BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam
al-qur’an surat an-nisa : 7 disebutkan bahwa yang artinya : “Bagi laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya
dan kerabat-kerabatnya. Bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya,
baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS.
An-nisa [4] : 7).[1]
Dari
keterangan ayat al-qur’an diatas, kita dapat memahami bahwa setiap orang yang
meninggal dunia, maka memiliki akibat hokum, yaitu akan mewariskan hartanya
kepada keturunannya, maupun kerabatnya. Hal itu jelas untuk melestarikan
keturunan maupun kerabat dari pewaris tersebut. Oleh sebab itu, kiranya sangat
penting kita memahami tentang hokum waris, tepatnya hokum waris islam.
Dalam
makalah ini akan dijlaskan oleh penulis, apa itu hokum waris? Dan
penjelasan-penjelasan lainnya yang tentunya berkaitan dengan hokum waris islam.
B. Rumusan
makalah
1. Apa itu
hokum waris islam?
2. Apa saja
prinsip-prinsip kewarisan dalam islam?
3. Apa yang
menjadi sebab seseorang mewariskan dalam islam?
4. Apa saja
rukun waris dalam islam?
5. Apa yang
menjadi syarat dalam kewarisan islam?
6. Apa yang
menjadi penghalang dalam kewarisan islam?
C. Tujuan
penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk melatih mahasiswa
khususnya penulis pribadi agar
bisa menulis dengan baik, dan untuk
memenuhi tugas makalah pada mata kuliah hukum kewarisan di Indonesia.
D. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari III bab yaitu yang
pertama bab I pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, rumusan makalah,
tujuan penulisan dan sistematika penulisan, pada bab II pembahasan meliputi
pembahasan pengertian, prinsip, sebab dan rukun, syarat, serta penghalang dalam
kewarisan islam, dan pada bab
III penutup, mengenai kesimpulan-kesimpulan dari makalah ini dan saran-saran
yang ditujukan untuk membangun karakter penulis agas bisa lebih baik
dalam berkarya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
waris dalam islam
Ungkapan yang digunakan al-Quran untuk menunjukkan masalah warits
dan kewarisan. dapat dilihat pada tiga jenis, yakni al-Miirats, al-Faraidh dan
al-Tirkah.
Pengertian waris dari kata mirats,
menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain,
atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu ini bersifat umum, bisa
berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan.
Sedangkan waris menurut Ash-Shabuni, ialah berpindahnya hak milik
dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa
harta, atau hak-hak syar’i ahli waris.
Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan
harta peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya
sebab-sebab dan telah terpenuhinya syarat rukunnya, tidak tergolong terhalang
atau menjadi penghalang warits.
Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan
adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang
masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.
Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan
hak-hak pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata
cara yang telah ditetapkan oleh nash.
Kata kedua dalam al-Quran
yang menunjukan waris dan kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab,
al-Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhah, yang diambil dari kata fardh
yang artinya ketentuan yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat
An-Nisa’ (4) ayat 11:
“Ini adalah ketetapan dari Allah, Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha bijaksana”.
Faraidh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan
bagi ahli waris. Kata faraidh sering diartikan sebagai saham-saham yang telah
dipastikan kadarnya, maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang
tidak bisa diubah karena datangnya dari Allah.
Berkaitan dengan hukum pasti ini, kata faraidh (kepastian) terdiri
dari dua kata, pertama: mafrudha (An-Nisa’:7), menurut al-Maraghi hal itu
mengandung makna bahwa saham yang telah ditetapkan kadarnya itu, para ahli
waris harus mengambilnya, kedua: faridhatan (An-Nisa’:11), menurut al-Maraghi
juga, mengandung maksud bahwa saham-saham yang telah disebutkan dalam al-Quran
secara terinci itu disertai siapa-siapa ahli waris yang akan memperoleh saham
itu. Dan ini merupakan ketetapan yang harus diimplementasikan.
Dengan demikian, secara operasional dapat ditegaskan bahwa dalam
konteks kewarisan, kata faraidh tetap dimaksudkan sebagai pengalihan harta
pewaris kepada ahli warisnya dengan saham yang pasti.
Kata ketiga dalam al-Quran
yang menunjukan waris dan kewarisan adalah al-Tirkah. Dalam bahasa Arab, adalah
bentuk masdar dari kata tunggal taraka, mengandung beberapa makna dasar, yakni
membiarkan menjadi, mengulurkan lidah, meninggalkan agama dan harta
peninggalan.
Dalam referensi ini, makna tirkah dibatasi pada makna harta
peninggalan. Tirkah dijelaskan oleh firman Allah dalam surat alNisa’ (4) ayat
7 :
“Untuk laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik itu sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan”.
Menurut Madzhab Hanafi, tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh
mayit (orang yang mati) secara mutlak. Ibnu Hazm menambahkan bahwa Allah telah
mewajibkan warisan pada harta bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia
sesudah ia mati.
Sebelum harta itu dibagi kepada ahli warisnya, maka hak-hak yang
berhubungan dengan tirkah harus didahulukan, seperti biaya penguburan jenazah,
pelunasan utang atau wasiat pewaris.
Dengan demikian, tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang
meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah,
pembayaran utang dan pelaksanaan wasiat serta pembagian kepada ahli warisnya.[2]
B.
Prinsip-prinsip hokum waris islam
Prinsip-prinsip
Hukum Waris Islam diantaranya ialah:
a. Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peralihan harta
seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya.
b. Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan
dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
c. Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik
laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis
kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang
untuk mewarisi atau diwarisi.
d. Prinsip kewarisan hanya karena kematian,
yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan
kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan
demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup.
Selain prinsip prinsip di atas ada
pula beberapa prinsip pewarisan menurut hukum Islam yaitu:
1. Hukum waris Islam menempuh jalan tengah
antara pemberi kebebasan penuh kepada orang untuk memindahkan harta
peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang menghendaki dan melarang sama
sekali pembagian harta peninggalan yang tidak mengakui hak milik perorangan,
yang dengan sendirinnya tidak mengenal sistem pewarisan.
2. Warisan dalah ketetapan hukum yang
mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknnya atas warisan, dan
ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima
dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
3. Warisan terbatas dalam lingkungan
keluarga, dengan adannya hubungan perkawinan atau karena hubungan
nazab/keturunan yang sah.
4. Hukum waris islam lebih cenderung untuk
membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan
bagian-bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.
5. Hukum waris islam tidak membedakan hak
anak-anak atas harta warisan, hak anak-anak yang sudah besar, yang masih kecil
dan yang baru saja lahur, semuannya berhak atas harta warisan orang tuannya.
Tetapi perbedaan besar kecilnnya kewajiban yang harus di tunaikan dalam
keluarga.
6. Hukum Waris Islam membedakan besar kecil
bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup
sehari-hari, disamping memandang jauh dekat hubungan dengan mayit (Ahmad Azhar
Basyir,1977).[3]
C.
Sebab-sebab mewaris dalam islam
Dalam hokum
waris islam, ada dua sebab mewaris, yaitu diataranya:
Ø
Sebab-sebab mewariskan yang disepakati
Ø
Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan
Ø Sebab-sebab mewariskan yang disepakati
a. Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara
orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh
kelahiran, baik dekat maupun jauh. Sesuai dengan al-qur’an surat an-nisa: 11,
12, dan 176.[4]
b. Pernikahan
Pernikahan merupakan akad yang sah (menurut
syariat) sekalipun hubungan intim dan khulwah belum dilakukan, dan sekalipun
orang yang menikah menderita sakit keras. Menurut imam Malik berpendapat bahwa
akad dianggap batal jika salah satu dari orang yang menikah sakit keras. Kalau
kondisinya demikian, waris mewarisi tidak dapat dilakukan. Dalilnya ialah dalam
al-qur’an surat an-nisa: 12.
Jadi, perkawinan menyebabkan laiki-laki dan
perempuan dapat saling mewarisi selama akadnya masih utuh. Namun, apakah talak
dapat menghalangiuntuk saling mewarisi? Berikut penjelasanya.
c. Hak waris bagi istri yang ditalak.
Talak ada yang berstatus raj’I, ada yang
berstatus ba’in, dalam keadaan sehat maupun maupun dalam keadaan sakit keras.
Talak raj’I, tidak menjadi penghalang bagi laki-laki dan
perempuan yang pernah memiliki akad pernikahan untuk saling mewarisi.
Talak ba’in, penalakan ini jika jatuh dalam keadaan
sehat, dapat menghalangi laki-laki dan perempuan untuk saling mewarisi. Karena
putusnya pernikahan, maka putuslah hak waris mewarisi diantaranya.
Talak ba’in, penalakan ini jika jatuh dalam keadaan
sakit keras, ada 4 pendapat menurut ulama, yaitu:
a. Istri tidak dapat mewarisi harta secara
mutlak. Seperti halnya talak ba’in dalam keadaan sehat. Menurut kalangan
syafi;iyah.
b. Istri dapat mewarisi harta peninggalan
ketika mantan suamnya meninggal dunia selama ia masih dalam masa iddahnya.
Namun, jika mantan suaminya meninggal setelah masa iddahnya berakhir, istri
tidak dapat mewarisi harta suami. Menurut kalangan hanafiyah.
c. Istri tetap dapat mewarisi harta
suaminya baik dalam keadaan masih dalam masa iddah maupun masa iddahnya sudah
berakhir, maupun selama istri belum menikah dengan laki-laki lain atau murtad.
Sebab, istri dapat memperoleh warisan ketika suami dikeluarkan dari kelompok
orang-orang yang mewarisi harta peninggalan istri. Makna ini tidak bias hilang
dengan berakhirnya masa iddah, sebagai interaksi untuk suami dengan melawan
maksudnya. Menurut kalangan hambaliyah.[5]
d. Istri dapat mewarisi harta secara
mutlak, baik ia masih dalam masa iddah ataupun sudah berakhir, maupun ia sudah
menikah dengan laki-laki lain atau belum. Menurut kalangan malikiyah.[6]
d. Wala’
Wala berate tetapnya hokum syara’ karena
membebaskan budak. Dalam konteks ini, wala yang dimaksud adalah wala al-ataqah,
yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak, dan bukan dimaksudkan dengan
wala al-mawlah dan muhalafah, membebaskan budak karena kepemimpinan dan adanya
sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam sebab-sebab
pewarisan.
Ø Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan
a. Baitulmal
Para ahli fiqh berselisih pendapat tentang
baitulmal yang menjadi salah satu sebab boleh tidaknya mewarisi. Ada tiga
pendapat:
-
Pertama, baitulmal sebagai ahli waris
(mewarisi) secara mutlak harta orang-orang yang tidak memiliki kerabat, sanak
familinya. Baik baitulmal yang terorganisir maupun tidak. Menurut kalangan
malikiyyah dan imam syafi’i dalam qaul qadimnya ketika berada di Baghdad.
-
Kedua, baitulmal dapat mewarisi jika
terorganisir. Menurut imam syafi’I dalam qaul jadidnya ketika berada di Mesir
dan malikiyyah. Bersandar pada hadis nabi saw:
”aku adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku dapat
membayar dendanya dan mewarisinya.”
-
Ketiga,
baitulmal bukan menjadi sebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisir
ataupun tidak. Menurut kalangan hanafiyyah dan hambaliyyah. Bersandar pada firman
Allah SWT: “orang-orang yang mempunyai kerabat itu, sebagian mereka lebih
berhak terhadap sesamanya (dari yang bukankerabat) di dalam kitab Allah swt.”
(al-anfal [8]: 75)
b. Wala al-muwalah
Wala al-muwalah adalah waris mewarisi
dengan akad muwalah (perwalian).
Ada tiga pendapat dalam wala al-muawalah,
diantaranya:
-
Pertama, wala al-muwalah sama sekali tidak
dikenal dalam agama islam. Pendapat ini diceritakan oleh ar-rafi’iy dari
al-qadhi ar-rayyaniy.
-
Kedua, wala al-muwalah telah dikenal pada
awal-awal islam, kemudian dinasakh (dibatalkan). Ini adalah pendapat imam
malik, dan imam syafi’i.
-
Ketiga, wala al-muwalah belum dinasakh dan
hukumnya masih berlaku. Ini pendapat imam Ahmad bin Hambal dan imam abu
hanifah.menurut mereka, wala al-muwalah mendapatkan bagian stelah radd dan
dzawil arham. Mereka berdalil sesuai firman Allah swt dalam surat an-nisa[4]:
33.
Akan tetapi, pendapat yang kuat mengatakan
bahwa wala al-muhalafah (atas dasar sumpah) dan waa al-mu’aqadah (atau dasar
ikatan tertentu) telah dihapus dengan firman Allah swt dalam surat
al-ahzab[33]: 6.
D. Rukun dalam waris islam
Rukun-rukun dalam waris ada tiga:
a. Al-muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia atau
mati, baik mati hakiki maupun mati hukmiy (kematian yang dinyatakan oleh hakim
atas dasar beberapa sebab).
b. Al-warits, yaitu orang yang hidup (kerabat) atau anak
yang mempunyai hak mewarisi, mekipun dalam beberapa kasus tetentu akan
terhalang.
c. Al-mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan.
Itulah ketiga rukun yang harus ada dalam
waris mewarisi, jika tidak ada salah satunya, maka waris mewarisi tidak bias
dilakukan.
E. Syarat-syarat dalam kewarisan islam
a. Pertama, meninggalnya orang yang mewariskan.
b. Kedua, ahli warits yang hidup.
c. Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli
warits dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, perwalian.
Jika ahli waris sudah memenuhi
syarat-syarat ini, hendaknya ia mengetahui ketiadaan penghalang-penghalang
mewarisi.[7]
Ketika syarat-syarat sudah terpenuhi, sebab-sebab mewarisi sudah ada, dan bebas
dari penghalang-penghalang mewarisi, proses waris-mewarisi dapat dilakukan.
F. Penghalang waris mewarisi dalam islam
Secara
umum, penghalang dalam waris dibagi menjadi dua:
·
Penghalang waris yang disepakati;
·
Penghalang waris yang diperselisihkan.
a. Penghalang waris dalam islam yang
disepakati
-
Berlainan agama
Para ahli fiqh telah bersepakat
bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dan mewariskan,
merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang waris mewarisi dalam
islam. Berdasarkan hadits nabi saw: “orang islam tidak dapat mewarisi harta
orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam.”(HR
Muttafaq ‘alaih).
-
Perbudakan
Perbudakan dianggap sebagai penghalang
waris mewarisi ditinjau dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat
mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta
untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli
warisnya, niscaya yang memiliki warisan adalah tuannya, sedangkan budak
tersebut orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).
Budak
itu juga tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya karena
dianggap tidak mempunyai sesuatu. Namun, seandainya ia mempunyai sesuatu, maka
kepemilikannya dianggap tidak sempurna (tidak stabil). Kepemilikan kepemilikan
tersebut beralih pada tuannya akibat sirnanya kepemilikan yang ada pada budak.
Hal ini selaras dengan hadis nabi saw: “siapa yang menjual seorang hamba
sedangkan dia memiliki harta, maka hartanya tersebut menjadi milik pembelinya,
kecuali bila hamba tersebut mensyaratkanya (supaya hartanya tidak menjadi milik
tuannya).” (HR Ibnu Majjah).
-
Pembunuhan
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang
mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqh
telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hokum
waris islam untuk waris mewarisi. Hal ini berdasarkan hadis nabi saw: “seorang
pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun.”(HR Abu Daud)[8]
b. Penghalang waris dalam islam yang
diperselisihkan
-
Riddah
Riddah adalah keluar dari agama islam.
Orangnya disebut murtad, baik dalam keadaan dapat membedakan secara
sadar,maupun dalam keadaan bercanda. Para ulama fiqh bersepakat bahwasanya
riddah dapat menghalangi hak mewarisi. Seseorang yang murtad, tidak dapat
mewarisi harta peninggalan kerabatnya yang sama-sama murtad, orang kafir, dan
seorang muslim. Dengan demikian, tidak ada jalan untuk saling mewarisi dari
kerabatnya yang sama-sama murtad karena harta peninggalannya merupakan fa’I
(harta benda atau kekayaan Negara yang diperoleh dari non muslim dengan jalan
menarik pajak, bea, dan mengurus harta orang murtad).
Terhalangnya
beberapa orang untuk dapat saling mewarisi juga berlaku terhadap orang kafir
yang saudaranya “murtad” karena tidak adanya kesamaan diantara mereka. Hal ini
disebabkan orang murtad tidak mengakui agamanya, sedangkan orang kafir mengakui
agamanya sendiri. Demikian pula orang murtad, tidak dapat mewarisi dari harta
seorang muslim, sesuai dengan sabda nabi saw: “orang islam tidak dapat mewarisi
harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam.”(HR
Muttafaq ‘alaih).
Namun, jika orang murtad tersebut kembali
masuk islam setelah kematian orang yang mewariskan, kalangan madzhab
hambaliyyah berpendapat, “jika sebelum pembagian harta waris orang yang murtad
itu kembali masuk islam, ia dapat mewarisi. Hal ini ditujukan untuk
memotivasinya agar ia tetap teguh didalam islam.”
-
Berlainan Negara di antara sesame orang
kafir
Ada tiga kategori kafir, dzimmiy, harbiy,
dan musta’min. Ada dua perselisihan pendapat, yaitu:
a. Madzhab Hanafiyyah, syafi’iyyah, dan
hambaliyyah (dalam satu riwayat) berpendapat bahwa berlainan Negara termasuk
salah satu penghalang waris mewarisi. Karenanya, di antara harbiy dan dzimmiy
tidak dapat saling mewarisi, akibat terputusnya sikap saling menolong diantara
mereka.
b. Madzhab Malikiyyah dan Hambaliyyah
(dalam riwayat yang lain)[9]
berpendapat bahwa berlainan negara tidak menghalangi saling waris mewarisi
diantara sesame orang kafir, karena secara mutlak keumuman nash menuntut saling
mewarisi di antara mereka, dan tidak ada nash yang men-takhsish (mengkhususkan)
keumuman tersebut.
Pendapat
kedua itulah yang lebih kuat disebabkan dalil yang digunakan kuat sanadnya,
sedangkan dalil pendapat yang pertama adaah lemah.
-
Ketidakjelaskan waktu kematian
imam
nawawi dalam kitab al-minhaj:
“penghalang yang kelima dari penghalang
waris mewarisi ialah ketidak jelasan waktu kematian. Dengan demikian, bila
orang yang dapat saling mewarisi meninggal dunia secara bersamaan, misalnya
akibat kebakaran, tenggelam, keruntuhan bangunan, atau hilang di hutan, kemudian
tidak diketahuisiapa di antara mereka yang meninggal terlebih dahulu, maka
keduanya tidak dapat saling mewarisi.”
Namun, kebanyakan ahli fiqh tidak
menganggap ini sebagai penghalang waris mewarisi. Karena yang dimaksud mani’
(penghalang) ialah sesuatu yang menghimpun sebab dan syarat. Sedangkan ini
disebabkan ketiadaan syarat, yakni kepastian hidupnya ahli waris di saat
kematian orang yang mewariskan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
kita mengetahui isi dari makalah ini, kiranya penulis dapat simpulkan bahwa
sebagai umat islam kiranya kita perlu mengetahui pengertian, prinsip, syarat,
sebab, dan penghalang dalam kewarisan islam sesuai dengan syariat islam dan
dalil-dalil yang lebih kuat untuk kita gunakan dalam hal waris mewarisi bagi
umat islam. Karena alangkah baiknya sebagai umat islam, dalam hal waris
mewarisi pun menggunakan hokum kewarisan islam.
B. Kritik dan saran
Dalam tahap
belajar, tentunya penulis pribadi masih memiliki banyak
kekurangan atau kekeliruan bahkan kesalahan yang tentunya bisa lebih baik
dengan adanya kritik dan saran yang membangun oleh dosen dan mahasiswa/i yang
membaca makalah ini.
Terima kasih. .
.
DAFTAR PUSTAKA
Syariah, komite, fakultas, hokum waris, senayan
abadi pubishing 2009.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, Ali bahasa: Sarmin
Syukur, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995).
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits fi al-Syari’at
al-Islamiyah ‘ala Madzahib Arba’ah, ttp, (Dar Al-kitab,1984).Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah, Vol.14.
Alih Bahasa: Mudzakir As, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996). Depag RI,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: CV. Jaya Sakti, 1989).
[1] Q.S An-nisa[4]: 7
[2] http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-waris-menurut-al-quran.html. 19/05-2014.
[3] http://fauzysroom.blogspot.com/2012/04/babi-pendahuluan-1.html. 19/05-2014.
[4] Hokum waris, komite fakultas
syariah, universitas al-azhar, hlm, 32-34.
[5] Al-mughni karya ibnu qudamah, juz
Vll, hlm, 217.
[6] Bidayah al-mujtahid, juz ll, hlm,
62.
[7] At-tahqiqat al-mardhiyyah, hlm, 30.
[8] Nail al-authar, juz vll, hlm, 70.
[9] Hasyisyah ad-dasuqiy, juz IV, hlm,
433; al-anshaf, juz VII, hlm, 351.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar