BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu
kekuasaan absolut peradilan agama adalah hukum perwakafan. Akan tetapi hingga
tahun 1977, peradilan dalam lingkungan peradilan agama (peradilan agama,
peradilan tinggi agama, dan mahkamah agung) belum memiliki hukum materiil yang
dijadikan pedoman dalam menyelesaikan berbagai perkara/sengketa perwakafan.
Sebelum ada
undang-undang (qanun), para hakim di Pengadilan Agama dengan berbagai
tingkatannya menggunakan pendapat ulama yang dilestarikan dalam kitab-kitab
fikih.[1] Akan tetapi karena fikih merupakan produk
ijtihad personal yang tidak mengikat, pendapat ulama yang terdapat dalam
kitab-kitab fikih sering kali tidak sama, yang terjadi adalah ikhtilaf
(perbedaan). Dalam situasi demikian, wajar apabila bustanul arifin (mantan
hakim agung) pernah mengatakan bahwa fikih tidak (kurang menjamin adanya
kepastian hukum.[2]
Untuk itu, untuk menjamin kepastian hukum perlu adanya peraturan atau
undang-undang yang dapat memperkecil terjadinya perbedaan pendapat.
Karena wakaf
merupakan salah satu kekuasaan absolut peradilan agama, hukum wakaf mendapatkan
perhatian dari para penyelenggara negara, baik sebelum maupun setelah
kemerdekaan. Secara historis, di Indonesia terdapat tiga peraturan wakaf yang
dibentuk oleh pemerintah Indonesia:
1. PP no. 28 tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik;
2. Buku III KHI yang disebarluaskan dengan Intruksi Presiden no. 1
tahun 1991;
3. UU no. 41 tahun 2004 tentang wakaf;
4. PP no. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU no. 41 tahun 2004
tentang wakaf.
Perkembangan
materi hukum wakaf terjadi karena diterbitkannya peraturan perundang-undangan
tersebut. Kemudian, maka dari praktik pengalaman wakaf di Indonesia, dewasa ini
tercipta suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf. Pertama, wakaf
itu umumnya berwujud benda tidak bergerak, terutama tanah. Kedua, dalam
praktik, diatas tanah wakaf tersebut biasanya didirikan masjid atau madarasah. Ketiga,
penggunaan wakaf didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wakif). [3]
Selanjutnya, PKPU
(Pos Kemanusiaan Peduli Umat) merupakan salah satu lembaga swasta penyalur
wakaf produktif. Berdasarkan data Departemen Agama, kekayaan tanah wakaf umat
islam Indonesia yang sangat besar, yaitu seluas 1.566.672.406 meter persegi dengan
403.845 lokasi. Dari jumlah tersebut sebanyak 75% bersertifikat dan sekitar 10%
berlokasi strategis dan potensial untuk dikembangkan secara ekonomi. Bahkan
kalau dilihat dari segi luasnya, luas tanah wakaf tersebut hampir sebanding
dengan luas tanah negara Singapore.[4]
Kemudian, kalau
dilihat dari segi pelaksanaan perwakafan itu adalah ditujukan untuk
melaksanakan hal-hal yang lebih produktif supaya hasilnya dapat lebih optimal.
Meskipun tidak semua aset wakaf harus dibuat produktif, seperti masjid,
musholla, kuburan dan lain-lain. Untuk mengelola wakaf secara produktif,
terdapat beberapa asas yang mendasarinya, diantaranya:
a. Asas keabadian manfaat; b. Asas pertanggung jawaban; c. Asas
profesionalitas managemen; dan d. Asas keadilan sosial.[5]
Dengan memegang prinsip inilah, PKPU sebagai salah satu lembaga
swasta yang berorientasi pada pengembangan dana zakat, infaq, shadaqah serta
wakaf, terus berupaya mengembangkannya secara produktif.
Dari uraian latar
belakang ini, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam
mengenai “Wakaf Produktif
pada Lembaga PKPU
dalam upaya pemberdayaan masyarakat Islam di Jakarta Timur (condet).
B. Rumusan Masalah
UU no. 41 tahun
2004 tentang wakaf memiliki paradigma baru, yakni paradigma ibadah sosial
(mu’amalah). Dalam konsep institusi, , hukum terdiri atas konsep dan struktur.
Konsep menjelaskan tentang nilai/norma yang disusun dalam pasal dan ayat,
sementara struktur menjelaskan tentang pihak-pihak (institusi) yang menjalankan
hukum agar tujuannya tercapai. Penelitian ini menjelaskan dua unsur tersebut,
yaitu menjelaskan norma hukum wakaf yang dilandasi oleh ibadah sosial
(m’amalah), dan pembentukan sejumlah institusi agar peraturan
perundang-undangan mengenai wakaf dapat diaplikasikan dengan benar dan baik.
Untuk itu, rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas,
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengembangan aspek-aspek hukum wakaf yang
terkandung dalam undang-undang nomor 41 tahun 2004 oleh lembaga PKPU?
2. Bagaimanakah strategi yang diperlukan untuk menjadikan wakaf
sebagai media guna menciptakan kesejahteraan oleh lembaga PKPU?
3. Institusi apa saja yang telah dibentuk oleh PKPU untuk memakmurkan
masyarakat melalui pemberdayaan wakaf ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui aspek-aspek hukum wakaf yang dikembangkan;
2. mengetahui strategi yang dibuat dalam rangka memakmurkan
masyarakat melalui wakaf;
3. dan mengetahui institusi yang dibentuk dan dilibatkan dalam
mengembangkan wakaf guna memakmurkan masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah intelektual hukum islam, terutama fikih mu’amalah. Untuk itu, dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Bagi penulis
Bagi penulis untuk menambah ilmu
pengetahuan yang diperoleh semasa kuliah;
2. Bagi fakultas
Bagi fakultas untuk menambah volume
bahan pustaka, khususnya perpustakaan FAI UMJ;
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi masyarakat islam pada umumnya,
terutama para penyelenggara dan pelaksana hukum wakaf dan perbankan sistem
syari’ah, baik perbankan yang murni syari’ah maupun perbankan yang dual banking
system, serta lembaga keuangan lain seperti bank pembiayaan rakyat syariah
(BPRS) dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang tersebar di berbagai pelosok negeri
ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian Wakaf
Wakaf dalam pengertian hukum
islam, secara etimologi adalah al-habs[6] (menahan)”.
Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’
yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu. Dengan demikian, pengertian wakaf
secara bahasa adalah menyerahkan tanah untuk orang-orang miskin untuk ditahan.
Diartikan demikian karena barang milik itu dipegang dan ditahan orang lain,
seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.[7]
Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa”
yang digabungkan dengan kata-kata segala jenis barang termasuk ungkapan yang
tidak lazim (jelek). Yang benar adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu”
tanpa memakai hamzah (auqaftu). Adapun yang semakna dengan kata “habistu”
adalah seperti ungkapan “waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”.[8]
Para ulama berbeda pendapat dalam
memberi pengertian wakaf, sebagaimana tercantum buku-buku fiqh. Perbedaan
tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi
wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda
(al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada
siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.[9] Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap
tertahan atau terhenti di tangan wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih
menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke
atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk aset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu
harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan
kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan keinginan wakif.[10] Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang
atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa
memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan
hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang
dibolehkan oleh syariah.[11] Menurut Syaikh Syihabuddin
al-Qalyubi, wakaf adalah habsul mali yumkinu al-intifa’u bihi ma’a baqa’I
ainihi ‘ala mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa diambil manfaatnya
dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepaa jalan yang dibolehkan).[12] Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal
materi bendanya (al-‘ain), dalam arti harta yang tidak mudah rusak atau musnah
serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana,
yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.[13] Demikianlah pengertian wakaf menurut para ulama ahli fiqih.
Sedangkan dalam konteks perundangan di
Indonesia, nampaknya wakaf dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu
dari berbagai pendapat ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan
pengertian wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf
diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.[14]
Rumusan dalam UU wakaf tersebut, jelas sekali merangkum berbagai pendapat para
ulama fiqh tersebut di atas tentang makna wakaf, sehingga makna wakaf dalam
konteks Indonesia lebih luas dan lebih komplit.
Dari beberapa definisi wakaf
tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau
faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai
dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan
pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan
untuk memajukan kesejahteraan umum.
2. Sumber Hukum Wakaf Menurut Hukum
Islam dan Hukum Positif.
Secara umum tidak terdapat ayat
al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit tekstual. Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka
dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan
pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
مثل الذين ينفقون أموالهم
في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مئة حبة والله يضاعف لمن يشاء والله
واسع عليم .الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله ثم لا يتبعون ما أنفقوا منا ولا أذى
لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima),
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. al-Baqarah (2): 261-262).
يا أيها الذين آمنوا أنفقوا
من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض ولا تيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم بآخذيه
إلا أن تغمضوا فيه واعلموا أن الله غني حميد
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267).
لن تنالوا البر حتى تنفقوا
مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan
tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan
pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah
menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Di antara hadis yang menjadi dasar dan
dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab
ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang
tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk
menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini adalah
عن عبد الله بن عمر أن عمر
رضي الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ملك مائة سهم من خيبر فقال قد أصبت
مالا لم أصب مثله وقد أردت أن أتقرب به إلى الله تعالى فقال حبس الأصل وسبل الثمرة
“Dari Abdullah bin Umar bahwa sesungguhnya
Umar bin Khattab mendatangi Nabi SAW, (pada waktu itu) Umar baru saja
memperoleh 100 kavling tanah Khaibar (yang terkenal subur), maka Umar berkata,
‘Saya telah memiliki harta yang tidak pernah saya miliki sebelumnya dan saya
benar-benar ingin mendekatikan diri kepada Allah SWT melalui harta ini.’ Maka
Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahanlah asal harta tersebut dan alirkan manfaatnya’.
(H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
Hadis lain
yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh Imam Muslim dari Abu
Hurairah sebagai berikut:
اذا مات الانسان انقطع عمله
الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Apabila seorang manusia itu meninggal dunia,
maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah
jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” (H.R.
Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’ i, dan Abu Daud).
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di
atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang
disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak
amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa
dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimin sejak masa
awal Islam hingga sekarang.[15]
Dalam konteks negara Indonesia, praktik
wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum
merdeka. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan Undang-undang khusus yang
mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun
2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004.
Sebelum itu, telah ada berbagai peraturan yang
mengatur tentang wakaf.[16]
Peraturan yang mengatur tentang wakaf adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14 (1), dan 49, PP No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri No. 1 Tahun
1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, Intruksi Bersama Menag
RI dan Kepala BPN No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf, Badan
Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah
Wakaf, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, SK Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank
dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal
dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan
[qard al-hasan]), SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan
Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak
sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq,
shadaqah, wakaf, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada yang
berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan [qard al-hasan]).[17]
3. Wakaf Produktif pada Lembaga PKPU
Dasar hukum wakaf produktif di Indonesia adalah UU Nomor 41 Tahun
2004 tentang wakaf dan PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf. Pada dasarnya, wakaf produktif adalah upaya untuk
meningkatkan (memaksimumkan ) fungsi-fungsi wakaf agar dapat memenuhi kebutuhan
para pihak yang berhak menerima manfaatnya.
Dengan terpenuhinya kebutuhan para pihak, berarti wakaf dalam batas-batas tertentu
telah berfungsi untuk menyejahterakan masyarakat.[18]
Perkembangan wakaf
di Indonesia saat ini cukup menggembirakan, wakaf dipahami oleh masyarakat
tidak hanya berupa masjid dan sekolah atau madrasah.
Istilah wakaf
tunai atau wakaf uang sudah mulai membudaya bahkan beberapa lembaga nazhir
wakaf sudah mengembangkan wakaf produktif berupa penyediaan kantor atau gedung
yang disewakan. Sejak tahun 2004 bahkan pemerintah sudah melangkah lebih jauh
dengan menerbitkan UU Wakaf yang mengatur segala aspek pengelolaan wakaf.
Sejak awal
berdirinya PKPU, wakaf menjadi salah satu kegiatan yang terkait
dengan pengelolaan dana umat mengiringi zakat, infak, shadaqah, dan sebutan
itu disingkat menjadi istilah ZISWAF. Beberapa alasan Yayasan PKPU
mengembangkan program wakaf adalah secara historis program wakaf telah berjalan
walaupun sejauh ini lebih banyak pasif khususnya wakaf
tidak bergerak berupa asset tanah dan bangunan yang perlu dikembangkan
lebih lanjut. Direktur Wakaf PKPU Sahabudin mengatakan, Manfaat dari
pengelolaan wakaf (mauquf alaih) akan
segera dapat disalurkan kepada program-program yang dimiliki oleh LKN PKPU yang
sudah tersedia antara lain program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan
ekonomi.
Program wakaf yang
memberikan manfaat atau keuntungan
khusus bagi para wakif yaitu “manfaat yang terus berlanjut selama masih
berwujud pokoknya” artinya dengan sekali berwakaf akan terus memberi manfaat
bagi mauquf alaih dan pahala mengalir bagi wakif. Dengan konsep wakaf seperti
itu peran PKPU sebagai nazhir wakaf sangat penting untuk dapat menjaga dan
mengembangkan aset wakaf baik wakaf uang maupun benda tidak bergerak sehingga
memberikan manfaat bagi mauquf alaih dan
menjaga amanah wakif. Sampai saat ini sudah cukup banyak wakif yang mempercayakan
PKPU sebagai nazhir wakaf khususnya wakaf benda tidak bergerak berupa tanah dan
bangunan. Pemanfaatan dari aset wakaf
tersebut sebagian sudah berwujud masjid, klinik, dan sekolah, sebagian
yang lain masih memerlukan sinergi dan pembiayaan yang cukup besar untuk
mengoptimalkannya mengingat kurang strategisnya lahan tersebut.
Potensi dana umat berupa wakaf tunai atau
wakaf uang di masyarakat masih sangat
besar dan belum terkelola dengan baik oleh para nazhir wakaf.
Seiring dengan ketentuan Undang-Undang No
41 tahun 2004 tentang Wakaf yang mewajibkan lembaga nazir memiliki izin yang
dikeluarkan oleh Badan Wakaf Indonesia,
maka Yayasan PKPU telah terdaftar sebagai Nazhir wakaf uang dengan nomor pendaftaran 3.3.00054 tertanggal
15 April 2014. Sesuai dengan hakikat wakaf, ambil manfaat dan tahan pokoknya.
Tujuan dari wakaf inilah yang menjadi agenda program pengembangan wakaf PKPU. Upaya
menuju ke arah sana sudah mulai
digulirkan setidaknya wakaf-wakaf tanah yang belum termanfaatkan agar menjadi wakaf
produktif. Pengalihan wakaf tanah menjadi wakaf produktif bisa dilakukan melalui
mengubah, mengalihkan asset wakaf tidak bergerak menjadi asset wakaf
produktif sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang wakaf. “Misalnya, menjadi rumah atau ruko yang disewakan, kemudian hasil sewa atau pendapatannya dimanfaatkan
untuk program-program yatim, pendidikan,
kesehatan atau pemberdayaan LKN
PKPU. PKPU juga akan menggalang wakif-wakif baru untuk dapat berpartisipasi
dalam wakaf tunai atau wakaf uang yang akan dikembangkan menjadi aset produktif
berupa aset property, perkantoran, ruko atau rumah-rumah sewa yang hasilnya
akan disalurkan untuk program LKN PKPU. Termasuk aset produktif berupa penempatan
wakaf uang pada usaha yang sangat kecil risiko kerugiannya.
Dalam perkembangan wakaf juga dimungkinkan adanya wakaf dalam waktu
berjangka dan bentuk wakaf lain yang memberikan kemanfaatan tidak selamanya
dikarenakan nilai wakaf berkurang atau hilang. Untuk jenis ini akan
dikembangkan wakaf berupa penyediaan sarana dan peralatan untuk kepentingan
sekolah, klinik, masjid, dan para
pedagang atau pengusaha mikro. Untuk sarana masjid misalnya wakaf untuk memakmurkan
masjid seperti penyediaan karpet, jam dinding, dan peralatan shalat. Untuk para
pedagang mikro melalui wakaf penyediaan gerobak dan peralatan usaha lainnya.
Demikian juga untuk kepentingan sekolah dan klinik.[19]
B. Kerangka Berfikir
Dalam sosiologi
hukum dikatakan bahwa hukum dapat dikelompokkan sebagai hukum yang hidup di
masyarakat apabila: pertama, berlaku secara yuridis (pemberlakuan hukum
didasarkan pada kaidah yang tingkatannya lebih tinggi). Kedua, berlaku
secara sosiologis (hukum dapat dipaksakan keberlakuannya oleh penguasa meskipun
masyarakat menolaknya [teori kekuasaan] atau hukum berlaku karena diterima dan
diakui oleh masyarakat [teori pengakuan]). Dan ketiga, berlaku secara
filosofis (sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi).
Salah satunya
produk hukum mengenai wakaf, yaitu Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
wakaf merupakan peraturan yang hendak memperkuat posisi wakaf; pertama, ia
dinaikkan posisinya dari peraturan pemerintah dan intruksi presiden menjadi
undang-undang. Kedua, cakupan obyek wakaf yang pada awalnya terbatas
pada tanah dan benda (empirik, konkret) diperluas hingga mencakup benda-benda
yang tidak berwujud (termasuk hak). Ketiga, dalam rangka menggerakkan
wakaf sebagai media untuk menciptakan kesejahteraan umum, pemerintah memperluas
aparat penegak hukum wakaf, termasuk pembentukan badan wakaf Indonesia. Oleh
karena itu, penelitian ini diarahkan pada pembuktian mengenai perkembangan
objek wakaf dan aparat penegak hukum wakaf.
C. Hipotesa
Berdasarkan
kerangka berfikir diatas, maka hipotesis yang diperoleh adalah sesuai
Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf produktik memiliki peran yang cukup
penting di masyarakat dalam upaya mensejahterakan masyarakat sekitar yang dapat
ditujukan untuk pendidikan, kesehatan, serta membantu usaha mikro di masyarakat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di Gedung Grha Peduli PKPU Jalan
Raya Condet No. 27 G Batu Ampar Jakarta Timur 13520.
B. Waktu Penelitian
Waktu penelitian berlangsung dari Bulan Agustus sampai November
2014.
C. Metode Penelitian
Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan metode kepustakaan (library research), dan
metode lapangan (field research). Metode kepustakaan atau yang disebut
dengan studi literatur adalah suatu metode yang digunakan untuk menggali
berbagai bahan kepustakaan yang ada hubungannya dengan pokok kajian dalam penulisan
penelitian ini. Menurut S. Nasution dikatakan sebagai upaya menelaah literatur
yang berhubungan dengan obyek penelitian.[20]
Adapun field research penulis gunakan untuk memperoleh data di lapangan yang
ada kaitannya dengan pokok permasalahan dalam penulisan penelitian ini.
Sedangkan hasil
dari peneitian ini, metode yang digunakan ialah metode deskriptif-analisis.
Deskriptif maksudnya ialah untuk menggambarkan apa adanya tentang data-data
yang diperoleh dari hasil penelitian dalam kurun waktu tertentu, yaitu selama
tiga bulan. Sedangkan analisis ialah memilah dan memilih serta kemudian
diperiksa dan dianalisa sehingga diperoleh kesimpulan yang akurat dan valid.
D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Berdasarkan
masalah yang diteliti, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan ini digunakan karena data yang dikumpulkan bersifat kualitatif
(pemikiran), yaitu peraturan perundang-undangan. Metode yang digunakan adalah book
survey, serta wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam membahas
topik-topik tertentu yang spesifik, dan metode analisis yang digunakan adalah
analisis perbandingan.
a. Langkah Awal Penelitian
Langkah-langkah
awal penelitian adalah: pertama, penegasan fokus penelitian. Kedua, pembuatan
pedoman penelitian dengan menyusun wakaf dengan dua pendekatan: pendekatan
historis dan substantif. Ketiga, berkonsultasi kepada sejumlah pakar
yang dipandang memiliki minat dan perhatian yang cukup besar terhadap pemikiran
hukum islam.
b. Cara Mendapatkan dan Sumber Data
Data penelitian
diperoleh dengan cara membaca literatur: buku, majalah, makalah-makalah, dan
putusan-putusan ormas islam. Kumpulan fatwa Majlis Ulama Indonesia dan kumpulan
keputusan bahtsul masa’il Nahdlatul Ulama diperoleh dari Hasanuddin;[21]
dan putusan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama didapat dari tim teknik
informasi Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sumber data
dibedakan menjadi dua: premier dan sekunder. Sember data premier adalah
Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor
42 tahun 2006 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang
wakaf.
Sedangkan sumber sekundernya adalah peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan substansi undang-undang wakaf, antara lain: UU tantang
tanah, Rumah susun, Hak cipta, Hak desain industri, Hak merk, Hak paten, dan
Hak sirkuit terpadu. Tentu saja, PP nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan
tanah milik dan buku III KHI yang disebarluaskan dengan Inpres Nomor 1 Tahun
1991, kitab-kitab fikih tentang wakaf dan buku-buku yang ditulis oleh ulama
Indonesia juga dijadikan sumber pelengkap (tersier).
c. Langkah-Langkah dan Instrumen Penelitian
Data yang didapat
dari sumber-sumber tersebut diteliti dengan: a) memperhatikan isi pasal-pasal,
dan b) mendokumentasikannya dalam bentuk catatan. Disamping itu, dalam mebahas
hal-hal yang krusial dan spesifik dilakukan wawancara dengan sejumlah pakar
dengan keahlian yang beragam dan relevan. Ahli yang diperlukan adalah ahli
fikih/fatwa, dan ahli dibidang ekonomi dan atau bisnis; mengingat pendayagunaan
wakaf harus menjadikan bisnis sebagai salah satu core kegiatannya.
Meskipun tidak
disepakati oleh sejumlah ahli, instrumen dalam penelitian kualitatif adalah
penelitian itu sendiri. Kedudukan penelitian dalam penelitian kualitatif adalah
perencanaan, pelaksana, pengumpul data, penafsir data, dan pelapor hasil
penelitian.[22]
Pada akhirnya, hasil penelitian ini disusun berdasarkan cara berfikir logis.
E. Kisi-Kisi Penelitian
Tabel 3.1
Kisi-kisi Instrumen Penelitian
Wakaf Produktif Pada Lembaga PKPU Dalam Upaya Pemberdayaan
Masyarakat Islam di Jakarta Timur
No
|
Rumusan
Masalah
|
Variabel
|
Indikator
|
Rumusan
pertanyaan
|
1.
|
1. Bagaimanakah pengembangan aspek-aspek hukum wakaf
|
Bentuk pengembangan aspek hukum wakaf
|
1.Pengembangan aspek hukum wakaf dalam hukum islam
2.Pengembangan aspek hukum wakaf dalam hukum positif
|
1. Bagaimana sistem hukum wakaf dalam hukum islam?
2. Bagaimana sistem hukum wakaf dalam hukum positif?
|
2.
|
2. Bagaimanakah strategi yang diperlukan untuk menjadikan wakaf
sebagai media guna menciptakan kesejahteraan oleh lembaga PKPU?
|
Bentuk strategi yang digunakan sebagai media guna menciptakan
kesejahteraan masyarakat
|
1. Strategi wakaf bagi lembaga PKPU
2. Strategi wakaf bagi masyarakat dalam upaya mensejahterakan
kehidupan di Masyarakat
|
1. Bagaimana strategi wakaf yang digunakan oleh lembaga PKPU?
2. Bagaimana strategi wakaf digunakan di masyarakat agar dapat
terus berkembang?
|
3.
|
3. Institusi apa saja yang telah dibentuk oleh PKPU untuk
memakmurkan masyarakat melalui pemberdayaan wakaf ?
|
Bentuk institusi yang dibangun oleh PKPU dalam upaya
mensejahterakan msayarakat
|
1. Bentuk institusi yang produktif
|
1. Bagaimana lembaga PKPU membentuk institusi yang produktif?
|
DAFTAR PUSTAKA
Mundzir Qahaf, Dr, diTerjemahkan oleh Rida, Muhyidin Mas, H,
Managemen Wakaf Produktif, Jakarta:
KHALIFA (Pustaka Al-kautsar Group), 2007.
Mubarok, Jaih, M, Ag, Dr, Prof, Pengantar oleh, Abdullah, Abdul
Gani, SH, Dr, Prof, Wakaf Produktif, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zkat dan Wakaf, Jakarta:
UI-Press, 2012.
Saifuddin, Agus, M, Managemen Wakaf di Era Modern, Jakarta: BWI,
2013.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Wakaf for
Beginners, Cet. 1, Depag, RI,
Jkt, 2009.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Strategi
Pengembangan Wakaf Tunai di
Indonesia, Depag, RI, Jkt, 2009.
Kemenag, RI, Direktorat Bimas Islam, Wakaf for Beginners, Jkt,
2011.
Kemenag, RI, Direktorat Bimas Islam, Pedoman Penyusunan Proposal
Pemberdayaan Wakaf Produktif, Jkt,
2012.
www.dakwatuna.com/2014/04/23/50167/pkpu-berkomitmen-terus-kembangkan- wakaf/#axzz3M7rGvPRI. 18/12-2014.
Al-qur’anul kariim.
[1] Pada
tahun 1953, DEPAG menetapkan 13 kitab fikih sebagai pedoman dalam memutuskan
perkara di pengadilan agama. Wakaf produktif, prof. Dr. Abdul gani abdullah,
SH, hlm, 1.
[2] Bustanul
arifin, pelembagaan hukum islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan prospeknya,
hlm, 49-61.
[3] Muhammad
Wildan, PENGELOLAAN AKAF UANG di BWI, hlm, 2.
[4] Kementrian
Agama RI, Wakaf for Beginner, hlm, 75.
[5]
Kementrian Agama RI, Wakaf for Beginner, hlm, 61-68.
[6] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 11. (Kairo:
al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1954), hal. 276.
[7] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah.
(Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977).Alih bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk, judul Indonesia: Hukum Wakaf,
(Jakarta: DD Republika dan IIMan, 2004), hal. 37.
[9] Al-Imam Kamal al-Din Ibn ‘Abd al-Rahid
al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh Fath al-Qadir, jil.
6. (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), hal. 203.
[10] Syams al-Din al-Syaikh Muhammad
al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, juz 2. (Beirut: Dar al-Fikr,
tt.), hal. 187.
[11] Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2. (Kairo: Syarikah
Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1958), hal. 376.
[12] Sebagaimana dikutip al-Kabisi dengan
merujuk pada karya al-Qalyubi, Hasyiyatu al-Qalyubi ala syarh al-muhalla li
al-Minhaj.
[13] Ibn Qudamah, Al-Mughni
Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1972),
hal. 185.
[15] Wakaf
disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa
pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap tanahnya
yang terletak di Khaibar, sebagian lain berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf
pertama dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk dibangun masjid. Ismail bin Umar
bin Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyad: Dar al-Salam, 2001), Juz I, hal. 381;
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983); Imam Muhammad bin
Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam. (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.), hal. 87.
[16] Lihat
DEPAG RI, Peraturan Perundangan Perwakafan. (Jakarta: DEPAG RI, 2006).
[17] Elsi
Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm.
57-59.
[18] Prof. Dr. Jaih Mubarak, M.Ag. wakaf
produktif, hlm, 17.
[19] http://www.dakwatuna.com/2014/04/23/50167/pkpu-berkomitmen-terus-kembangkan-wakaf/#axzz3M7rGvPRI.
18/12-2014.
[20] S.
Nasution, metode research, (Bandung: Jemmars, 1982), hlm, 100.
[21]
Hasanuddin adalah dosen fakultas syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
[22] Alan
Bryman, qualitative research: further reflecting on their integration” dalam
Julia Branner mixing methods: qualitative and quantitaive research (USA:
Avebury. 1993), hlm. 59-60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar