalahan yang tentunya bisa lebih baik dengan adanya kritik dan saran yang membangun oleh dosen dan mahasiswa/i yang membaca makalah saya ini.
Terima kasih. . .






DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya. Hukum acara perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti, R. Pokok-pokok hukum perdata. Jakarta: Intermasa
Soimin, Soedharyo. Kitab undang-undang hukum perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
 




[1] KUH Perdata, Soedharyo Soimin, SH, hlm, 463.
[2] KUH Perdata, Soedharyo Soimin, SH, hlm, 463.
[3] M. Yahya harahap, SH. Hukum acara perdata, hlm, 556-557.
[4] Prof. Subekti, S.H. pokok-pokok hukum perdata, hlm, 178.
[5] KUH Perdata, Soedharyo soimin, S.H. hlm, 469.
[6] Prof. Subekti, S.H. pokok-pokok dalam hukum perdata, hlm, 180-181.
[7] KUH Perdata, Soedharyo soimin, S.H. hlm, 472.
[8] Prof. Subekti, S.H. pokok-pokok hukum perdata, hlm, 182.
[9] M. Yahya harahap, S.H. Hukum acara perdata, hlm, 722.
[10] KUH Perdata, Soedharyo soimin, hlm, 475.
[11] M. Yahya harahap, S.H. Hukum acara perdata, hlm, 745.
[12] KUH Perdata, Soedharyo Soimin, hlm,  478-482.
[13]Prof. Subekti, S.H. pokok-pokok hukum perdata, hlm, 186-187.  

2 komentar:

  1. Mf prof, sy mau nanya karena ayah sy ada masalah karena di permasalahkan oleh kades dn perangkatnya, ayah sy punya sebidang tanah yg terkena tol, tapi haknya diminta desa 70 persen, ayah sy 30 persen namun sampai sekarang belum deal karena ayah sy mempertahankan haknya dg alasan penguasaan sdh 22 th, ada pethok D, ada sppt, dn segel + kwitansi dr pihak penggarap pd saat itu, sdgkn desa blm mau menanda tangani usulan berkas pencairan ke bpn, mhn solusiny

    BalasHapus
    Balasan
    1. mohon maaf kalo ada salah kata alangke baiknya di perbaiki.
      menurut saya ya pak, jika bpk tdk terima mendaptkan 30% mohon di urus aja pak di pengadilan atau bpk bisa lapor ke pihak yg berwajib biar tidak ada kesalahpahaman, dan mereka bisa dituntut kan blom ada perjanjian dan pencairan uang.
      trimkasi pak

      Hapus