Ada dua pandangan menyikapi presentasi Presiden Joko Widodo dalam pertemuan APEC yang hampir setiap slide selalu diakhiri kalimat, “This is your opportunity.” Ada yang menganggap Jokowi dengan bahasa Inggris berlogat Solonya itu tengah mengobral Indonesia.
Sebagian lagi melihat Jokowi sedang menarik investor asing yang pada akhirnya justru memperkuat Indonesia. Investasi asing jangka panjang bisa meningkatkan pertahanan Indonesia, setidaknya itu pendapat ekonom Faisal Basri dalam buku Universitas Pertahanan Indonesia; Menuju Konsep Pertahanan Modern.
Buku itu juga menjelaskan bahwa kebencian terhadap investasi asing disebabkan tak adanya lembaga think-tank yang membantu masyarakat memahami seperti apa pertahanan Indonesia seharusnya dikembangkan. Absennya lembaga seperti itu membuat Indonesia selalu ketinggalan langkah dari Singapura yang punya Rajaratnam School of International Studies (RSIS).
Berikut ini nukilan buku tersebut soal pertahanan dan mimpi punya lembaga yang memasok riset buat menyiapkan kebijakan pertahanan Indonesia:
Kolonel Infanteri Imam Edy Mulyono masih ingat hari-harinya belajar di Army War College di Amerika Serikat. “Di War College, siswanya diajarkan menjadi pemimpin senior di bidang militer,” kata Imam.
Pelajaran yang berbeda 180 derajat didapatnya ketika dikirim ke RSIS. Statusnya, RSIS, adalah sekolah pertahanan, namun yang diajarkan jauh dari perang fisik. “Di RSIS siswa lebih diarahkan sebagai orang yang mengkaji atau menganalisis,” kata Imam.
Demi menggenjot kualitas lulusan RSIS, kata Imam, mereka mengundang profesor dari berbagai penjuru dunia. Imam mengatakan, “Waktu saya belajar di sana, wakil rektornya dari Kanada.”
Kini RSIS adalah lembaga pengkajian nomor tiga terbaik di Asia. Urutan pertama dan kedua dimiliki lembaga serupa di Jepang dan Cina. Sementara Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Indonesia ada di urutan keempat.
RSIS didirikan pada 2006. Sebelumnya sekolah pertahanan ini adalah IDSS yang dibentuk pada 1997 dan dikenal dengan riset-risetnya.
IDSS memang lebih mirip pusat riset dan think-tank bagi kebijakan pertahanan dan kebijakan strategis lain untuk pemerintah Singapura. IDSS menempel pada Universitas Teknologi Nanyang dan setelah menjadi RSIS pun tetap melekat pada kampus itu.
Mereka yang bersekolah di RSIS diajarkan membaca situasi politik, kondisi ekonomi, dan memadukannya dengan berbagai informasi intelijen yang ada. “Misalnya, wong ekonominya enggak kuat kok mau perang,” kata Imam.
Belajar pertahanan kok malah menelisik soal ekonomi dan bukannya militer? Ekonom Faisal Basri mengatakan, pertahanan sebuah negara tidak cuma ditunjang oleh militer, tapi juga politik dan ekonomi.
“Kalau ekonomi keropos ya mana bisa membangun militer yang tangguh untuk pertahanan dan tempur?” kata Faisal yang kini Ketua Tim Pemberantasan Mafia Migas. ”Kemandirian ekonomi adalah salah satu kunci ketahanan bangsa.”
Karena Indonesia tak punya mesin pemikir yang kuat seperti RSIS, tak heran sering banyak muncul pandangan yang keliru dan membahayakan negara. Faisal mencontohkan masuknya aliran dana jangka pendek yang memang disukai pelaku ekonomi karena bisa dapat dana besar dengan cepat yang akhirnya pada 1997-1998 menyebabkan krisis moneter.
Padahal, kata Faisal, ada dana jangka panjang yang tidak mudah dibawa lari ke luar Indonesia sehingga tidak merusak stabilitas ekonomi. Misalnya, dana investasi pembukaan pabrik, perkebunan, dan pembelian properti seperti apartemen.
“Sayangnya perspektif yang muncul adalah penanaman modal asing justru yang dimusuhi Indonesia,” ujarnya. “Ini yang saya tak habis pikir.”
Berbagai pemikiran yang keliru itu lantaran Indonesia tak punya lembaga seperti RSIS yang mengajarkan para pengamat, pengambil kebijakan dan anggota parlemen agar melontarkan opini yang tepat. Karena itu, mengikuti jejak RSIS dan juga sekolah pertahanan Universitas Cranfield, Inggris, Indonesia mendirikan Universitas Pertahanan Indonesia.
Brigjen TNI Ricardo Siagian ketika masih memegang Program Manajemen Pertahanan menyatakan universitas itu sengaja tidak hanya ditujukan bagi militer, tapi juga buat sipil. Semua pemikir dan pengambil kebijakan pertahanan, bahkan anggota DPR di komisi pertahanan, kata dia, semestinya punya pendidikan bidang pertahanan.
“Komisi yang membidangi pertahanan sudah semestinya memiliki anggota yang memiliki wawasan yang lengkap tentang pertahanan negara,” kata Ricardo. “Dengan demikian parlemen akan memberikan kontribusi signifikan bila harus membahas persoalan pertahanan dengan pihak eksekutif.”
***
Selengkapnya bisa dibaca di buku:
Judul:
Universitas Pertahanan Indonesia; Menuju Konsep Pertahanan Modern
Pengarang:
Tim Penulis Content Creative Indonesia
Penerbit:
Universitas Pertahanan Indonesia
Tebal:
250 halaman
https://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/mengundang-investor-jokowi-mengobral-atau-memperkuat-indonesia-085800402.html#more-id. 24/12-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar