Senin, 13 Oktober 2014

hukum kewarisan islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam al-qur’an surat an-nisa : 7 disebutkan bahwa yang artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya. Bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-nisa [4] : 7).[1]
Dari keterangan ayat al-qur’an diatas, kita dapat memahami bahwa setiap orang yang meninggal dunia, maka memiliki akibat hokum, yaitu akan mewariskan hartanya kepada keturunannya, maupun kerabatnya. Hal itu jelas untuk melestarikan keturunan maupun kerabat dari pewaris tersebut. Oleh sebab itu, kiranya sangat penting kita memahami tentang hokum waris, tepatnya hokum waris islam.
Dalam makalah ini akan dijlaskan oleh penulis, apa itu hokum waris? Dan penjelasan-penjelasan lainnya yang tentunya berkaitan dengan hokum waris islam.
B. Rumusan makalah
1. Apa itu hokum waris islam?
2. Apa saja prinsip-prinsip kewarisan dalam islam?
3. Apa yang menjadi sebab seseorang mewariskan dalam islam?
4. Apa saja rukun waris dalam islam?
5. Apa yang menjadi syarat dalam kewarisan islam?
6. Apa yang menjadi penghalang dalam kewarisan islam?



C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk melatih mahasiswa khususnya penulis pribadi agar bisa menulis dengan baik, dan untuk memenuhi tugas makalah pada mata kuliah hukum kewarisan di Indonesia.
D. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari III bab yaitu yang pertama bab I pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, rumusan makalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan, pada bab II pembahasan meliputi pembahasan pengertian, prinsip, sebab dan rukun, syarat, serta penghalang dalam kewarisan islam, dan pada bab III penutup, mengenai kesimpulan-kesimpulan dari makalah ini dan saran-saran yang ditujukan untuk membangun karakter penulis agas bisa lebih baik dalam berkarya.












BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi waris dalam islam
Ungkapan yang digunakan al-Quran untuk menunjukkan masalah warits dan kewarisan. dapat dilihat pada tiga jenis, yakni al-Miirats, al-Faraidh dan al-Tirkah.
Pengertian waris dari kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan.
Sedangkan waris menurut Ash-Shabuni, ialah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau hak-hak syar’i ahli waris.
Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab dan telah terpenuhinya syarat ­rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi penghalang warits.
Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.
Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah ditetapkan oleh nash.
Kata kedua dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab, al-Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhah, yang diambil dari kata fardh yang artinya ketentuan yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat An-Nisa’ (4) ayat 11:
“Ini adalah ketetapan dari Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana”.
Faraidh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Kata faraidh sering diartikan sebagai saham-saham yang telah dipastikan kadarnya, maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Allah.
Berkaitan dengan hukum pasti ini, kata faraidh (kepastian) terdiri dari dua kata, pertama: mafrudha (An-Nisa’:7), menurut al-Maraghi hal itu mengandung makna bahwa saham yang telah ditetapkan kadarnya itu, para ahli waris harus mengambilnya, kedua: faridhatan (An-Nisa’:11), menurut al-Maraghi juga, mengandung maksud bahwa saham-saham yang telah disebutkan dalam al-Quran secara terinci itu disertai siapa­-siapa ahli waris yang akan memperoleh saham itu. Dan ini merupakan ketetapan yang harus diimplementasikan.
Dengan demikian, secara operasional dapat ditegaskan bahwa dalam konteks kewarisan, kata faraidh tetap dimaksudkan sebagai pengalihan harta pewaris kepada ahli warisnya dengan saham yang pasti.
Kata ketiga dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah al-Tirkah. Dalam bahasa Arab, adalah bentuk masdar dari kata tunggal taraka, mengandung beberapa makna dasar, yakni membiarkan menjadi, mengulurkan lidah, meninggalkan agama dan harta peninggalan.
Dalam referensi ini, makna tirkah dibatasi pada makna harta peninggalan. Tirkah dijelaskan oleh firman Allah dalam surat al­Nisa’ (4) ayat 7 :
“Untuk laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik itu sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Menurut Madzhab Hanafi, tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang yang mati) secara mutlak. Ibnu Hazm menambahkan bahwa Allah telah mewajibkan warisan pada harta bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah ia mati.
Sebelum harta itu dibagi kepada ahli warisnya, maka hak-hak yang berhubungan dengan tirkah harus didahulukan, seperti biaya penguburan jenazah, pelunasan utang atau wasiat pewaris.
Dengan demikian, tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan pelaksanaan wasiat serta pembagian kepada ahli warisnya.[2]
B. Prinsip-prinsip hokum waris islam
Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam diantaranya ialah:
a.  Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
b.  Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
c.  Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
d.  Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup.
            Selain prinsip prinsip di atas ada pula beberapa prinsip pewarisan menurut hukum Islam yaitu:
1.      Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara pemberi kebebasan penuh kepada orang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang menghendaki dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinnya tidak mengenal sistem pewarisan.
2.      Warisan dalah ketetapan hukum yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknnya atas warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
3.      Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adannya hubungan perkawinan atau karena hubungan nazab/keturunan yang sah.
4.      Hukum waris islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian-bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.
5.      Hukum waris islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan, hak anak-anak yang sudah besar, yang masih kecil dan yang baru saja lahur, semuannya berhak atas harta warisan orang tuannya. Tetapi perbedaan besar kecilnnya kewajiban yang harus di tunaikan dalam keluarga.
6.      Hukum Waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekat hubungan dengan mayit (Ahmad Azhar Basyir,1977).[3]
C. Sebab-sebab mewaris dalam islam
Dalam hokum waris islam, ada dua sebab mewaris, yaitu diataranya:
Ø  Sebab-sebab mewariskan yang disepakati
Ø  Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan
Ø Sebab-sebab mewariskan yang disepakati
a. Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Sesuai dengan al-qur’an surat an-nisa: 11, 12, dan 176.[4]
b. Pernikahan
Pernikahan merupakan akad yang sah (menurut syariat) sekalipun hubungan intim dan khulwah belum dilakukan, dan sekalipun orang yang menikah menderita sakit keras. Menurut imam Malik berpendapat bahwa akad dianggap batal jika salah satu dari orang yang menikah sakit keras. Kalau kondisinya demikian, waris mewarisi tidak dapat dilakukan. Dalilnya ialah dalam al-qur’an surat an-nisa: 12.
Jadi, perkawinan menyebabkan laiki-laki dan perempuan dapat saling mewarisi selama akadnya masih utuh. Namun, apakah talak dapat menghalangiuntuk saling mewarisi? Berikut penjelasanya.
c. Hak waris bagi istri yang ditalak.
Talak ada yang berstatus raj’I, ada yang berstatus ba’in, dalam keadaan sehat maupun maupun dalam keadaan sakit keras.
Talak raj’I, tidak menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan yang pernah memiliki akad pernikahan untuk saling mewarisi.
Talak ba’in, penalakan ini jika jatuh dalam keadaan sehat, dapat menghalangi laki-laki dan perempuan untuk saling mewarisi. Karena putusnya pernikahan, maka putuslah hak waris mewarisi diantaranya.
Talak ba’in, penalakan ini jika jatuh dalam keadaan sakit keras, ada 4 pendapat menurut ulama, yaitu:
a. Istri tidak dapat mewarisi harta secara mutlak. Seperti halnya talak ba’in dalam keadaan sehat. Menurut kalangan syafi;iyah.
b. Istri dapat mewarisi harta peninggalan ketika mantan suamnya meninggal dunia selama ia masih dalam masa iddahnya. Namun, jika mantan suaminya meninggal setelah masa iddahnya berakhir, istri tidak dapat mewarisi harta suami. Menurut kalangan hanafiyah.
c. Istri tetap dapat mewarisi harta suaminya baik dalam keadaan masih dalam masa iddah maupun masa iddahnya sudah berakhir, maupun selama istri belum menikah dengan laki-laki lain atau murtad. Sebab, istri dapat memperoleh warisan ketika suami dikeluarkan dari kelompok orang-orang yang mewarisi harta peninggalan istri. Makna ini tidak bias hilang dengan berakhirnya masa iddah, sebagai interaksi untuk suami dengan melawan maksudnya. Menurut kalangan hambaliyah.[5]  
d. Istri dapat mewarisi harta secara mutlak, baik ia masih dalam masa iddah ataupun sudah berakhir, maupun ia sudah menikah dengan laki-laki lain atau belum. Menurut kalangan malikiyah.[6]
d. Wala’
Wala berate tetapnya hokum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini, wala yang dimaksud adalah wala al-ataqah, yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala al-mawlah dan muhalafah, membebaskan budak karena kepemimpinan dan adanya sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.
Ø  Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan
a. Baitulmal
Para ahli fiqh berselisih pendapat tentang baitulmal yang menjadi salah satu sebab boleh tidaknya mewarisi. Ada tiga pendapat:
-          Pertama, baitulmal sebagai ahli waris (mewarisi) secara mutlak harta orang-orang yang tidak memiliki kerabat, sanak familinya. Baik baitulmal yang terorganisir maupun tidak. Menurut kalangan malikiyyah dan imam syafi’i dalam qaul qadimnya ketika berada di Baghdad.
-          Kedua, baitulmal dapat mewarisi jika terorganisir. Menurut imam syafi’I dalam qaul jadidnya ketika berada di Mesir dan malikiyyah. Bersandar pada hadis nabi saw:  ”aku adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku dapat membayar dendanya dan mewarisinya.”
-           Ketiga, baitulmal bukan menjadi sebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisir ataupun tidak. Menurut kalangan hanafiyyah dan hambaliyyah. Bersandar pada firman Allah SWT: “orang-orang yang mempunyai kerabat itu, sebagian mereka lebih berhak terhadap sesamanya (dari yang bukankerabat) di dalam kitab Allah swt.” (al-anfal [8]: 75)
b. Wala al-muwalah
Wala al-muwalah adalah waris mewarisi dengan akad muwalah (perwalian).
Ada tiga pendapat dalam wala al-muawalah, diantaranya:
-          Pertama, wala al-muwalah sama sekali tidak dikenal dalam agama islam. Pendapat ini diceritakan oleh ar-rafi’iy dari al-qadhi ar-rayyaniy.
-          Kedua, wala al-muwalah telah dikenal pada awal-awal islam, kemudian dinasakh (dibatalkan). Ini adalah pendapat imam malik, dan imam syafi’i.
-          Ketiga, wala al-muwalah belum dinasakh dan hukumnya masih berlaku. Ini pendapat imam Ahmad bin Hambal dan imam abu hanifah.menurut mereka, wala al-muwalah mendapatkan bagian stelah radd dan dzawil arham. Mereka berdalil sesuai firman Allah swt dalam surat an-nisa[4]: 33.
Akan tetapi, pendapat yang kuat mengatakan bahwa wala al-muhalafah (atas dasar sumpah) dan waa al-mu’aqadah (atau dasar ikatan tertentu) telah dihapus dengan firman Allah swt dalam surat al-ahzab[33]: 6.

D. Rukun dalam waris islam
Rukun-rukun dalam waris ada tiga:
a. Al-muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun mati hukmiy (kematian yang dinyatakan oleh hakim atas dasar beberapa sebab).
b. Al-warits, yaitu orang yang hidup (kerabat) atau anak yang mempunyai hak mewarisi, mekipun dalam beberapa kasus tetentu akan terhalang.
c. Al-mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan.
Itulah ketiga rukun yang harus ada dalam waris mewarisi, jika tidak ada salah satunya, maka waris mewarisi tidak bias dilakukan.
E. Syarat-syarat dalam kewarisan islam
a. Pertama, meninggalnya orang yang mewariskan.
b. Kedua, ahli warits yang hidup.
c. Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli warits dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, perwalian.
Jika ahli waris sudah memenuhi syarat-syarat ini, hendaknya ia mengetahui ketiadaan penghalang-penghalang mewarisi.[7] Ketika syarat-syarat sudah terpenuhi, sebab-sebab mewarisi sudah ada, dan bebas dari penghalang-penghalang mewarisi, proses waris-mewarisi dapat dilakukan.
F. Penghalang waris mewarisi dalam islam
 Secara umum, penghalang dalam waris dibagi menjadi dua:
·         Penghalang waris yang disepakati;
·         Penghalang waris yang diperselisihkan.
a. Penghalang waris dalam islam yang disepakati
-     Berlainan agama
Para ahli fiqh telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dan mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang waris mewarisi dalam islam. Berdasarkan hadits nabi saw: “orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam.”(HR Muttafaq ‘alaih).
-          Perbudakan
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris mewarisi ditinjau dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang memiliki warisan adalah tuannya, sedangkan budak tersebut orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).
            Budak itu juga tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya karena dianggap tidak mempunyai sesuatu. Namun, seandainya ia mempunyai sesuatu, maka kepemilikannya dianggap tidak sempurna (tidak stabil). Kepemilikan kepemilikan tersebut beralih pada tuannya akibat sirnanya kepemilikan yang ada pada budak. Hal ini selaras dengan hadis nabi saw: “siapa yang menjual seorang hamba sedangkan dia memiliki harta, maka hartanya tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba tersebut mensyaratkanya (supaya hartanya tidak menjadi milik tuannya).” (HR Ibnu Majjah).
-          Pembunuhan
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqh telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hokum waris islam untuk waris mewarisi. Hal ini berdasarkan hadis nabi saw: “seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun.”(HR Abu Daud)[8]
b. Penghalang waris dalam islam yang diperselisihkan
-  Riddah
Riddah adalah keluar dari agama islam. Orangnya disebut murtad, baik dalam keadaan dapat membedakan secara sadar,maupun dalam keadaan bercanda. Para ulama fiqh bersepakat bahwasanya riddah dapat menghalangi hak mewarisi. Seseorang yang murtad, tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya yang sama-sama murtad, orang kafir, dan seorang muslim. Dengan demikian, tidak ada jalan untuk saling mewarisi dari kerabatnya yang sama-sama murtad karena harta peninggalannya merupakan fa’I (harta benda atau kekayaan Negara yang diperoleh dari non muslim dengan jalan menarik pajak, bea, dan mengurus harta orang murtad).
            Terhalangnya beberapa orang untuk dapat saling mewarisi juga berlaku terhadap orang kafir yang saudaranya “murtad” karena tidak adanya kesamaan diantara mereka. Hal ini disebabkan orang murtad tidak mengakui agamanya, sedangkan orang kafir mengakui agamanya sendiri. Demikian pula orang murtad, tidak dapat mewarisi dari harta seorang muslim, sesuai dengan sabda nabi saw: “orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam.”(HR Muttafaq ‘alaih).
Namun, jika orang murtad tersebut kembali masuk islam setelah kematian orang yang mewariskan, kalangan madzhab hambaliyyah berpendapat, “jika sebelum pembagian harta waris orang yang murtad itu kembali masuk islam, ia dapat mewarisi. Hal ini ditujukan untuk memotivasinya agar ia tetap teguh didalam islam.”
-          Berlainan Negara di antara sesame orang kafir
Ada tiga kategori kafir, dzimmiy, harbiy, dan musta’min. Ada dua perselisihan pendapat, yaitu:
a. Madzhab Hanafiyyah, syafi’iyyah, dan hambaliyyah (dalam satu riwayat) berpendapat bahwa berlainan Negara termasuk salah satu penghalang waris mewarisi. Karenanya, di antara harbiy dan dzimmiy tidak dapat saling mewarisi, akibat terputusnya sikap saling menolong diantara mereka.
b. Madzhab Malikiyyah dan Hambaliyyah (dalam riwayat yang lain)[9] berpendapat bahwa berlainan negara tidak menghalangi saling waris mewarisi diantara sesame orang kafir, karena secara mutlak keumuman nash menuntut saling mewarisi di antara mereka, dan tidak ada nash yang men-takhsish (mengkhususkan) keumuman tersebut.
            Pendapat kedua itulah yang lebih kuat disebabkan dalil yang digunakan kuat sanadnya, sedangkan dalil pendapat yang pertama adaah lemah.
-          Ketidakjelaskan waktu kematian
 imam nawawi dalam kitab al-minhaj:
“penghalang yang kelima dari penghalang waris mewarisi ialah ketidak jelasan waktu kematian. Dengan demikian, bila orang yang dapat saling mewarisi meninggal dunia secara bersamaan, misalnya akibat kebakaran, tenggelam, keruntuhan bangunan, atau hilang di hutan, kemudian tidak diketahuisiapa di antara mereka yang meninggal terlebih dahulu, maka keduanya tidak dapat saling mewarisi.”
Namun, kebanyakan ahli fiqh tidak menganggap ini sebagai penghalang waris mewarisi. Karena yang dimaksud mani’ (penghalang) ialah sesuatu yang menghimpun sebab dan syarat. Sedangkan ini disebabkan ketiadaan syarat, yakni kepastian hidupnya ahli waris di saat kematian orang yang mewariskan.   
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Setelah kita mengetahui isi dari makalah ini, kiranya penulis dapat simpulkan bahwa sebagai umat islam kiranya kita perlu mengetahui pengertian, prinsip, syarat, sebab, dan penghalang dalam kewarisan islam sesuai dengan syariat islam dan dalil-dalil yang lebih kuat untuk kita gunakan dalam hal waris mewarisi bagi umat islam. Karena alangkah baiknya sebagai umat islam, dalam hal waris mewarisi pun menggunakan hokum kewarisan islam.
B. Kritik dan saran
Dalam tahap belajar, tentunya penulis pribadi masih memiliki banyak kekurangan atau kekeliruan bahkan kesalahan yang tentunya bisa lebih baik dengan adanya kritik dan saran yang membangun oleh dosen dan mahasiswa/i yang membaca makalah ini.
Terima kasih. . .

















DAFTAR PUSTAKA
Syariah, komite, fakultas, hokum waris, senayan abadi pubishing 2009.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, Ali bahasa: Sarmin Syukur, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995).
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah ‘ala Madzahib Arba’ah, ttp, (Dar Al-kitab,1984).Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Vol.14.
Alih Bahasa: Mudzakir As, (Bandung: Al-­Ma’arif, 1996). Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: CV. Jaya Sakti, 1989).







[1] Q.S An-nisa[4]: 7
[2] http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-waris-menurut-al-quran.html. 19/05-2014.
[3] http://fauzysroom.blogspot.com/2012/04/babi-pendahuluan-1.html. 19/05-2014.
[4] Hokum waris, komite fakultas syariah, universitas al-azhar, hlm, 32-34.
[5] Al-mughni karya ibnu qudamah, juz Vll, hlm, 217.
[6] Bidayah al-mujtahid, juz ll, hlm, 62.
[7] At-tahqiqat al-mardhiyyah, hlm, 30.
[8] Nail al-authar, juz vll, hlm, 70.
[9] Hasyisyah ad-dasuqiy, juz IV, hlm, 433; al-anshaf, juz VII, hlm, 351.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar