Minggu, 19 Oktober 2014

PENGERTIAN DAN TATA CARA BERPERKARA DI PERADILAN AGAMA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang masalah

Peradilan di Indonesia merupakan suatu bentuk usaha negara untuk mewujudkan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakatnya, namun untuk menciptakan dan mengerti dengan bentuk usaha negara tersebut, tentu kita dituntut untuk tau seperti peradilan di Indonesia tersebut  dan terdapat di dalam peradilan diindonesia tersebut terdapat peradilan yg bersifat khusus dalam jobdes kerjanya adalah mengadili perkara-perkara yg bersifat khusus dan hanya khusus untuk orang-orang muslim. Lembaga peradilan adalah salah satu upaya hukum Negara untuk lebih menertibkan dasar-dasar hukum baik yg terdapat dalam pancasila ataupun UUD yg kesemuanya tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita harus mengetahui mulai dari pengertian peradilan sampai pada bentuk-bentuk lembaga peradilan di Indonesia ataupun tata cara berperkara yg baik dalam pengadilan maka dari itu pemakalah mencoba mengurai dari segi kesejahteraan masyarakat.Di dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menyajikan beberapa pengertian peradilan, mulai dari para pakar hukum sampai menurut undang-undang, kami juga akan membahas tentang dasar hukum peradilan di Indonesia, cakupan studi peradilan di Indonesia dan juga hubungan studi peradilan di Indonesia dengan studi lain.

B.     Rumusan masalah
1.      Pengertian peradilan agama diindonesia???
2.      Lembaga-lembaga peradilan di Indonesia???
3.      Tata cara berperkara ygt baik di pengadilan sesesuai dengan atauran yang berlaku di indonesia???
           



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Peradilan Agama
Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yg sah di indonesia.[1] Peradilan agama adalah salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua peradilan khsusus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan perdilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu [2].
 Peradilan agama adalah peradilan islam di indonesia, sebab dari jenis perkara yg boleh di adilinya, selusruhnya adalah jenis perkara menurut agama islam di rangkaikannya kata-kata peradilan islam dengan di indonesia adalah karena jernis perkara yang boleh diadilinya, tidaklah mencakup segala macam perkara menurut peradilan islam secafra universal. Tegasnya peradilan agama adalah peradilan islam liminatif, yang telah disesuaikan (di-mutatis mutandiskan) dengan keadaan di indonesia
Peradilan agama adalah saalah satu dari peradilan negara di indonesia yang sah, yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenisd perakara perdata islam tertentu.[3]
Pada tahun 1982 menjadi wacana yg sangat berkembang ketika itu dimana ada yg berpendapat tentang istilah peradilan agama itu sendiri sesbenarnya kurang tepat pemakaiannya. Maka oleh karena itu, kata peradilan agama kiranya kurang tepat, sekalipun istilah tersebut sudah salah kaprah undang-undang pun menyebutkan demikian. Ketika itu tidak terlihat rumus-rumus nama atau istilah lain yang muncul sebagai pengganti istilah peradilan agama, hal ini di ungkap setidaknya untuk penulisan sejarah peradilan agama di indonesia perlu kiranya di jelaskan.[4]

B.     Tata cara berperkara di Peradilan di Indonesia
Pengadilan agama (PA) adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan agama.hal itu menunjukkan bahwa pengadilan agama adalah satuan (unit) penyelenggara peradilan agama[5]. tugas pokoknya, sebagaimana yang daiatur dalam pasal 2 Undang-Undang no.14tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan  pokok kekuasaan Kehakiman, adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya. Perkara-perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah perkara-perkara tertentu, antara orang-orang yang beragama Islam demi tegaknya hukum dan keadilan.
Dalam rangka melakasanakan tugas pengadilan, panitera menerima perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut.
1)      Pendaftara Perkara
Pendaftaran perkara diajukan kepada Pengadilan Agama melalui petugas kepaniteraan di meja I. Aktivitas yang dilakukan meja I dalam proses penyelesaian perkara Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a.       Menerima gugatan permohonan, perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali (PK), eksekusi, penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
b.      Membuat Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM tesebut kepada calon penggugat atau pemohon.
c.       Menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada calon penggugat atau pemohon.
d.      Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR atau pasal 145 RBG yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.
e.       penjelasan-penjelasan yang diangap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan sesuai dengan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan lingkungan Peradilan Agama tanggal 11 Januari 1994, Nomor: MA/Kumdil/012/I/K/1994

2)      Membayar Panjar Perkara
Pembayaran panjar perkara dilakukan di abgian pemegang kas. Kas merupakan bagian meja I. Tugas pemegang kas:
a)      Pemegang Kas menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM.
b)      Pemenggang Kas menandatangani SKUM, membubuhi nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat gugatan/permohonan sebagaimana tersebut dalam buku jurnal yang berkaitan dengan perkara yang diajukan.
c)      Mengembalikan asli serta tindasan pertama SKUM beserta surat gugatan/Permohonan kepada calim penggugat / pemohonan.
 
3)      Menyerahkan Kelengkapan Berkas Perkara
Setelah perkara didaftar dan biaya panjarnya dibayar, pihak yang berperkara kemudian melengkapi berkas perkara sesuai ketentuan dan menyerahkannya kepada petugaas di meja II. Proses penyelesaian perkara yang berlangsung di meja II yaitu: 
a)      Menerima surat gugat/perlawanan dari calon penggugat atau perlawanan dalam rangkap sebanyak jumlah tergugat / terlawan di tambah dua rangkap
b)      Menerima surat permohonan dari calon pemohon sekurang-kurangnya sebanyak dua (2) rangkap.
c)      Menerima tindasan pertama SKUM dari calon penggugat/lawan/pemohon.
d)     Mendaftar / mencatat surat gugatan / permohonan dalam register yang bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan / permohonan tersebut.
e)      Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan / permohonan yang telah diberi nomor register kepada penggugat atau pemohon.
f)        Asli surat gugatan / permohonan dimasukkan dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengan gugatan / permohonan untuk disampaikan kepada Wakil Panitera. Selanjutnya, berkas perkara gugatan/permohonan tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui panitera.
g)      Mendaftar atau mencatat putusan Pengadilan Agama / pengadilan tinggi Agama atau Mahkamah Agung dalam buku register yang bersangkutan.
Alur yang dilalui surat gugatan / permohonan setelah diterima oleh sub kepaniteraan permohonan atau gugatan (Meja II) hingga di sidangkan oleh Pengadilan Agama yaitu:
a)      Sub kepaniteraan permohonan atau gugatan mempelajari kelengkapan persyaratan dan mencatat semua data-data perkara dalam buku penerimaan perkara. Berkas tersebut kemudian di sampaikan kepada panitera dengan melampirkan semua formulir yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara.
b)      Selambat-lambatnya pada hari kedua setelah surat gugatan atau permohonan diterima di bagian kepaniteraan, panitera harus sudah menyerahkan kepada Ketua Pengadilan Agama selanjutnya mencatatkannya dalam buku eskpedisi, kemudian menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada panitera dengan disertai penetapan Penunjukkan Majlis Hakim (PMH) yang harus dilakukannya selambat-lambatnya 10(sepuluh) sejak gugatan / permohonan di daftarkan.
c)      Panitera menyerahkan berkas perkara yang diterimanya dari Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Agama kepada Majlis/Hakim yang ditunjuk berdasarkan PMH. Selanjutnya panitera menunjuk seorang atau lebih panitera penganti untuk diper-bantukan kepada Majlis/Hakim yang bersangkutan.
d)     Setelah Majlis/Hakim menerima berkas perkara dariKetua/Wakil Ketua tersebut, kemudian Ketua Majlis/Hakim membuat Penetapan Hari Sidang (PHS).[6]
4)      Pemanggilan Para Pihak 
Mengenai pemanggilan pihak-pihak ada 2 yaitu menurut UU Nomor 7 Tahun 1989 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 dan menurut HIR/RBg(Peradilan Umum). Kami akan mengambil menurut HIR/RBg(Peradilan Umum) dikarenakan lebih umum dan waktunya tidak terlalu jauh dengan tahun sekarang.
Ketentuan Pemanggilan menurut HIR/RBg(Peradilan Umum) sebagai berikut:
a)      Jika Pemanggilan pertama untuk sidang pertama kepada penggugat atau pemohon telah dilakukan dengan resmi dan patut tetapi ia atau kuasa sahnya tidak hadir, maka sebelum perkaranya diputus dengan digugurkan, ia dapat dipanggil untuk kedua kalinya. Resmi yaitu bertemu langsung secara pribadi dengan para pihak atau kuasa hukumnya. Apabila tidak bertemu dengan para pihak, maka penggilan disampaikan melalui Kepalan Desa/ Kelurahan setempat. Patut yaitu panggilan harus sudah dapat diterima minimal 3 (tiga) hari sebelum sidang pertama dilaksanakan.
b)      Pemanggilan terhadap para pihak yang berada diluar yuridiksi dilaksanakan dengan meminta bantuan Pengadilan Agama tempat para pihak berada untuk memanggil yang bersangkutan. Selanjutnya, Pengadilan Agama tersebut mengirim relaas kepada Pengadilan Agama yang meminta bantuan.
c)      Panggilan terhadap tergugat atau termohon yang berada di luar negeri dilakukan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat, dengan ketentuan:
                                      i.            Untuk perkara permohonan cerai talak, perkara permohonan untuk beristri lebih dari seorang dan perkara gugatan cerai,secepat-cepatnya sidang pertama adalah enam bulan sejak perkara terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama.
                                    ii.            Untuk perkara selainnya, dengan memperhitungkan selambat-lambatnya penggilan sudah diterima dan memperhitungkan waktu untuk yang dipanggil itu datang menghadap Pengadilan Agama yang bersangkutan.
d)   tergugat atau termohon tidak diketahui  tempat tinggalnya, sedangkan perkara itu    tentang gugatan cerai, maka panggilan kepada yang tidak diketahui tempat tinggalnya tersebut dilakukan dengan cara menempelkan panggilan pada Papan Pengumuman Pengadilan Agama, dengan tenggang waktu antara panggilan dan sidang adalah 30 hari. Adapun untuk selain perkara perkawinan, pemanggilan dilakukan dengan cara diumumkan di papan pengumuman Pemerintah Kabubaten / Kota setempat.[7]
5)      Tahap-tahap Pemeriksaan Perkara
Pemeriksaan perkara dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a)      Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang,(2) hakim menanyakan identitas para pihak , (3) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat / pemohonan, dan (4) anjuran untuk berdamai.
b)      Tahap jawab-berjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan / permohonan, kemudian upaya damai tidak berhasil, ketua majelis akan bertanya kepada tergugat atau termohon, apakah ia akan menjawab lisan atau tertulis. Jika akan menjawab tertulis, maka ditanyakan kembali, apakah sudah siap. Jika belim siap, kapan tergugat / termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu, masuklah pada proses jawab-menjawab, baik antara pihak, maupun antara hakim dengan para pihak.
c)      Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai setelah tidak ada lagi yang akan dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu, hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan pihak berperkara.
d)     Tahap penyusunan konklusi. Setelash tahap pembuktian berakhir, sebelum majelis bermusyawarah, pihak-pihak diperbolehkan mengajukan konklusi (kesimpulan-kesimpulan dari sidang-sidang menurut pihak yang bersangkutan). Karena konklusi ini sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya hal ini tidak diperlukan bagi perkara-perkara yang ringan, sehingga hakim boleh meniadakannya.
e)      Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin disuruh meninggalkan ruangan sidang. Panitera sidang sendiri, kehadirannya dalam musyawarah majelis adalah atas izin majelis. keputusan sidang musyawarah majelis ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera. Ini merupakan lampiran Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan  kedalam dictum keputusan.
f)       Pengucapan Keputusan. Pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada pihak penggugat atau tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan menerima, maka baginya tertutup upaya untuk melakukan banding. Sedangkan bagi pihak yang menyatakan tidak menerima atau piker-pikir dulu, baginya masih terbuka melakukan upaya banding.[8]

6)      Eksekusi
UU Nomor 7 tahun 1989, Peradilan Agama sudah dapat melaksanakan secara paksa (eksekusi) atau putusan penetapannya sendiri, termasuk dapat melaksanakan segala macam bentuk sita (beslag) yang diperlukan.
Hal-hal yang diperlukan dalam masalah eksekusi yaitu:
a)      Diktum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat condemnatoir, artinya berwujud menghukum pihak untuuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu atau  melepaskan sesuatu dan sejenisnya.
b)      diktum yang bersifat condemnatoir tadi harus jelas dan rinci misalnya wujudnya, bentuknya, batas-batasnya, dan lain sebagainya.
c)      atau barang yang untuk dibayarkan atau diserahkan itu harus bebas dari sangkutan dari pihak ketiga.
d)     Terjaminnya pembayaran / penyerahan benda yang disebutkan di dalam diktum, juga tidak luput dari ada atau tidaknya benda itu.
e)      Biaya eksekusi bukanlah murah, juga bukan tidak berbahaya[9]
7)      Hasil Pemeriksaan Perkara.
   Meja III merupakan unit kerja terakhir yang dilalui oleh sebuah perkara tingkat pertama yang diajukan kepada Pengadilan Agama . tugas-tugas Meja III adalah:
a)      Menyerahkan salinan Putusan Pengadilan Agama atau Mahkamah Agung kepada pihak yang berkepentingan.
b)      Menyerahkan salinan penetapan Pengadilan Agama kepada yang berkepentingan.
c)      Menerima memori/kontra memori banding , memori/kontra memori kasasi. Jawaban/tanggapang peninjauan kembali dari yang lain-lain.
d)     Menyusun, menjahit dan mempersiapkan berkas.[10]







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Peradilan agama adalah sebutan (literatur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yg sah di indonesia untuk di jadikan sebuah kelembagaan hukum dalam proses keadilan bagi seluruh rakyat dindonesia yg tertuang dalam pancasila dasar,  Peradilan agama adalah salah satu diantara peradilan khusus di indonesia, dua peradilan khsusus lainnya adalah peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dikatakan peradilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu dan pemakalah dapat menyimpulokan mengenai tata cara berperkara yg baik di pengadilan baik peradilan khusus ataupun peradilan umum.
1.      Meja I
Pihak berperkara yang dating didamaikan atau diberi nasehat serta penjelasan tentang upaya hukum oleh Panitera Muda Permohonan atau gugatan.
2.      Operator Komputer Yuridis
Membantu pembuatan surat ajuran gugatan atau permohonan bagi pihak yang berperkara yang telah diberikan nasehat dan upaya damai dari meja I.
3.      Meja I
Surat ajuan tersebut dibuat rangkap 5 dan diterima Meja I untuk dicek dan diperiksa, kemudian diberikan SKUM. Perkara permohonan oleh Panitera Muda Permohonan, sedangkan perkara gugatan oleh Panitera Muda Gugatan.

4.      Bendaharawan / Kasir
Menerima surat ajuan dan SKUM rangkap 3 serta Panjar Biaya Perkara (PBP) dari pihak berperkara dan memberikan Nomor Register Perkara.
5.      Meja II
Menerima surat  permohonan / gugatan sebanyak rangkap 4 ditambah banyak pihak yang digugat, dan menyerahkan satu rangkap surat ajuan yang telah diberi Nomor Register Perkara.
6.      Meja II
Menyusun dalam map khusus serta melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berkaitan dengan gugatan / permohonan kemudian menyerahkan kepada Wakil Panitera.
7.      Wakil Panitera
Memeriksa kembali kelengkapan dan keabsahan serta kepatutan berkas perkara, kemudian diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.
8.      Panitera
Memeriksa kembali kelengkapan dan keabsahan serta kepatutan berkas perkara, kemudian menyuruh petugas Meja II untuk mencatat dalam Buku Register Perkara. Selanjutnya, menyerahkan berkas kepada Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Agama.
9.      Ketua/Wakil Ketua PA
Mencatat dalam buku ekspedisi dan mempelajari berkas perkara kemudian membuat Penetapan Majelis Hakim (PMH) yang akan memeriksa perkara tersebut, menyershksn kembali berkas kepada Panitera.
10.  Panitera
Menerima berkas dari Ketua/Wakil Ketua dan membuat penetapan penunjukkan Panitera Pengganti dan Jurusita Pengganti, kemudian menyerahkan berkas kepada Majelis Hakim yang ditunjuk.
11.  Majelis Hakim/Proses Persidangan
Membuat Penetapan Hari Sidang (PHS), memanggil para pihak melalui jurusita Pengganti, memeriksa dan memproses perkara bersama Panitera Penganti.
12.  Majelis Hakim dan Panitera Pengganti
Menyerahkan putusan keluarga kepada Meja III untuk dibuat Akta Cerai dan memberitahukan segala proses persidangan kepada Meja II melalui Panitera Pengganti untuk dicatat dalam Buku Register Perkara.
13.  Meja III
Memeriksa kelengkapan, meminutasi, dan menjahit berkas serta membuat Akta Cerai bagi perkara yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta menyerahkan Akta Cerai kepada pihak yang bersangkutan.

B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini masih banyak hal-hal perlu di perbaiki baik dari sistematika penulisan ataupun penjelasan dari makalah ini maka dari itu kiranya para audiensi untuk dapat memberikan saran hangat kepada pemakalah agara mejadi bahan evaluasi untuk pembuatan makalah selanjtnya








DAFTAR PUSTAKA
Basiq Djalil, H. A., Drs., S.H., MA. Peadilan Agama di Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta.Kencana prenada media group. 2006
Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991



[1]UU no 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, pasal 10 ayat 1
[2] UU no 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, pasal 10 ayat 1
[3]  Roihan A. Rasyid, hukum acara peradilan agama, cet. Kedua, penerbit CV. Rajawali, jakarta, tahun 1991, hal 5
[4]  Sudikno merto kusumo, simposium sejarah peradilan agama, penerbit. Proyek pembinaan administrasi hukum dan peradilan agama, depag, jakarta, 1982-1983.hal. 63.
[5] Hasan Bisri, ‘’Peradilan Agama dan Peradilan Islam’’, Ulul Albab press, Bandung, 1997, h. 115
[6] DR. Jaih Mubarok,M Ag, ‘’Peradilan Agama Di Indonesia’’, pustaka bani Quraisy, Bandung, 2004, h, 78
[7] Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991, h, 87-89
[8] Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991, h, 81-82
[9] Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991, h, 223-224
[10] Roihan A. Rasyid, ‘’Hukum Acara Peradilan Agama’’ , PT. Rajawali Pres, Jakarta, 1991, h, 223

Senin, 13 Oktober 2014

hukum kewarisan islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam al-qur’an surat an-nisa : 7 disebutkan bahwa yang artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya. Bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit maupun banyak, menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-nisa [4] : 7).[1]
Dari keterangan ayat al-qur’an diatas, kita dapat memahami bahwa setiap orang yang meninggal dunia, maka memiliki akibat hokum, yaitu akan mewariskan hartanya kepada keturunannya, maupun kerabatnya. Hal itu jelas untuk melestarikan keturunan maupun kerabat dari pewaris tersebut. Oleh sebab itu, kiranya sangat penting kita memahami tentang hokum waris, tepatnya hokum waris islam.
Dalam makalah ini akan dijlaskan oleh penulis, apa itu hokum waris? Dan penjelasan-penjelasan lainnya yang tentunya berkaitan dengan hokum waris islam.
B. Rumusan makalah
1. Apa itu hokum waris islam?
2. Apa saja prinsip-prinsip kewarisan dalam islam?
3. Apa yang menjadi sebab seseorang mewariskan dalam islam?
4. Apa saja rukun waris dalam islam?
5. Apa yang menjadi syarat dalam kewarisan islam?
6. Apa yang menjadi penghalang dalam kewarisan islam?



C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk melatih mahasiswa khususnya penulis pribadi agar bisa menulis dengan baik, dan untuk memenuhi tugas makalah pada mata kuliah hukum kewarisan di Indonesia.
D. Sistematika penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari III bab yaitu yang pertama bab I pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, rumusan makalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan, pada bab II pembahasan meliputi pembahasan pengertian, prinsip, sebab dan rukun, syarat, serta penghalang dalam kewarisan islam, dan pada bab III penutup, mengenai kesimpulan-kesimpulan dari makalah ini dan saran-saran yang ditujukan untuk membangun karakter penulis agas bisa lebih baik dalam berkarya.












BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi waris dalam islam
Ungkapan yang digunakan al-Quran untuk menunjukkan masalah warits dan kewarisan. dapat dilihat pada tiga jenis, yakni al-Miirats, al-Faraidh dan al-Tirkah.
Pengertian waris dari kata mirats, menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Sesuatu ini bersifat umum, bisa berupa harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan.
Sedangkan waris menurut Ash-Shabuni, ialah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli warisnya yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, atau hak-hak syar’i ahli waris.
Adapun dalam hukum waris Islam adalah penggunaan hak manusia akan harta peninggalan orang yang meninggal kepada ahli waris karena adanya sebab-sebab dan telah terpenuhinya syarat ­rukunnya, tidak tergolong terhalang atau menjadi penghalang warits.
Menurut al-Raghib (dalam Ali Parman), dikatakan bahwa pewarisan adalah pengalihan harta milik seseorang yang telah wafat kepada seseorang yang masih hidup tanpa terjadi akad lebih dahulu.
Jadi esensi pewarisan dalam al-Quran adalah proses pelaksanaan hak-hak pewaris kepada ahli warisnya dengan pembagian harta pusaka melalui tata cara yang telah ditetapkan oleh nash.
Kata kedua dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah Al-faraidh. Dalam bahasa Arab, al-Faraidh adalah bentuk jamak dari kata faridhah, yang diambil dari kata fardh yang artinya ketentuan yang pasti. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat An-Nisa’ (4) ayat 11:
“Ini adalah ketetapan dari Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana”.
Faraidh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Kata faraidh sering diartikan sebagai saham-saham yang telah dipastikan kadarnya, maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Allah.
Berkaitan dengan hukum pasti ini, kata faraidh (kepastian) terdiri dari dua kata, pertama: mafrudha (An-Nisa’:7), menurut al-Maraghi hal itu mengandung makna bahwa saham yang telah ditetapkan kadarnya itu, para ahli waris harus mengambilnya, kedua: faridhatan (An-Nisa’:11), menurut al-Maraghi juga, mengandung maksud bahwa saham-saham yang telah disebutkan dalam al-Quran secara terinci itu disertai siapa­-siapa ahli waris yang akan memperoleh saham itu. Dan ini merupakan ketetapan yang harus diimplementasikan.
Dengan demikian, secara operasional dapat ditegaskan bahwa dalam konteks kewarisan, kata faraidh tetap dimaksudkan sebagai pengalihan harta pewaris kepada ahli warisnya dengan saham yang pasti.
Kata ketiga dalam al-Quran yang menunjukan waris dan kewarisan adalah al-Tirkah. Dalam bahasa Arab, adalah bentuk masdar dari kata tunggal taraka, mengandung beberapa makna dasar, yakni membiarkan menjadi, mengulurkan lidah, meninggalkan agama dan harta peninggalan.
Dalam referensi ini, makna tirkah dibatasi pada makna harta peninggalan. Tirkah dijelaskan oleh firman Allah dalam surat al­Nisa’ (4) ayat 7 :
“Untuk laki-laki ada hak dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik itu sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Menurut Madzhab Hanafi, tirkah adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit (orang yang mati) secara mutlak. Ibnu Hazm menambahkan bahwa Allah telah mewajibkan warisan pada harta bukan yang lain, yang ditinggalkan oleh manusia sesudah ia mati.
Sebelum harta itu dibagi kepada ahli warisnya, maka hak-hak yang berhubungan dengan tirkah harus didahulukan, seperti biaya penguburan jenazah, pelunasan utang atau wasiat pewaris.
Dengan demikian, tirkah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran utang dan pelaksanaan wasiat serta pembagian kepada ahli warisnya.[2]
B. Prinsip-prinsip hokum waris islam
Prinsip-prinsip Hukum Waris Islam diantaranya ialah:
a.  Prinsip Ijbari, yaitu bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
b.  Prinsip Individual, yaitu bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan.
c.  Prinsip Bilateral, artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
d.  Prinsip kewarisan hanya karena kematian, yakni bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup.
            Selain prinsip prinsip di atas ada pula beberapa prinsip pewarisan menurut hukum Islam yaitu:
1.      Hukum waris Islam menempuh jalan tengah antara pemberi kebebasan penuh kepada orang untuk memindahkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat kepada orang yang menghendaki dan melarang sama sekali pembagian harta peninggalan yang tidak mengakui hak milik perorangan, yang dengan sendirinnya tidak mengenal sistem pewarisan.
2.      Warisan dalah ketetapan hukum yang mewariskan tidak dapat menghalangi ahli waris dari haknnya atas warisan, dan ahli waris berhak atas harta warisan tanpa perlu kepada pernyataan menerima dengan sukarela atau atas keputusan hakim.
3.      Warisan terbatas dalam lingkungan keluarga, dengan adannya hubungan perkawinan atau karena hubungan nazab/keturunan yang sah.
4.      Hukum waris islam lebih cenderung untuk membagikan harta warisan kepada sebanyak mungkin ahli waris, dengan memberikan bagian-bagian tertentu kepada beberapa ahli waris.
5.      Hukum waris islam tidak membedakan hak anak-anak atas harta warisan, hak anak-anak yang sudah besar, yang masih kecil dan yang baru saja lahur, semuannya berhak atas harta warisan orang tuannya. Tetapi perbedaan besar kecilnnya kewajiban yang harus di tunaikan dalam keluarga.
6.      Hukum Waris Islam membedakan besar kecil bagian-bagian tertentu ahli waris diselaraskan dengan kebutuhannya dalam hidup sehari-hari, disamping memandang jauh dekat hubungan dengan mayit (Ahmad Azhar Basyir,1977).[3]
C. Sebab-sebab mewaris dalam islam
Dalam hokum waris islam, ada dua sebab mewaris, yaitu diataranya:
Ø  Sebab-sebab mewariskan yang disepakati
Ø  Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan
Ø Sebab-sebab mewariskan yang disepakati
a. Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat maupun jauh. Sesuai dengan al-qur’an surat an-nisa: 11, 12, dan 176.[4]
b. Pernikahan
Pernikahan merupakan akad yang sah (menurut syariat) sekalipun hubungan intim dan khulwah belum dilakukan, dan sekalipun orang yang menikah menderita sakit keras. Menurut imam Malik berpendapat bahwa akad dianggap batal jika salah satu dari orang yang menikah sakit keras. Kalau kondisinya demikian, waris mewarisi tidak dapat dilakukan. Dalilnya ialah dalam al-qur’an surat an-nisa: 12.
Jadi, perkawinan menyebabkan laiki-laki dan perempuan dapat saling mewarisi selama akadnya masih utuh. Namun, apakah talak dapat menghalangiuntuk saling mewarisi? Berikut penjelasanya.
c. Hak waris bagi istri yang ditalak.
Talak ada yang berstatus raj’I, ada yang berstatus ba’in, dalam keadaan sehat maupun maupun dalam keadaan sakit keras.
Talak raj’I, tidak menjadi penghalang bagi laki-laki dan perempuan yang pernah memiliki akad pernikahan untuk saling mewarisi.
Talak ba’in, penalakan ini jika jatuh dalam keadaan sehat, dapat menghalangi laki-laki dan perempuan untuk saling mewarisi. Karena putusnya pernikahan, maka putuslah hak waris mewarisi diantaranya.
Talak ba’in, penalakan ini jika jatuh dalam keadaan sakit keras, ada 4 pendapat menurut ulama, yaitu:
a. Istri tidak dapat mewarisi harta secara mutlak. Seperti halnya talak ba’in dalam keadaan sehat. Menurut kalangan syafi;iyah.
b. Istri dapat mewarisi harta peninggalan ketika mantan suamnya meninggal dunia selama ia masih dalam masa iddahnya. Namun, jika mantan suaminya meninggal setelah masa iddahnya berakhir, istri tidak dapat mewarisi harta suami. Menurut kalangan hanafiyah.
c. Istri tetap dapat mewarisi harta suaminya baik dalam keadaan masih dalam masa iddah maupun masa iddahnya sudah berakhir, maupun selama istri belum menikah dengan laki-laki lain atau murtad. Sebab, istri dapat memperoleh warisan ketika suami dikeluarkan dari kelompok orang-orang yang mewarisi harta peninggalan istri. Makna ini tidak bias hilang dengan berakhirnya masa iddah, sebagai interaksi untuk suami dengan melawan maksudnya. Menurut kalangan hambaliyah.[5]  
d. Istri dapat mewarisi harta secara mutlak, baik ia masih dalam masa iddah ataupun sudah berakhir, maupun ia sudah menikah dengan laki-laki lain atau belum. Menurut kalangan malikiyah.[6]
d. Wala’
Wala berate tetapnya hokum syara’ karena membebaskan budak. Dalam konteks ini, wala yang dimaksud adalah wala al-ataqah, yakni yang disebabkan adanya pembebasan budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala al-mawlah dan muhalafah, membebaskan budak karena kepemimpinan dan adanya sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.
Ø  Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan
a. Baitulmal
Para ahli fiqh berselisih pendapat tentang baitulmal yang menjadi salah satu sebab boleh tidaknya mewarisi. Ada tiga pendapat:
-          Pertama, baitulmal sebagai ahli waris (mewarisi) secara mutlak harta orang-orang yang tidak memiliki kerabat, sanak familinya. Baik baitulmal yang terorganisir maupun tidak. Menurut kalangan malikiyyah dan imam syafi’i dalam qaul qadimnya ketika berada di Baghdad.
-          Kedua, baitulmal dapat mewarisi jika terorganisir. Menurut imam syafi’I dalam qaul jadidnya ketika berada di Mesir dan malikiyyah. Bersandar pada hadis nabi saw:  ”aku adalah ahli waris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Aku dapat membayar dendanya dan mewarisinya.”
-           Ketiga, baitulmal bukan menjadi sebab mewarisi secara mutlak, baik ia terorganisir ataupun tidak. Menurut kalangan hanafiyyah dan hambaliyyah. Bersandar pada firman Allah SWT: “orang-orang yang mempunyai kerabat itu, sebagian mereka lebih berhak terhadap sesamanya (dari yang bukankerabat) di dalam kitab Allah swt.” (al-anfal [8]: 75)
b. Wala al-muwalah
Wala al-muwalah adalah waris mewarisi dengan akad muwalah (perwalian).
Ada tiga pendapat dalam wala al-muawalah, diantaranya:
-          Pertama, wala al-muwalah sama sekali tidak dikenal dalam agama islam. Pendapat ini diceritakan oleh ar-rafi’iy dari al-qadhi ar-rayyaniy.
-          Kedua, wala al-muwalah telah dikenal pada awal-awal islam, kemudian dinasakh (dibatalkan). Ini adalah pendapat imam malik, dan imam syafi’i.
-          Ketiga, wala al-muwalah belum dinasakh dan hukumnya masih berlaku. Ini pendapat imam Ahmad bin Hambal dan imam abu hanifah.menurut mereka, wala al-muwalah mendapatkan bagian stelah radd dan dzawil arham. Mereka berdalil sesuai firman Allah swt dalam surat an-nisa[4]: 33.
Akan tetapi, pendapat yang kuat mengatakan bahwa wala al-muhalafah (atas dasar sumpah) dan waa al-mu’aqadah (atau dasar ikatan tertentu) telah dihapus dengan firman Allah swt dalam surat al-ahzab[33]: 6.

D. Rukun dalam waris islam
Rukun-rukun dalam waris ada tiga:
a. Al-muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia atau mati, baik mati hakiki maupun mati hukmiy (kematian yang dinyatakan oleh hakim atas dasar beberapa sebab).
b. Al-warits, yaitu orang yang hidup (kerabat) atau anak yang mempunyai hak mewarisi, mekipun dalam beberapa kasus tetentu akan terhalang.
c. Al-mauruts, yaitu harta benda yang menjadi warisan.
Itulah ketiga rukun yang harus ada dalam waris mewarisi, jika tidak ada salah satunya, maka waris mewarisi tidak bias dilakukan.
E. Syarat-syarat dalam kewarisan islam
a. Pertama, meninggalnya orang yang mewariskan.
b. Kedua, ahli warits yang hidup.
c. Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli warits dengan si mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, perwalian.
Jika ahli waris sudah memenuhi syarat-syarat ini, hendaknya ia mengetahui ketiadaan penghalang-penghalang mewarisi.[7] Ketika syarat-syarat sudah terpenuhi, sebab-sebab mewarisi sudah ada, dan bebas dari penghalang-penghalang mewarisi, proses waris-mewarisi dapat dilakukan.
F. Penghalang waris mewarisi dalam islam
 Secara umum, penghalang dalam waris dibagi menjadi dua:
·         Penghalang waris yang disepakati;
·         Penghalang waris yang diperselisihkan.
a. Penghalang waris dalam islam yang disepakati
-     Berlainan agama
Para ahli fiqh telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dan mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang waris mewarisi dalam islam. Berdasarkan hadits nabi saw: “orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam.”(HR Muttafaq ‘alaih).
-          Perbudakan
Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris mewarisi ditinjau dari dua sisi. Oleh karena itu, budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang memiliki warisan adalah tuannya, sedangkan budak tersebut orang asing (bukan anggota keluarga tuannya).
            Budak itu juga tidak dapat mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya karena dianggap tidak mempunyai sesuatu. Namun, seandainya ia mempunyai sesuatu, maka kepemilikannya dianggap tidak sempurna (tidak stabil). Kepemilikan kepemilikan tersebut beralih pada tuannya akibat sirnanya kepemilikan yang ada pada budak. Hal ini selaras dengan hadis nabi saw: “siapa yang menjual seorang hamba sedangkan dia memiliki harta, maka hartanya tersebut menjadi milik pembelinya, kecuali bila hamba tersebut mensyaratkanya (supaya hartanya tidak menjadi milik tuannya).” (HR Ibnu Majjah).
-          Pembunuhan
Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak langsung. Para ulama fiqh telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hokum waris islam untuk waris mewarisi. Hal ini berdasarkan hadis nabi saw: “seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta sedikitpun.”(HR Abu Daud)[8]
b. Penghalang waris dalam islam yang diperselisihkan
-  Riddah
Riddah adalah keluar dari agama islam. Orangnya disebut murtad, baik dalam keadaan dapat membedakan secara sadar,maupun dalam keadaan bercanda. Para ulama fiqh bersepakat bahwasanya riddah dapat menghalangi hak mewarisi. Seseorang yang murtad, tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya yang sama-sama murtad, orang kafir, dan seorang muslim. Dengan demikian, tidak ada jalan untuk saling mewarisi dari kerabatnya yang sama-sama murtad karena harta peninggalannya merupakan fa’I (harta benda atau kekayaan Negara yang diperoleh dari non muslim dengan jalan menarik pajak, bea, dan mengurus harta orang murtad).
            Terhalangnya beberapa orang untuk dapat saling mewarisi juga berlaku terhadap orang kafir yang saudaranya “murtad” karena tidak adanya kesamaan diantara mereka. Hal ini disebabkan orang murtad tidak mengakui agamanya, sedangkan orang kafir mengakui agamanya sendiri. Demikian pula orang murtad, tidak dapat mewarisi dari harta seorang muslim, sesuai dengan sabda nabi saw: “orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam.”(HR Muttafaq ‘alaih).
Namun, jika orang murtad tersebut kembali masuk islam setelah kematian orang yang mewariskan, kalangan madzhab hambaliyyah berpendapat, “jika sebelum pembagian harta waris orang yang murtad itu kembali masuk islam, ia dapat mewarisi. Hal ini ditujukan untuk memotivasinya agar ia tetap teguh didalam islam.”
-          Berlainan Negara di antara sesame orang kafir
Ada tiga kategori kafir, dzimmiy, harbiy, dan musta’min. Ada dua perselisihan pendapat, yaitu:
a. Madzhab Hanafiyyah, syafi’iyyah, dan hambaliyyah (dalam satu riwayat) berpendapat bahwa berlainan Negara termasuk salah satu penghalang waris mewarisi. Karenanya, di antara harbiy dan dzimmiy tidak dapat saling mewarisi, akibat terputusnya sikap saling menolong diantara mereka.
b. Madzhab Malikiyyah dan Hambaliyyah (dalam riwayat yang lain)[9] berpendapat bahwa berlainan negara tidak menghalangi saling waris mewarisi diantara sesame orang kafir, karena secara mutlak keumuman nash menuntut saling mewarisi di antara mereka, dan tidak ada nash yang men-takhsish (mengkhususkan) keumuman tersebut.
            Pendapat kedua itulah yang lebih kuat disebabkan dalil yang digunakan kuat sanadnya, sedangkan dalil pendapat yang pertama adaah lemah.
-          Ketidakjelaskan waktu kematian
 imam nawawi dalam kitab al-minhaj:
“penghalang yang kelima dari penghalang waris mewarisi ialah ketidak jelasan waktu kematian. Dengan demikian, bila orang yang dapat saling mewarisi meninggal dunia secara bersamaan, misalnya akibat kebakaran, tenggelam, keruntuhan bangunan, atau hilang di hutan, kemudian tidak diketahuisiapa di antara mereka yang meninggal terlebih dahulu, maka keduanya tidak dapat saling mewarisi.”
Namun, kebanyakan ahli fiqh tidak menganggap ini sebagai penghalang waris mewarisi. Karena yang dimaksud mani’ (penghalang) ialah sesuatu yang menghimpun sebab dan syarat. Sedangkan ini disebabkan ketiadaan syarat, yakni kepastian hidupnya ahli waris di saat kematian orang yang mewariskan.   
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Setelah kita mengetahui isi dari makalah ini, kiranya penulis dapat simpulkan bahwa sebagai umat islam kiranya kita perlu mengetahui pengertian, prinsip, syarat, sebab, dan penghalang dalam kewarisan islam sesuai dengan syariat islam dan dalil-dalil yang lebih kuat untuk kita gunakan dalam hal waris mewarisi bagi umat islam. Karena alangkah baiknya sebagai umat islam, dalam hal waris mewarisi pun menggunakan hokum kewarisan islam.
B. Kritik dan saran
Dalam tahap belajar, tentunya penulis pribadi masih memiliki banyak kekurangan atau kekeliruan bahkan kesalahan yang tentunya bisa lebih baik dengan adanya kritik dan saran yang membangun oleh dosen dan mahasiswa/i yang membaca makalah ini.
Terima kasih. . .

















DAFTAR PUSTAKA
Syariah, komite, fakultas, hokum waris, senayan abadi pubishing 2009.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Islam, Ali bahasa: Sarmin Syukur, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995).
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyah ‘ala Madzahib Arba’ah, ttp, (Dar Al-kitab,1984).Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Vol.14.
Alih Bahasa: Mudzakir As, (Bandung: Al-­Ma’arif, 1996). Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: CV. Jaya Sakti, 1989).







[1] Q.S An-nisa[4]: 7
[2] http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-waris-menurut-al-quran.html. 19/05-2014.
[3] http://fauzysroom.blogspot.com/2012/04/babi-pendahuluan-1.html. 19/05-2014.
[4] Hokum waris, komite fakultas syariah, universitas al-azhar, hlm, 32-34.
[5] Al-mughni karya ibnu qudamah, juz Vll, hlm, 217.
[6] Bidayah al-mujtahid, juz ll, hlm, 62.
[7] At-tahqiqat al-mardhiyyah, hlm, 30.
[8] Nail al-authar, juz vll, hlm, 70.
[9] Hasyisyah ad-dasuqiy, juz IV, hlm, 433; al-anshaf, juz VII, hlm, 351.