Minggu, 18 Januari 2015

Wakaf Produktif pada Lembaga PKPU sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Islam di Jakarta Timur

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
            Salah satu kekuasaan absolut peradilan agama adalah hukum perwakafan. Akan tetapi hingga tahun 1977, peradilan dalam lingkungan peradilan agama (peradilan agama, peradilan tinggi agama, dan mahkamah agung) belum memiliki hukum materiil yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan berbagai perkara/sengketa perwakafan.
            Sebelum ada undang-undang (qanun), para hakim di Pengadilan Agama dengan berbagai tingkatannya menggunakan pendapat ulama yang dilestarikan dalam kitab-kitab fikih.[1]  Akan tetapi karena fikih merupakan produk ijtihad personal yang tidak mengikat, pendapat ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fikih sering kali tidak sama, yang terjadi adalah ikhtilaf (perbedaan). Dalam situasi demikian, wajar apabila bustanul arifin (mantan hakim agung) pernah mengatakan bahwa fikih tidak (kurang menjamin adanya kepastian hukum.[2] Untuk itu, untuk menjamin kepastian hukum perlu adanya peraturan atau undang-undang yang dapat memperkecil terjadinya perbedaan pendapat.
            Karena wakaf merupakan salah satu kekuasaan absolut peradilan agama, hukum wakaf mendapatkan perhatian dari para penyelenggara negara, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Secara historis, di Indonesia terdapat tiga peraturan wakaf yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia:
1. PP  no. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik;
2. Buku III KHI yang disebarluaskan dengan Intruksi Presiden no. 1 tahun 1991;
3. UU no. 41 tahun 2004 tentang wakaf;
4. PP no. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU no. 41 tahun 2004 tentang wakaf.
            Perkembangan materi hukum wakaf terjadi karena diterbitkannya peraturan perundang-undangan tersebut. Kemudian, maka dari praktik pengalaman wakaf di Indonesia, dewasa ini tercipta suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf. Pertama, wakaf itu umumnya berwujud benda tidak bergerak, terutama tanah. Kedua, dalam praktik, diatas tanah wakaf tersebut biasanya didirikan masjid atau madarasah. Ketiga, penggunaan wakaf didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wakif). [3]
            Selanjutnya, PKPU (Pos Kemanusiaan Peduli Umat) merupakan salah satu lembaga swasta penyalur wakaf produktif. Berdasarkan data Departemen Agama, kekayaan tanah wakaf umat islam Indonesia yang sangat besar, yaitu seluas 1.566.672.406 meter persegi dengan 403.845 lokasi. Dari jumlah tersebut sebanyak 75% bersertifikat dan sekitar 10% berlokasi strategis dan potensial untuk dikembangkan secara ekonomi. Bahkan kalau dilihat dari segi luasnya, luas tanah wakaf tersebut hampir sebanding dengan luas tanah negara Singapore.[4]
            Kemudian, kalau dilihat dari segi pelaksanaan perwakafan itu adalah ditujukan untuk melaksanakan hal-hal yang lebih produktif supaya hasilnya dapat lebih optimal. Meskipun tidak semua aset wakaf harus dibuat produktif, seperti masjid, musholla, kuburan dan lain-lain. Untuk mengelola wakaf secara produktif, terdapat beberapa asas yang mendasarinya, diantaranya:
a. Asas keabadian manfaat; b. Asas pertanggung jawaban; c. Asas profesionalitas managemen; dan d. Asas keadilan sosial.[5]
Dengan memegang prinsip inilah, PKPU sebagai salah satu lembaga swasta yang berorientasi pada pengembangan dana zakat, infaq, shadaqah serta wakaf, terus berupaya mengembangkannya secara produktif.  
            Dari uraian latar belakang ini, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai “Wakaf Produktif pada Lembaga PKPU dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islam di Jakarta Timur (condet).



B. Rumusan Masalah
            UU no. 41 tahun 2004 tentang wakaf memiliki paradigma baru, yakni paradigma ibadah sosial (mu’amalah). Dalam konsep institusi, , hukum terdiri atas konsep dan struktur. Konsep menjelaskan tentang nilai/norma yang disusun dalam pasal dan ayat, sementara struktur menjelaskan tentang pihak-pihak (institusi) yang menjalankan hukum agar tujuannya tercapai. Penelitian ini menjelaskan dua unsur tersebut, yaitu menjelaskan norma hukum wakaf yang dilandasi oleh ibadah sosial (m’amalah), dan pembentukan sejumlah institusi agar peraturan perundang-undangan mengenai wakaf dapat diaplikasikan dengan benar dan baik.
Untuk itu, rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengembangan aspek-aspek hukum wakaf yang terkandung dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 oleh lembaga PKPU?
2. Bagaimanakah strategi yang diperlukan untuk menjadikan wakaf sebagai media guna menciptakan kesejahteraan oleh lembaga PKPU?
3. Institusi apa saja yang telah dibentuk oleh PKPU untuk memakmurkan masyarakat melalui pemberdayaan wakaf ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui aspek-aspek hukum wakaf yang dikembangkan;
2. mengetahui strategi yang dibuat dalam rangka memakmurkan masyarakat melalui wakaf;
3. dan mengetahui institusi yang dibentuk dan dilibatkan dalam mengembangkan wakaf guna memakmurkan masyarakat.




D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah intelektual hukum islam, terutama fikih mu’amalah. Untuk itu, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Bagi penulis
Bagi penulis untuk menambah ilmu pengetahuan yang diperoleh semasa kuliah;
2. Bagi fakultas
Bagi fakultas untuk menambah volume bahan pustaka, khususnya perpustakaan FAI UMJ;
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi masyarakat islam pada umumnya, terutama para penyelenggara dan pelaksana hukum wakaf dan perbankan sistem syari’ah, baik perbankan yang murni syari’ah maupun perbankan yang dual banking system, serta lembaga keuangan lain seperti bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang tersebar di berbagai pelosok negeri ini.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian Wakaf
            Wakaf dalam pengertian hukum islam, secara etimologi adalah al-habs[6] (menahan)”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu. Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah untuk orang-orang miskin untuk ditahan. Diartikan demikian karena barang milik itu dipegang dan ditahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.[7]
            Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa” yang digabungkan dengan kata-kata segala jenis barang termasuk ungkapan yang tidak lazim (jelek). Yang benar adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu” tanpa memakai hamzah (auqaftu). Adapun yang semakna dengan kata “habistu” adalah seperti ungkapan “waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”.[8]
            Para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf, sebagaimana tercantum buku-buku fiqh. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
            Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.[9] Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk aset hartanya.
            Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif.[10] Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
            Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.[11] Menurut Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi, wakaf adalah habsul mali yumkinu al-intifa’u bihi ma’a baqa’I ainihi ‘ala mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepaa jalan yang dibolehkan).[12] Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain), dalam arti harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
            Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.[13] Demikianlah pengertian wakaf menurut para ulama ahli fiqih.
            Sedangkan dalam konteks perundangan di Indonesia, nampaknya wakaf dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu dari berbagai pendapat ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan pengertian wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.[14] Rumusan dalam UU wakaf tersebut, jelas sekali merangkum berbagai pendapat para ulama fiqh tersebut di atas tentang makna wakaf, sehingga makna wakaf dalam konteks Indonesia lebih luas dan lebih komplit.
            Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
2. Sumber Hukum Wakaf Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
            Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit tekstual.  Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مئة حبة والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم .الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله ثم لا يتبعون ما أنفقوا منا ولا أذى لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. al-Baqarah (2): 261-262).
يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض ولا تيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم بآخذيه إلا أن تغمضوا فيه واعلموا أن الله غني حميد
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267).
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
            Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
            Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini adalah
عن عبد الله بن عمر أن عمر رضي الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ملك مائة سهم من خيبر فقال قد أصبت مالا لم أصب مثله وقد أردت أن أتقرب به إلى الله تعالى فقال حبس الأصل وسبل الثمرة
Dari Abdullah bin Umar bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab mendatangi Nabi SAW, (pada waktu itu) Umar baru saja memperoleh 100 kavling tanah Khaibar (yang terkenal subur), maka Umar berkata, ‘Saya telah memiliki harta yang tidak pernah saya miliki sebelumnya dan saya benar-benar ingin mendekatikan diri kepada Allah SWT melalui harta ini.’ Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahanlah asal harta tersebut dan alirkan manfaatnya’. (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:
اذا مات الانسان انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
 “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’ i, dan Abu Daud).
            Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.[15]
            Dalam konteks negara Indonesia, praktik wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004.
            Sebelum itu, telah ada berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf.[16] Peraturan yang mengatur tentang wakaf adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14 (1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, Intruksi Bersama Menag RI dan Kepala BPN No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf, Badan Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, SK Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan [qard al-hasan]), SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan [qard al-hasan]).[17]
3. Wakaf Produktif pada Lembaga PKPU
            Dasar hukum wakaf produktif di Indonesia adalah UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Pada dasarnya, wakaf produktif adalah upaya untuk meningkatkan (memaksimumkan ) fungsi-fungsi wakaf agar dapat memenuhi kebutuhan para pihak yang berhak menerima manfaatnya.
Dengan terpenuhinya kebutuhan para pihak, berarti wakaf dalam batas-batas tertentu telah berfungsi untuk menyejahterakan masyarakat.[18]
            Perkembangan wakaf di Indonesia saat ini cukup menggembirakan, wakaf dipahami oleh masyarakat tidak hanya berupa masjid dan sekolah atau madrasah.
            Istilah wakaf tunai atau wakaf uang sudah mulai membudaya bahkan beberapa lembaga nazhir wakaf sudah mengembangkan wakaf produktif berupa penyediaan kantor atau gedung yang disewakan. Sejak tahun 2004 bahkan pemerintah sudah melangkah lebih jauh dengan menerbitkan UU Wakaf yang mengatur segala aspek pengelolaan wakaf.
            Sejak awal berdirinya PKPU, wakaf menjadi salah satu kegiatan  yang terkait  dengan pengelolaan dana umat mengiringi zakat, infak, shadaqah, dan sebutan itu disingkat menjadi istilah ZISWAF. Beberapa alasan Yayasan PKPU mengembangkan program wakaf adalah secara historis program wakaf telah berjalan walaupun sejauh ini lebih banyak pasif khususnya  wakaf  tidak bergerak berupa asset tanah dan bangunan yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Direktur Wakaf PKPU Sahabudin mengatakan, Manfaat dari pengelolaan  wakaf (mauquf alaih) akan segera dapat disalurkan kepada program-program yang dimiliki oleh LKN PKPU yang sudah tersedia antara lain program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi.
            Program wakaf yang memberikan manfaat atau keuntungan  khusus bagi para wakif yaitu “manfaat yang terus berlanjut selama masih berwujud pokoknya” artinya dengan sekali berwakaf akan terus memberi manfaat bagi mauquf alaih dan pahala mengalir bagi wakif. Dengan konsep wakaf seperti itu peran PKPU sebagai nazhir wakaf sangat penting untuk dapat menjaga dan mengembangkan aset wakaf baik wakaf uang maupun benda tidak bergerak sehingga memberikan manfaat bagi mauquf alaih  dan menjaga amanah wakif. Sampai saat ini sudah cukup banyak wakif yang mempercayakan PKPU sebagai nazhir wakaf khususnya wakaf benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan. Pemanfaatan dari aset wakaf  tersebut sebagian sudah berwujud masjid, klinik, dan sekolah, sebagian yang lain masih memerlukan sinergi dan pembiayaan yang cukup besar untuk mengoptimalkannya mengingat kurang strategisnya lahan tersebut.
            Potensi dana umat berupa wakaf tunai atau wakaf uang di masyarakat  masih sangat besar dan belum terkelola dengan baik oleh para nazhir wakaf.
            Seiring dengan ketentuan Undang-Undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang mewajibkan lembaga nazir memiliki izin yang dikeluarkan oleh  Badan Wakaf Indonesia, maka Yayasan PKPU telah terdaftar sebagai Nazhir wakaf uang  dengan nomor pendaftaran 3.3.00054 tertanggal 15 April 2014. Sesuai dengan hakikat wakaf, ambil manfaat dan tahan pokoknya. Tujuan dari wakaf inilah yang menjadi agenda program pengembangan wakaf PKPU. Upaya menuju ke arah sana  sudah mulai digulirkan setidaknya wakaf-wakaf tanah yang belum termanfaatkan agar menjadi wakaf produktif. Pengalihan wakaf tanah menjadi wakaf produktif bisa dilakukan melalui mengubah, mengalihkan asset wakaf tidak bergerak menjadi asset wakaf produktif  sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang wakaf. “Misalnya, menjadi rumah atau ruko yang disewakan, kemudian  hasil sewa atau pendapatannya dimanfaatkan untuk program-program yatim, pendidikan,  kesehatan  atau pemberdayaan LKN PKPU. PKPU juga akan menggalang wakif-wakif baru untuk dapat berpartisipasi dalam wakaf tunai atau wakaf uang yang akan dikembangkan menjadi aset produktif berupa aset property, perkantoran, ruko atau rumah-rumah sewa yang hasilnya akan disalurkan untuk program LKN PKPU. Termasuk aset produktif berupa penempatan wakaf uang pada usaha yang sangat kecil risiko kerugiannya.
Dalam perkembangan wakaf juga dimungkinkan adanya wakaf dalam waktu berjangka dan bentuk wakaf lain yang memberikan kemanfaatan tidak selamanya dikarenakan nilai wakaf berkurang atau hilang. Untuk jenis ini akan dikembangkan wakaf berupa penyediaan sarana dan peralatan untuk kepentingan sekolah, klinik,  masjid, dan para pedagang atau pengusaha mikro. Untuk sarana masjid misalnya wakaf untuk memakmurkan masjid seperti penyediaan karpet, jam dinding, dan peralatan shalat. Untuk para pedagang mikro melalui wakaf penyediaan gerobak dan peralatan usaha lainnya. Demikian juga untuk kepentingan sekolah dan klinik.[19]
B. Kerangka Berfikir
            Dalam sosiologi hukum dikatakan bahwa hukum dapat dikelompokkan sebagai hukum yang hidup di masyarakat apabila: pertama, berlaku secara yuridis (pemberlakuan hukum didasarkan pada kaidah yang tingkatannya lebih tinggi). Kedua, berlaku secara sosiologis (hukum dapat dipaksakan keberlakuannya oleh penguasa meskipun masyarakat menolaknya [teori kekuasaan] atau hukum berlaku karena diterima dan diakui oleh masyarakat [teori pengakuan]). Dan ketiga, berlaku secara filosofis (sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi).
            Salah satunya produk hukum mengenai wakaf, yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf merupakan peraturan yang hendak memperkuat posisi wakaf; pertama, ia dinaikkan posisinya dari peraturan pemerintah dan intruksi presiden menjadi undang-undang. Kedua, cakupan obyek wakaf yang pada awalnya terbatas pada tanah dan benda (empirik, konkret) diperluas hingga mencakup benda-benda yang tidak berwujud (termasuk hak). Ketiga, dalam rangka menggerakkan wakaf sebagai media untuk menciptakan kesejahteraan umum, pemerintah memperluas aparat penegak hukum wakaf, termasuk pembentukan badan wakaf Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini diarahkan pada pembuktian mengenai perkembangan objek wakaf dan aparat penegak hukum wakaf.



C. Hipotesa
            Berdasarkan kerangka berfikir diatas, maka hipotesis yang diperoleh adalah sesuai Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf produktik memiliki peran yang cukup penting di masyarakat dalam upaya mensejahterakan masyarakat sekitar yang dapat ditujukan untuk pendidikan, kesehatan, serta membantu usaha mikro di masyarakat.

















BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
            Tempat penelitian ini dilakukan di Gedung Grha Peduli PKPU Jalan Raya Condet No. 27 G Batu Ampar Jakarta Timur 13520.
B. Waktu Penelitian
Waktu penelitian berlangsung dari Bulan Agustus sampai November 2014.
C. Metode Penelitian
            Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kepustakaan (library research), dan metode lapangan (field research). Metode kepustakaan atau yang disebut dengan studi literatur adalah suatu metode yang digunakan untuk menggali berbagai bahan kepustakaan yang ada hubungannya dengan pokok kajian dalam penulisan penelitian ini. Menurut S. Nasution dikatakan sebagai upaya menelaah literatur yang berhubungan dengan obyek penelitian.[20] Adapun field research penulis gunakan untuk memperoleh data di lapangan yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan dalam penulisan penelitian ini.
            Sedangkan hasil dari peneitian ini, metode yang digunakan ialah metode deskriptif-analisis. Deskriptif maksudnya ialah untuk menggambarkan apa adanya tentang data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam kurun waktu tertentu, yaitu selama tiga bulan. Sedangkan analisis ialah memilah dan memilih serta kemudian diperiksa dan dianalisa sehingga diperoleh kesimpulan yang akurat dan valid.
D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
            Berdasarkan masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan karena data yang dikumpulkan bersifat kualitatif (pemikiran), yaitu peraturan perundang-undangan. Metode yang digunakan adalah book survey, serta wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam membahas topik-topik tertentu yang spesifik, dan metode analisis yang digunakan adalah analisis perbandingan.
a. Langkah Awal Penelitian
            Langkah-langkah awal penelitian adalah: pertama, penegasan fokus penelitian. Kedua, pembuatan pedoman penelitian dengan menyusun wakaf dengan dua pendekatan: pendekatan historis dan substantif. Ketiga, berkonsultasi kepada sejumlah pakar yang dipandang memiliki minat dan perhatian yang cukup besar terhadap pemikiran hukum islam.
b. Cara Mendapatkan dan Sumber Data
            Data penelitian diperoleh dengan cara membaca literatur: buku, majalah, makalah-makalah, dan putusan-putusan ormas islam. Kumpulan fatwa Majlis Ulama Indonesia dan kumpulan keputusan bahtsul masa’il Nahdlatul Ulama diperoleh dari Hasanuddin;[21] dan putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama didapat dari tim teknik informasi Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.
            Sumber data dibedakan menjadi dua: premier dan sekunder. Sember data premier adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf.
Sedangkan sumber sekundernya adalah peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan substansi undang-undang wakaf, antara lain: UU tantang tanah, Rumah susun, Hak cipta, Hak desain industri, Hak merk, Hak paten, dan Hak sirkuit terpadu. Tentu saja, PP nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dan buku III KHI yang disebarluaskan dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991, kitab-kitab fikih tentang wakaf dan buku-buku yang ditulis oleh ulama Indonesia juga dijadikan sumber pelengkap (tersier).


c. Langkah-Langkah dan Instrumen Penelitian
            Data yang didapat dari sumber-sumber tersebut diteliti dengan: a) memperhatikan isi pasal-pasal, dan b) mendokumentasikannya dalam bentuk catatan. Disamping itu, dalam mebahas hal-hal yang krusial dan spesifik dilakukan wawancara dengan sejumlah pakar dengan keahlian yang beragam dan relevan. Ahli yang diperlukan adalah ahli fikih/fatwa, dan ahli dibidang ekonomi dan atau bisnis; mengingat pendayagunaan wakaf harus menjadikan bisnis sebagai salah satu core kegiatannya.
            Meskipun tidak disepakati oleh sejumlah ahli, instrumen dalam penelitian kualitatif adalah penelitian itu sendiri. Kedudukan penelitian dalam penelitian kualitatif adalah perencanaan, pelaksana, pengumpul data, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian.[22] Pada akhirnya, hasil penelitian ini disusun berdasarkan cara berfikir logis.
E. Kisi-Kisi Penelitian
Tabel 3.1
Kisi-kisi Instrumen Penelitian
Wakaf Produktif  Pada Lembaga PKPU Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat Islam di Jakarta Timur
No
Rumusan Masalah
Variabel
Indikator
Rumusan pertanyaan
1.
1. Bagaimanakah pengembangan aspek-aspek hukum wakaf
Bentuk pengembangan aspek hukum wakaf
1.Pengembangan aspek hukum wakaf dalam hukum islam
2.Pengembangan aspek hukum wakaf dalam hukum positif

1. Bagaimana sistem hukum wakaf dalam hukum islam?
2. Bagaimana sistem hukum wakaf dalam hukum positif?
2.
2. Bagaimanakah strategi yang diperlukan untuk menjadikan wakaf sebagai media guna menciptakan kesejahteraan oleh lembaga PKPU?
Bentuk strategi yang digunakan sebagai media guna menciptakan kesejahteraan masyarakat
1. Strategi wakaf bagi lembaga PKPU
2. Strategi wakaf bagi masyarakat dalam upaya mensejahterakan kehidupan di Masyarakat
1. Bagaimana strategi wakaf yang digunakan oleh lembaga PKPU?
2. Bagaimana strategi wakaf digunakan di masyarakat agar dapat terus berkembang?
3.
3. Institusi apa saja yang telah dibentuk oleh PKPU untuk memakmurkan masyarakat melalui pemberdayaan wakaf ?
Bentuk institusi yang dibangun oleh PKPU dalam upaya mensejahterakan msayarakat
1. Bentuk institusi yang produktif
1. Bagaimana lembaga PKPU membentuk institusi yang produktif?







DAFTAR PUSTAKA
Mundzir Qahaf, Dr, diTerjemahkan oleh Rida, Muhyidin Mas, H, Managemen Wakaf       Produktif, Jakarta: KHALIFA (Pustaka Al-kautsar Group), 2007.
Mubarok, Jaih, M, Ag, Dr, Prof, Pengantar oleh, Abdullah, Abdul Gani, SH, Dr, Prof,      Wakaf Produktif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zkat dan Wakaf, Jakarta: UI-Press,           2012.
Saifuddin, Agus, M, Managemen Wakaf di Era Modern, Jakarta: BWI, 2013.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Wakaf for Beginners, Cet. 1,          Depag, RI, Jkt, 2009.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Strategi Pengembangan Wakaf       Tunai di Indonesia, Depag, RI, Jkt, 2009.
Kemenag, RI, Direktorat Bimas Islam, Wakaf for Beginners, Jkt, 2011.
Kemenag, RI, Direktorat Bimas Islam, Pedoman Penyusunan Proposal Pemberdayaan       Wakaf Produktif, Jkt, 2012.
www.dakwatuna.com/2014/04/23/50167/pkpu-berkomitmen-terus-kembangkan-    wakaf/#axzz3M7rGvPRI. 18/12-2014.
Al-qur’anul kariim.



[1] Pada tahun 1953, DEPAG menetapkan 13 kitab fikih sebagai pedoman dalam memutuskan perkara di pengadilan agama. Wakaf produktif, prof. Dr. Abdul gani abdullah, SH, hlm, 1.
[2] Bustanul arifin, pelembagaan hukum islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan prospeknya, hlm, 49-61.
[3] Muhammad Wildan, PENGELOLAAN AKAF UANG di BWI, hlm, 2.
[4] Kementrian Agama RI, Wakaf for Beginner, hlm, 75.
[5] Kementrian Agama RI, Wakaf for Beginner, hlm, 61-68.
[6]  Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 11. (Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1954), hal. 276.
[7] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah. (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977).Alih bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk, judul Indonesia: Hukum Wakaf, (Jakarta: DD Republika dan IIMan, 2004), hal. 37.
[8]  Sebagaimana dijelaskan al-Kabisi dengan merujuk kepada kamus al-Muhid dan Lisan al-Arab.
[9] Al-Imam Kamal al-Din Ibn ‘Abd al-Rahid al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh Fath al-Qadir, jil. 6. (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), hal. 203.
[10] Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, juz 2. (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 187.
[11] Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2. (Kairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1958), hal. 376.
[12]  Sebagaimana dikutip al-Kabisi dengan merujuk pada karya al-Qalyubi, Hasyiyatu al-Qalyubi ala syarh al-muhalla li al-Minhaj.
[13] Ibn Qudamah, Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1972), hal. 185.
[14] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat 1
[15] Wakaf disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap tanahnya yang terletak di Khaibar, sebagian lain berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk dibangun masjid. Ismail bin Umar bin Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyad: Dar al-Salam, 2001), Juz I, hal. 381; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983); Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam. (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.), hal. 87.
[16] Lihat DEPAG RI, Peraturan Perundangan Perwakafan. (Jakarta: DEPAG RI, 2006).
[17] Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 57-59.
[18] Prof. Dr. Jaih Mubarak, M.Ag. wakaf produktif, hlm, 17.
[19] http://www.dakwatuna.com/2014/04/23/50167/pkpu-berkomitmen-terus-kembangkan-wakaf/#axzz3M7rGvPRI. 18/12-2014.
[20] S. Nasution, metode research, (Bandung: Jemmars, 1982), hlm, 100.
[21] Hasanuddin adalah dosen fakultas syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[22] Alan Bryman, qualitative research: further reflecting on their integration” dalam Julia Branner mixing methods: qualitative and quantitaive research (USA: Avebury. 1993), hlm. 59-60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar