Rabu, 24 Desember 2014

maqashidussyari'ah

MAQĀS{ID AL-SHARĪ’AH
Solusi Atas Problematika Kontemporer
Oleh : Nurhadi, MS

 

Abstrak


Dinamika kehidupan yang bergerak cepat, meniscayakan perubahan pada segala aspek kehidupan, sekaligus melahirkan persoalan-persoalan fiqh yang kompleksitas kerumitannya menuntut kreatifitas Juris hukum Islam untuk dapat memformulasikan metodologi yang tepat guna menjawab problematika tersebut. Walaupun agaknya tidak lagi dapat disebut metode kontemporer, namun formulasi metode istinbath hukum dalam kerangka maqa>s}id al-shari>‘ah dapat digunakan sebagai solusi metodologis untuk menjawab tantangan dan perubahan zaman.

Keyword: maqa>s}id al-shari>‘ah, mas}lah}ah, ijtiha>d, Kontemporer

 

Pendahuluan


Keunikan manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna terletak pada kemampuannya beresonansi dan berkomunikasi dalam  konteks kehidupannya. Dalam dinamika kehidupan yang berkembang cepat, resonansi dan komunikasi akal pikiran manusia melahirkan banyak perubahan. Kemajuan tekhnologi informasi, komunikasi, transportasi dan kemajuan lainnya tidak hanya memberi dukungan total terhadap pencerahan hidup, tetapi juga banyak menyisakan persoalan. Salah satunya adalah aktifitas aktualisasi hukum Islam.
 Fenomena dinamika ini menjadi tantangan tersendiri bagi hukum islam untuk tampil elegan, lentur dan faktual dalam menjawab problematika yang muncul. David Jhonston mengatakan bahwa karakteristik Hukum Islam harus segera beralih dari metode klasik  kepada metode mas}lah}ah yang mencerahkan.[1] Disamping pendapat orientalis diatas, para pakar hukum Islam juga  menyatakan bahwa hukum Islam klasik yang tertuang dalam kitab-kitab klasik sudah tidak relevan diimplementasikan di kehidupan modern yang telah banyak berubah ini.[2] Sehingga menjadi sebuah keharusan untuk segera melakukan reaktualisasi hukum Islam dalam konteks kekinian.
Urgensi H{arakah al-tajdi>d dalam ranah hukum islam tersebut dilakukan guna reposisi gerakan pemikiran hukum islam yang terkesan mengalami stagnasi secara metodologis.[3] Rekontruksi metodologis ini hanya bisa dilakukan melalui proses ijtiha>d[4],  termasuk didalamnya menjadi sebuah keharusan untuk  melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman klasik yang terkesan menjadi kebenaran yang bersifat final.  Salah satu metode faktual dengan ragam konsep kontemporer yang di wacanakan dalam ranah hukum Islam adalah mekanisme  ijtiha>d yang  harus berorientasi pada kemaslahatan.[5] Kemaslahatan yang berdiri pada akar pokok maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai parameter tujuan penerapan hukum Islam, setidaknya digeneralisasi menjadi  tercapainya maslahat  dunia dan akhirat, sebab dishari’atkannya  Islam tidak lain bertujuan merealisasikan hal tersebut.[6]
Tulisan ini mencoba menjelaskan tentang maqa>s}id al-shari>‘ah dan perannya dalam ijtihad kontemporer. Mengetahui posisinya dalam menanggapi problematika kontemporer sangat penting, apakah ia digunakan sebagai metode ijtihad atau hanya sebatas alat bantu sebagaimana dilakukan ulama konvensional. Diskursus maqa>s}id al-shari>‘ah tidak bisa dilepaskan dari al-mas}lah}ah, namun tulisan ini  membatasi diri untuk tidak melebar kepada perbincangan al-mas}lah}ah.

Sejarah Maqa>s}id al-Shari>‘ah

Sejarah mencatat bahwa istilah maqa>s}id al-shari>‘ah sebagaimana dikatakan Ah}mad Raysūni, digunakan pertama kali oleh  al-H{a>kim. Dia lah yang pertama kali menyuarakan maqa>s}id al-shari>‘ah melalui buku-bukunya, al-S{ala>h wa Maqa>s}iduh, al-Hajj wa Asra>ruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Shari‘ah, ‘Ilal al-‘Ubu>diyyah dan juga bukunya al-Furu>q yang kemudian diadopsi oleh al-Qarafi> menjadi judul buku karangannya. Setelah bentangan pemikiran al-H{a>kim, muncul Abu> Mans}u>r al-Mātūrīdī (w.333H.) dengan karyanya Ma’khadh al-Shar’ yang disusul kemudian oleh Abū Bakr al-Qafāl (w.365H.) dengan bukunya Us}ūl al-Fiqh dan Maha>sin al-Sharī’ah. Setelah al-Qaffal, ada Abū Bakr al-Abh}arī (w.375H.) dan al-Bāqillānī (w.403H.) masing-masing dengan karyanya, diantaranya Mas’alah al-Jawa>b wa al-Dala>’il wa al-‘Illah dan al-Taqrīb wa al-Irsha>d fī Tartīb T{uruq al-Ijtiha>d. Al-Juwaynī (w.478H.) kemudian muncul setelah al-Bāqillānī, lalu ada beberapa nama yang ikut berbicara tentang tema ini diantaranya adalah al-Ghazālī (w.505H.), al-Rāzī (w.606H.), al-Āmidī (w.613H.), al-Qarafī (w.684H.), al-T{ūfī (w.716H.), ibn Taymiyyah dan ibn Qayyim al-Jawziy (w.751H.).[7] Sementara Yūsuf Ah}mad Muh}ammad al-Badawi> membagi sejarah maqa>s}id al-shari>‘ah menjadi dua fase; fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah.[8]
Berbeda dengan Raysūnī dan Yūsuf al-Badawī, H{ammādī al-‘Ubaydī menyatakan bahwa orang yang pertama kali membahas maqa>s}id al-shari>‘ah adalah salah seorang ta>bi’īn bernama Ibrāhim al-Nakha’i> (w.96H). Ia pernah memberikan pernyataan bahwa sesungguhnya hukum-hukum Allah memiliki tujuan, hikmah, dan maslahat untuk manusia untuk mendukung pernyataannya, Ibrahim menggunkan sejumlah ayat yang diantaranya al-Baqarah/2:22.[9]
Setelah Ibrāhim al-Nakha’i> muncul al-Ghazālī. Dalam al-Mustas}fā, al-Ghazālī menawarkan teori al-Kulliyya>t al-Khams al-D{arūriyyah yang menurutnya menjadi dasar dari maqa>s}id al-shari>‘ah. Ia juga memberikan perhatian khusus pada maslahat dalam pembahasan tersendiri di bawah judul al-istis}la>h. Setelah al-Ghazālī, ada ‘Izz al-Dīn ibn ‘Abd al-Salām yang sejalan dengan al-Ghazālī, kemudian membagi hukum dari sisi maslahat menjadi dua bagian; ibadah dan muamalah. Hukum ibadah menurutnya, adalah hukum-hukum ta’abbudiy yang wajib diamalkan sebagaimana yang digariskan tanpa memperhatikan alasan-alasan rasional yang terkandung di dalamnya. Sementara hukum-hukum muamalah boleh jadi ditemukan alasan-alasan rasionalnya jika akal mampu menemukannya.[10] Pernyataan H{ammādī al-‘Ubaydī yang memunculkan nama al-Ghazālī sesudah Ibrāhim al-Nakha’I terasa sangat janggal, mengingat jarak waktu keduanya yang begitu jauh.
Najm al-Dīn al-T{ūfī kemudian datang setelah ‘Izz al-Dīn. Ia merumuskan maqa>s}id al-shari>‘ah dengan istilah yang ia sebut dengan “al-mas}a>lih} al-Shar’iyyah.”[11] Menurut ‘Abd al-Wahhāb Khalāf, istilah yang digunakan oleh al-T{ūfī berbeda dengan “al-mas}a>lih al-mursalah-nya Mālik. Mas}a>lih}nya mazhab Malikiyyah digunakan sebagai sumber pengambilan hukum setelah al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas, sementara al-Tūfī meletakkannya justru di atas keempat sumber tersebut.[12]
Baru kemudian al-Shāt}ibī yang secara khusus menulis tentang maqa>s}id al-shari>‘ah dalam juz II dari kitab al-Muwa>faqa>tnya. Kelebihan al-Shāt}ibī dengan pendahulunya tentang maqa>s}id adalah pembahasannya yang luas dan mendalam. Al-Shāt}ibi> juga mendasari pembahasan maqa>s}id dari al-Qur’an yang merupakan sumber pertama. Ia pun memperluas cakupan bahasan maqa>s}id dengan tema-tema baru yang belum pernah dilakukan oleh para pendahulunya. Tema-tema tersebut diantaranya adalah maslahat dan batasal-batasannya, teori qas}d (tujuan) dalam perbuatan, niat dalam hukum dan maqa>s}id, maqa>s}id dan akal, maqa>s}id dan ijtihad, serta tujuan umum dari maqa>s}id.[13]
Rumusan al-Shāt}ibi> dianggap lebih sistematis dan lengkap dibandingkan rumusan-rumusan para ulama sebelumnya. Rumusannya kemudian telah mengilhami setidaknya beberapa ulama berikutnya seperti Muh}ammad ‘Abduh, Muh}ammad Rashīd Rid}ā, Abdullāh Darrāz, Muh}ammad al-T{āhir ibn ‘Āshūr dan ‘Allāl al-Fāsī.[14] ‘Abduh misalnya, adalah orang pertama yang  mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya al-Shāt}ibi terutama al-Muwa>faqa>t.[15] Demikan pula dengan muridnya, Rashīd Rid}ā yang tidak hanya terpengaruh oleh maqa>s}id al-Shāt}ibi, namun juga terpengaruh dengan al-I’tisha>mnya demi menghidupkan kembali harakah salafiyyah yang sejak lama diusung oleh Rid}ā.[16] Hal serupa juga terjadi pada ibn ‘Āshūr. Ulama asal Tunisia ini telah menulis sebuah buku berjudul Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Isla>miyyah yang jika ditelaah secara utuh nyaris sama dengan al-Muwa>faqa>tnya al-Shāt}ibi.

 

Pengertian, Tujuan, dan Pembagian Maqa>s}id


Hammādī berpendapat bahwa yang dimaksud dengan maqa>s}id adalah hikmah yang dituju oleh pemberi syariat dalam seluruh syariat. Ia mendasari pendapatnya bahwa Allah pasti memiliki “tujuan” tertentu dalam setiap penciptaannya (al-Anbiyā’/21:61).[17] Maqa>s}id al-sharī’ah yang dimaksud disini adalah maqa>s}id Allah yang membuat syariat, bukan tujuan-tujuan manusia.[18] Al-Syāthibī menegaskan bahwa tujuan utama dari perintah syariat adalah untuk mengambil maslahat, baik dunia, akhirat, atau keduanya. Sedangkan tujuan dasar dari larangan adalah mutlak untuk menolak mafsadah dan bahaya. [19]
Senada dengan al-Shāt}ibī, ‘Abdullāh Darrāz dalam pendahuluan al-Muwa>faqa>t karya al-Shāt}ibī mengatakan bahwa maqa>s}id pada dasarnya bertujuan untuk menjaga keteraturan alam dengan cara mewujudkan keberlangsungan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan (jalb al-mas}a>lih} wa dar’ al-mafa>sid).[20] Kemaslahatan ini lah yang kemudian dijadikan sebagai dasar penetapan maqa>s}id.
Maqa>s}id atau maslahat dibagi menjadi 3; al-mas}a>lih} al-d}aru>riyyah, al-mas}a>lih} al-h}a>jiyyah, dan al-mas}a>lih} al-tah}sīniyyah.[21] Maslahat yang pertama atau al-mas}a>lih} al-d}aru>riyyah adalah menjaga agama (hifz al-dīn), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-māl). Kelima hal ini kemudian oleh ulama disebut dengan al-kulliyya>t al-khams.[22] Maqa>s}id atau al- al-mas}a>lih} al-d}aru>riyyah ini adalah sesuatu yang mesti adanya demi keberlangsungan hidup manusia. Al-Shāt}ibī berpendapat bahwa tujuan awal dari syariat adalah menegakkan kelima dasar ini dan menjaga keberlangsunganya.[23]
Hirarki kelima d}arūriyya>t ini bersifat ijtiha>dī bukan naqlī, artinya ia disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra. Dalam merangkai kelimanya, al-Shāt}ibī sendiri terlihat tidak konsisten. Meskipun demikian, ia selalu menempatkan dīn dan nafs diatas tiga yang lainnya (‘aql, nasl, ma>l).[24] Sementara ‘Abdullāh Darrāz cenderung untuk mendukung urutan komposisi yang dilakukan oleh al-Ghazālī yaitu; al-dīn, al-nafs, al-‘aql, al-nasl dan al-ma>l.[25]
Maqa>s}id al-d}arūriyyah al-khamsah ini dianggap sebagai us}ūl al-dīn (pokok-pokok agama). Posisinya berada setingkat dibawah us}ūl al-‘aqīdah, dan oleh karenanya seluruh rasul diutus untuk kelima pokok ini. Bahkan al-Shāt}ibī menegaskan bahwa kelimanya adalah us}ūl al-dīn, qawa>’id al-sharīah, dan kulliya>t al-millah yang jika ada kerusakan menimpa sebagiannya maka dapat mengakibatkan kehancuran agama seluruhnya.[26] Oleh karenanya, al-Būt}ī menegaskan bahwa kelimanya dapat ditemukan pada seluruh hukum syariat, baik itu akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaq. Rukun iman dan islam disyariatkan untuk menjaga agama (hifz\ al-dīn), hukum qishāsh untuk menjaga jiwa (hifz\ al-nafs), hukum larangan minum yang memabukkan untuk menjaga akal (hifz\ al-‘aql), hukum keluarga untuk menjaga keturunan (hifz\ al-nasl), dan hukum pencurian untuk menjaga harta (hifz\ al-ma>l).[27]
Senada dengan al-Būt}ī, bahkan lebih luas ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa menjaga kelimanya berarti menjaga maslahat individu-individu dan lebih utamanya menjaga kemaslahatan umat pada umumnya. Menjaga agama misalnya, berarti menjaga agama setiap orang muslim dari segala hal yang dapat merusak akidah dan amal perbuatannya. Sedangkan menjaga agama seluruh umat berarti menjaganya dari segala hal yang dapat merusak sendi-sendi agama. Menjaga jiwa berarti menjaga hilangnya nyawa baik individu maupun umat, dan menjaga jiwa tidak lah sekedar dengan qis}a>s} melainkan menjaga hilangnya nyawa sebelum terjadi seperti menghindar dari wabah penyakit sebagaimana tindakan antisipasi yang pernah dilakukan oleh ‘Umar ibn Khaththāb yang melarang pasukannya masuk Syam karena ada wabah penyakit di wilayah tersebut.[28]
Selanjutnya, -masih menurut ibn ‘Āshūr- menjaga akal berarti menjaga akal seseorang agar tidak kemasukan hal-hal yang dapat menyebabkan hilangnya akal. Karena hilangnya akal seseorang dapat menyebabkan kehancuran, apalagi hal tersebut menimpa sekelompok orang dalam jumlah besar (umat). Inilah yang menjadi tujuan dasar untuk mencegah setiap individu dari mabuk dan mencegah umat dari peredaran minuman keras, narkotika, dan obal-obat terlarang. Adapun menjaga harta berarti menjaga harta umat dari kehilangan, atau berpindah tangan tanpa ganti. [29] Sementara menjaga keturunan berarti menjaga dari ketiadaan keturunan alias adanya keharusan untuk melestarikan keturunan. Menjaga nasab dilakukan melalui nikah dan larangan zina misalnya.[30]
Kelima maslahat utama ini menurut al-Shāt}ibī, merupakan pokok dakwah (us}ūl al-da’wah) di Mekah. Sementara hukum syariat yang turun di Madinah adalah penjelasan hukum-hukum cabang yang merupakan derivasi dari kelima maslahat tersebut sekaligus menjadi penegas dan penetap untuk pelaksanaan hukum sesuai tuntutan dan bertujuan menjaga kelimanya dari kehancuran. Oleh karenanya setiap perintah sesungguhnya adalah praktek penetapan kelima maslahat tersebut, dan setiap larangan pada hakikatnya bertujuan untuk menjaga kelimanya dari kerusakan.[31] Karenanya segala sesuatu yang mewujudkan kelima unsur tersebut adalah maslahat, dan apa pun yang merusaknya disebut masfsadah.
Mas}lah}ah yang kedua adalah al-mas}a>lih} al-h}a>jiyyah yaitu sesuatu yang harus ada untuk memenuhi kebutuhan. Sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan mashaqah dan kesempitan. Seperti hukum jual beli, pinjam meminjam, nikah, dan bentuk-bentuk muamalah lainnya.[32] Al-mas}a>lih} al-h}a>jiyyah ini berada setingkat dibawah al-mas}a>lih} al-d}arūriyyah karena ia merupakan turunan dari al-mas}a>lih} al-d}arūriyyah dan berfungsi untuk mewujudkan tujual-tujuan al-mas}a>lih} al-d}arūriyyah. Hukum nikah misalnya berfungsi untuk mewujudkan hifz\ al-nasl.[33]
Al-mas}a>lih} al-h}a>jiyyah juga mencakup keringanan dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Allah. Hal yang demikian bertujuan agar mukallaf tidak mendapatkan kesulitan dalam menjalankan segala hal yang dibebankan kepadanya. Oleh karenanya, seseorang diperbolehkan untuk tayammum ketika tidak ada air, diperbolehkan berbuka puasa Ramadlān dan meringkas shalat ketika bepergian agar dapat tetap menjaga agama sesuai kemampuan yang ada.[34]
Maslahat yang ketiga yaitu Al-mas}a>lih} al-tah}sīniyyah adalah sesuatu yang sebaiknya ada demi sesuainya dengan akhlak yang baik atau adat istiadat yang berlaku. Jika ia tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga tidak akan menimbulkan mashaqqah dalam melaksanakannya. Hanya saja seseorang dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran tatakrama dan kesopanan.[35] Sebagai contoh misalnya, larangan untuk boros, pelit, kesamaan dalam memilih pasangan hidup (kafa>’ah), etika makan, menutup aurat, dan segala hal yang menyangkut etika, moral dan akhlaq yang mulia.[36]
Pembagian selanjutnya dilakukan al-Shāt}ibī yang mengatakan bahwa dalam masing-masing dari ketiga maqa>s}id al-sharī’ah (d}arūriyyāt, h}ājiyāt, dan tah}sīniyya>t) tersebut, terdapat dua macam maqa>s}id; yaitu maqa>s}id as}liyyah (asli/utama/pokok) dan maqa>s}id ta>bi’ah (pengikut) atau mukammilah (penyempurna). Tujuan utama dari pernikahan misalnya, adalah menjaga pelestarian keturunan dan meramaikan dunia. Sementara tujuan penyempurnanya adalah memperoleh kebahagiaan dan kasih sayang dengan berpasangan dan keturunan. Oleh karenanya peran maqa>s}id mukammilah adalah untuk menetapkan maksud yang utama. [37]

 

Cara Mengetahui Maqa>s}id


               Sebelum dikaji tentang mekanisme metodis untuk mengetahui  maqa>s}id al-sharī’ah, penting diketahui  pemikiran  al-Shāt}ibī tentang Maqa>s}id, bahwa hukum terbagi menjadi dua; yang dapat dicerna oleh akal dan yang tidak dapat dicerna akal (ta’abbudiy). Hukum-hukum yang dapat dicerna oleh akal adalah hukum-hukum yang dikaitkan dengan maqa>s}id al-sharī’ah. Jika illatnya (alasan) dapat ditemukan, maka maslahat yang ditemukan itulah yang menjadi tujuan berlakunya sebuah hukum. Meskipun demikian, hukum-hukum yang dapat dicerna akal tujuannya tidak dapat serta merta ditemukan maksud dan tujuan yang sesungguhnya. Misalnya mengapa hukuman bagi pezina adalah dirajam seratus kali sampai mati, mengapa tidak menggunakan hukuman mati yang lain?[38]

Ibn ‘Āshūr menyimpulkan, bahwa maqa>s}id al-sharī’ah dapat diketahui melalui tiga sisi. Pertama, dari teks sebuah perintah dan larangan itu sendiri. Kedua, melalui ;illat yang terkandung di dalam sebuah perintah dan larangan. Ketiga, menyerahkan sepenuhnya maqa>s}id al-sharī’ah kepada Allah karena tidak ditemukan dari teks ataupun ‘illatnya.[39]

 

Maqa>s}id al-Sharī’ah: Posisinya dalam Ijtihad


Mengingat betapa pentingnya mengetahui maqa>s}id yang dapat menjelaskan hikmah, tujuan atau alasan yang sesungguhnya dari sebuah hukum, wajar kiranya jika ulama menganggap maqa>s}id sebagai intinya fiqh. Oleh karenanya pengetahuan terhadap maqa>s}id menjadi sebuah keharusan ketimbang mengetahui kaidah ushul fiqh. Mengetahui maqa>s}id sesungguhnya adalah memahami agama dan mengetahui aturan syariat.[40]
Al-Shāt}ibī lah yang kemudian dianggap sebagai orang pertama yang menyuarakan pentingnya berpegangan pada maqa>s}id al-sharī’ah dalam berijtihad.  Ia bahkan berpendapat bahwa dalam berijtihad, mengetahui maqa>s}id al-sharī’ah lebih penting ketimbang menguasai bahasa Arab bagi orang yang ingin berijtihad dari teks Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa orang yang akan berijtihad. Karena ijtihad menurutnya berdasarkan maqa>s}id al-sharī’ah dan maqa>s}id dapat difahami oleh siapapun.[41]
Pentingnya maqa>s}id al-sharī’ah dalam berijtihad dibuktikan salah satunya melalui pendapatnya tentang nikah mut’ah dan nikah tahlīl. Menurutnya, maqa>s}id pernikahan adalah ketersambungan dan kasih sayang dalam kelanggengan, sedangkan kedua jenis nikah tersebut bersifat temporer atau sementara. Memahami maqa>s}id al-sharī’ah berarti membuka pintu cakrawala ijtihad, karena ia adalah temuan syariat yang sesungguhnya. Dengan maqa>s}id al-sharī’ah dapat diketahui apa yang termasuk taat, maksiat, rukun, dan sunah.[42]
Meskipun maqa>s}id al-sharī’ah dapat dipahami oleh setiap orang, dan posisinya sungguhlah penting dalam berijtihad. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika seseorang ingin berijtihad dengan menggunakan maqa>s}id al-sharī’ah. Setidaknya, ada tiga langkah yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid; pertama, mencari maqa>s}id di dalam perintah atau larangan itu sendiri. Jika sebuah perintah  menuntut adanya sebuah perbuatan, maka perbuatan yang diperintahkan itulah maqa>s}idnya, dan jika sebuah larangan menuntut adanya meninggalkan perbuatan (al-tark), maka yang demikianlah yang menjadi maqa>s}idnya. Mujtahid tidak perlu lagi mencari maqa>s}id al-sharī’ah dibalik perbuatan tersebut, karena maqa>s}id al-sharī’ahnya telah ditemukan secara jelas dari perintah dan larangan tersebut. Dan tujuan utamanya adalah melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Model maqa>s}id seperti ini dapat ditemukan pada hukum yang bersifat ta’abbudiy.[43]
Kedua, berpegangan pada ‘illat hukum. Hal ini dilakukan apabila perintah dan larangannya tidak jelas, maka mujtahid berpegangan pada ‘illat hukum dengan cara mengajukan pertanyaal-pertanyaan mengenai alasal-alasan yang mendasari adanya sebuah hukum. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan, mengapa Allah memerintahkan untuk melakukan perbuatan ini atau melarang perbuatan ini? Jika kemudian ‘illat hukumnya sudah ditemukan, seperti mengetahui bahwa nikah adalah untuk pelestarian keturunan, jual beli adalah untuk mengambil manfaat dari akad jual beli yang telah dilakukan, maka hal tersebut dapat diqiaskan. Karena sesungguhnya ‘illat adalah maqāshid. Satu contoh misalnya, sabda Rasulullah tentang larangan memtuskan sebuah perkara dalam keadaan marah. ‘Illat larangan memutuskan adalah marah, dan maksud sesungguhnya adalah kacaunya pikiran. Oleh karenanya, hal-hal yang mengganggu pikiran dapat disamakan dengan marah, seperti lapar, terlalu kenyang, dan dahaga.[44]
Ketiga, berhenti berijtihad (tawaqquf) sampai benar-benar jelas maqa>s}id al-sharī’ahnya. Jika seorang mujtahid tidak dapat menemukan maqa>s}id al-sharī’ahnya baik di dalam hukum itu sendiri (langkah yang pertama) ataupun dari ‘illatnya, maka ia harus berheti dan tidak melanjutkan ijtihadnya sampai benar-benar jelas maqa>s}id al-sharī’ah nya.[45] Satu contoh misalnya pengharaman makan babi yang sampai hari ini belum ditemukan maqa>s}id al-sharī’ahnya sehingga dianggap ta’abbudiy.
Oleh karenanya, optimalisasi penggalian maqa>s}id al-sharī’ah dalam objek ijtihad memang sangat diperlukan, namun demikian tidak begitu saja menegasikan metode-metode yang sudah baku dalam berijtihad sebagaimana yang dilakukan oleh para mujtahid yang terdahulu. Disamping itu, ijtihad masa kini tidak hanya dilakukan secara individu dalam sebuah komunitas ilmu pengetahuan (baca: fiqh) saja. Ijtihad harus dilakukan dengan melibatkan -secara langsung atau tidak- para ahli di pelbagai bidang pengetahuan yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas.

 

Maqa>s}id dalam Masalah Kontemporer


  1. Perkawinan Beda Agama
Problematika perkawinan beda agama ini akan dikaji dalam perspektif hukum Islam dengan metode maqa>s}id al-shari>’ah. Perkawinan semacam ini diatur dalam al-Qur’an dengan term ahl al-kita>b dan mushri>k. dua hal ini berbeda dalam pengertiannya, ahl al-kitab diartikan sebagai orang-orang yang percaya pada salah seorang nabi dan salah satu kitab samawi. Sedang mushri>k adalah orang yang tidak saja mempersekutukan Allah melainkan juga tidak percaya pada Nabi dan kitab-kitab samawi.[46] Ayat yang berkaitan dengan ahl al-Kita>b adalah surat al-Ma’idah (5) : 5[47] dan al-Baqarah (2): 221 tentang orang mushrik, yang kemudian dijadikan sebagai dasar perkawinan beda agama. Berdasarkan kedua ayat tersebut maka perkawinan beda agama dibedakan menjadi dua; pertama perkawinan antara orang muslim dengan perempuan ahl al-kitab diperbolehkan, sedangkan muslimah dengan laki-laki ahl al-kitab tidak diperbolehkan. Kedua perkawinan seorang muslim dan atau muslimah dengan mushrik tidak diperbolehkan.
Dengan metode maqa>s}id al-Shari>’ah, perkawinan beda agama baik dari ahl al-kita>b maupun mushrik, baik dilakukan oleh muslim maupun muslimah tidak diperbolehkan. Di awal sudah dijelaskan bahwa prinsip maqa>s}id al-shari>’ah didasarkan atas lima hal, yakni demi menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dan kelimanya dapat terealisasi dengan baik apabila sebuah intsitusi terkecil yakni keluarga dibina dengan baik, termasuk dalam hal ini adalah agama. Kesimpulan ini menolak pendapat Ahmad Ali dengan mas}lah}ah maqsu>dahnya yang menyatakan bahwa PBA boleh dilakukan berdasar atas prinsip kesetaraan, kebebasan, dan kemaslahatan.[48]  Juga agak berbeda dengan kesimpulan fuqaha klasik; mengenai keabsahan perkawinan seorang muslim dengan perempuan ahl al-kita>b dengan syarat memberikan mahar sebagai kewajiban, tidak bermaksud untuk berzina, serta bukan dijadikan gundik.[49]
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, perkawinan beda agama ini tidak secara tegas dinyatakan. Hanya saja dalam KHI pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan adalah suatu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah. Kemudian pada pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan kehidupan yang tenteram, bahagia, dan penuh kasih sayang. Selanjutnya pada pasal 4 bahwa perkawinan baru dianggap sah apabila sesuai dengan hukum Islam, dan hal ini sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian dalam pasal 44 KHI secara tegas dinyatakan bahwa seorang perempuan tidak sah melakukan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam. Lebih dari itu pada Bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan pada pasal 14 mengenai rukun perkawinan, baik saksi maupun wali salah satu syaratnya harus beragama Islam. Dari beberapa pasal yang dikemukakan di atas, memang tidak secara tegas dinyatakan boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan perkawinan dengan perempuan non-muslimah. Namun dapat ditarik kesimpulan bahwa hal tersebut juga berlaku pada laki-laki, sehingga laki-laki juga tidak boleh melakukan perkawinan dengan perempuan non-muslimah. Hal ini dilakukan dengan metode maqa>s}id al-shari>’ah yakni selain menjaga agama, juga menjaga keturunan.
  1. Inseminasi Buatan atau Bayi Tabung
Walaupun permasalahan bayi tabung agaknya tidak lagi menjadi masalah fenomena kekinian, karena telah banyak praktik ini dilakukan, namun sebagai bagian dari permasalahan yang pernah menjadi polemik  di tengah-tengah masyarakat Islam kontemporer dan untuk membuktikan abilitas hukum islam yang dinamis dalam menjawab permasalahan hukum, maka Kajian tentang Inseminasi buatan ini dalam perspektif maqa>s}id al-shari>’ah masih menarik untuk dijadikan sebagai contoh aplikasi maqa>s}id al-shari>’ah dalam konteks kekinian.
            Istilah inseminasi berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang berarti pembuahan atau penghamilan secara tekhnologi. Dalam khasanah kedokteran islam, inseminasi sering dimaknai dengan “Talqiihan” yang berarti mempertemukan atau memadukan. Dari makna ini dapat dipahami bahwa terdapat dua masam inseminasi, yaitu inseminasi Alamiah atau Natural insemination (Talqiih ath-Thobi’i) dengan jalan hubungan badan antara dua jenis makhluk secara biologis. Dan inseminasi buatan atau Artificial Insemination (Talqiih ash-Shina’i), pada masyarakat arab proses ini sering digunakan untuk penyerbukan pohon kurma. Bayi Tabung masuk kategori Artificial insemination yang dikenal dalam mayarakat Arab dengan istilah “Thiflu al-Anabiib” yang berarti jabang bayi yang dibiakan dalam cawan, setelah terjadi pembuahan kemudian disuntikkan kedalam rahim seorang Ibu.[50]
            Tekhnologi ini muncul sebagai jawaban terhadap problematika sulitnya kehamilan pada pasangan suami isteri yang disebabkan oleh adanya kelainan pada alat reproduksi, sekalipun memiliki tingkat kesuburan ovum atau sperma yang baik. Dalam aplikasinya penerapan tekhnologi ini sering dilakukan pada dua kondisi: Pertama, Inseminasi Heterolog atau Artificial Insemination Donor (AID), yaitu inseminasi buatan yang selnya bukan berasal dari pasangan suami istri. Dan kedua, Inseminasi Homolog atau Artificial Insemination Husband (AIH), yaitu inseminasi buatan yang berasal dari sel suami istri yang sah.
            Dalam sudut pandang maqa>s}id al-shari>’ah, memelihara keturunan merupakan bagian dari kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh manusia. Tetapi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut tidak boleh berbenturan dengan kebutuhan lain yang memiliki tingkat lebih tinggi, seperti memelihara agama atau memelihara aqal. Dari dua praktik inseminasi yang umum dilakukan, maka dengan argumentasi Kondisi darurat dan untuk memelihara keturunan, maka inseminasi Homolog dihukumkan Mubah (Diperbolehkan). Tetapi Inseminasi Heterolog, dengan pertimbangan dimungkinkan terjadinya kekacauan keturunan dalam hal garis Nasab dan hak-hak dalam pewarisan serta masalah yang bersifat perdata lainya, sesuai dengan Kaidah “Kesulitan tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan kesulitan baru”, disamping masuk kategori perbuatan Zina, maka inseminasi jenis ini diharamkan.

  1. Pencatatan Perkawinan
Untuk menyelamatkan keturunan, Islam, misalnya, mensyariatkan perkawinan dan melarang perzinahan.  Untuk  melindungi  keturunan,  sebagai  tujuan d}aru>ri>  melalui  perkawinan,  dibutuhkan (terjemahan harfiah kata  h}ajat ) kelengkapan, misalnya, dokumentasi (bukti tertulis).  Tanpa KUA, sebagai  pihak yang berwenang mendokomentasi, perkawinan bisa saja dilakukan. Namun demikian, kehadiran  KUA,  dengan  berbagai  perangkat  pelengkapnya,  justru  akan  lebih  menjamin  hak  dan kewajiban  para  pihak,  khususnya  ketika  terjadi  sengketa.  Akta  nikah,  yang  akan  dijadikan  sebagai bukti tertulis, bisa  diperindah  (terjemahan harfiah kata tah}si>niyyat) sesuai  dengan  minat  (selera), bakat dan kemampuan setempat. 
Persoalannya tidak hanya berhenti di sini, status sesuatu yang semula hanya kebutuhan  dapat ditingkatkan  menjadi  keharusan (Al-h}a>jah tanzil manzilah al-d}aru>rah)  sesuai dengan kaidah ; perintah untuk menjalankan sesuatu   –yaitu, menikah di Indonesia- sama dengan perintah melaksanakan sarana-sarananya , yaitu harus memiliki akta nikah: harus menikah di hadapan pejabat KUA. Di sisi lain, al-h}a>kim (pemegang  otoritas)  diberi  kewenangan  oleh  agama  untuk  mewajibkan  barang mubah,  yaitu  menulis  kata   menikah   di  KTP,  karena  jika  tidak  diwajibkan  akan  menimbulkan mafsadat:  banyak  perempuan  menjadi  korban  penipuan.  Dengan  dilengkapi  prinsip sadd al-dhari>’ah  (priventive  action) ini, maka semakin  lengkaplah  proses pencapaian maqa>s}id d}aru>riah  perlindungan anak melalui perkawinan.
Agar  dapat  berlaku  mengikat  umat  Islam Indonesia,  maka   hukum   ini  harus  diputuskan melalui  ijtiha>d  jama>’i>  (ijmak;  konsensus)  –dalam  pengertian   legislasi  baik  berdasarkan  Qur’an, Sunnah atau ra’yi melalui konsultasi dengan perintah Negara- bukan  ijtiha>d  fardi>Ijtih}ad  jama>’i>  dipilih karena ijtiha>d fardi> akan melahirkan silang pendapat. Legitimasi ijtiha>d fardi> sangat rendah. Di samping itu, ijtiha>d jama’i> akan menawarkan lebih banyak pilihan kualitatif karena pandangan kolektif lebih baik daripada pandangan individual.  Legitimasinya  pun  lebih  kuat.  Demi  tujuan  ijtihad  jama’i,  Prof.  Hasbi  Ash  Shiddieqy menyarankan agar pendukung fikih Indonesia mendirikan lembaga ahl al-h}all wa al-‘aqd. Lembaga ini  ditopang  oleh  dua  sub-lembaga.  Pertama, lembaga politik (hay’at al-siya>sah), yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang dipilih rakyat, dari rakyat  dan untuk  rakyat, tetapi  harus menguasai bidang yang mereka wakili. Kedua, lembaga ahl al-ijtiha>d (kaum  mujtahid) dan ahl  al-ikhtis}as} (kaum  spesialis) yang juga merupakan  perwakilan  rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sampai di sini fikih Indonesia sebetulnya masih belum membumi, sehingga perlu di Indonesiakan.
Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa hay’at al-tashri>’iyyah itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mujtahid-mujtahid yang diambil dari perwakilan organisasi Islam semisal Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al-Irsyad. Di sisi lain, ahl al-ikhts}as} versi Hasbi dapat diterjemahkan  menjadi  Ikatan  Cendekiawan  Muslim  se-Indonesia  (ICMI).  Lebih  lanjut, Hay’at  al-Siyasah  versi  Hasbi dapat diterjemahkan menjadi Dewan Perwakilan Rakyat  (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ini dilakukan dengan alasan ‘urf dalam pengertian yang lebih luas: kedua lembaga tersebut merupakan wadah bagi bangsa Indonesia melahirkan undang-undang. Umat Islam dapat memanfaatkan lembaga ini untuk tujuan yang sama demi terundangkannya nila-nilai hukum  Islam yang pelaksanaannya membutuhkan legitimasi kekuasaan,  dengan tidak perlu untuk bersikap eksesif pada  bidang-bidang yang tidak membutuhkan legitimasi kekuasaan. Jika semua anggota ahl al-h}all wa al-‘aqd sepakat untuk  memberlakukan Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama  Bidang Perkawinan, maka undang-undang ini merupakan manisfestasi fikih Indonesia.  Ia berlaku mengikat bagi umat Islam Indonesia. Statusnya akan sama dengan,  misalnya, Undang-Undang No. 1/1974 tentang perkawinan, Undang-Undang No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden No. 1/1991  tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bahkan, undang-undang yang  tidak berlabelkan Islam-pun mestinya juga merupakan manifestasi Fiqh Indonesia semisal Undang-Undang 1945 dan UU  No. 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, selama undang-undang ini terbukti bermaksud membela maqa>s}id shari>’ah tidak menghalalkan barang haram dan tidak mengharamkan barang halal, plus kemaslahatannya bersifat hakiki, nyata dan untuk umum. Misalnya, pasal 150 ayat 1 Undang-Undang Lalu  Lintas berusaha melindungi lingkungan hidup dari pencemaran, padahal maqa>s}id shari>’ah tingkat pertama (d}aru>ri>) bermaksud melindungi jiwa, harta,  agama,  keturunan dan  kehormatan,  yang  tidak  dapat  dicapai  dengan  lingkungan  yang  tidak sehat. Jadi di sini berlaku rumusan bahwa melindungi lingkungan wajib demi melindungi jiwa (ma> la> yatimm  al-wajib  illa  bih  fahuwa  wajib).  Jika  lingkungan  ini  tidak  diselamatkan,  maka  akan  menelan korban: kekayaan menurun, keturunan terancam, yang juga akan berakibat mempersulit pelaksanaan ajaran agama. Di sini terlihat bahwa pasal ini tidak menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Benar-benar sejalan dengan maqa>s}id shari>’ah yang karena diputuskan oleh Ahl al-Hall wa al-‘Aqd maka mengikat umat Islam Indonesia. Perwujudan maqa>s}id shari>’ah ini telah  didahului dengan upaya perlindungan terhadap akal dan harta, seperti terlihat dalam, misalnya, pasal 27 (1) pasal 31 (1) Undang-Undang Dasar.
Undang-undang Lalu Lintas ini dapat ditinjau kembali oleh ijmak (konsensus)  lain dari lembaga yang sama jika lembaga tesebut memang menghendaki demikian dikarenakan alasal-alasan tertentu. Namun demikian, jika anggota ahl al-hall wa al-‘aqd tidak sepakat untuk menetapkan suatu undang-undang, maka undang-undang ini dapat ditetapkan oleh MUI sebagai fatwa atau MUI dapat mengundur pelaksanaan rancangan undang-undang itu kemudian berusaha untuk mengajukannya kembali ke DPR/MPR. Jika adat daerah tertentu tidak dapat diberlakukan pada skala nasional, maka diupayakan agar berlaku pada tingkat propinsi atau kabupaten bersangkutan. Jika penafsiran tentang konsep ijtiha>d jama>’i> Hasbi ini dilaksanakan, maka otomatis akan melumpuhkan teori resepsi. Kerjasama  tentu  lebih  baik. Jadi, pengundangan Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan akan melengkapi dan memperkuat sistem hukum nasional. 


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. Reformulasi al-Mas}lah}ah: Relevansi dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer, Tesis Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Āshūr, Muh}ammad al-T{āhir ibn. Maqa>s}id al-Sharī’ah al-Isla>miyyah. Mesir: Dār as-Salām li al-T{ibā’ah wa al-Nashr wa al-Tawzī’ wa al-Tarjamah, 2005.
Badawy, Yūsuf Ah}mad Muh}ammad al-. Maqa>s}id al-Sharī’ah ‘ind ibn Taymiyyah. Yordān: Dār al-Nafāis, 2000.
Būt}ī, Muhammad Sa’īd Ramad}ān al-. D{awa>bit} al-Mas}lah}ah fī al-Sharī’ah al-Isla>miyyah (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1977.
Ghazālī, Abū Hāmid al-. al-Mustas}fa. Beirūt: Dār al-Fikr, 1997.
H{anafi>, H{asan. Min al-Nas} ila al-Waqi’. Kairo: Markaz al-Kita>b al-Nashr, 2005.
Hamka, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1983.
Jhonston, David. “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Us}u>l al-Fiqh” dalam Islamic Law and Society. Leiden: KoninklijkeBrill NV, 2004.
Kamal, Zainun. “Menafsir Kembali Perkawinan antar Umat Beragama,” dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004.
Kamali>, M. Hashim. Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society, 1991.
Khalāf, ‘Abd al-Wahhāb. Mas}a>dir al-Tashrī’ al-Isla>mī fī ma> la> Nas}s}a fī ha>. Kairo: Ma’had al-Dirāsāt al-‘Arabiyyah al-‘Āliyah, 1955.
Khalla>f, ‘Abd al-Wahha>b. ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Qalam, 1978.
Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Mara>ghi>, Ah}mad Mus}t}afa> al-. Tafsi>r al-Mara>ghi>. Beirut: Da>r al-Fikr, 2006.
Muzanni, Saiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1995.
Ra>zi>, Fakhr al-Di>n al-. al-Mah}s}u>l fi ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1992.
Raysūnī, Ahmad. Nadhariyya>t al-Maqa>s}id ‘ind al-Ima>m al-Sha>t}ibī. Beirūt: al-Muassasah al-Jamī’iyyah li al-Dirāsāt wa al-Nashr wa al-Tauzī’, 1992
Rid}a>, Rashid. Tafsi>r al-Mana>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
S{abuni, Muhammad ‘Ali al-. Tafsi>r Ayat al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999.
Sala>m, Abu> Muh}ammad ‘Izz al-Di>n ‘Abd al-. Qawa>’id al-Ah}ka>m fi Mas}a>lih} al-Ana>m. Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, 1990.
Sayis, Ali al-. Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m. Mesir: Mu’assasa>t al-Mukhtasr, 2001.
Shāt}ibī, Abū Ishāq al-. Al-Muwa>faqa>t fī Us}ūl al-Sharī’ah. Mesir: Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, t.t.
Shāt}ibi>, Abū Ishāq al-. Kita>b al-I’tis}a>m. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1982.
Shauka>ni>, Al-. Irsha>d al-Fuh}u>l. Beirut: Da>r al-Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi>, t.th.
Shiddiqiey, Hasbi Al-. Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Riski Putra, 2001.
Suryadilaga, M. Alfatih. “ Tujuan Ditunkannya Shari’ah Islam”, dalam Syamsul Bahri, dkk, Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008.  
Ubaydī, H{ammādī al-.Al-Sha>t}ibī wa Maqa>s}id al-Sharī’ah. Mans}ūrāt Kulliyyat al-Da’wah al-Islāmiyyah wa Lajnah al-Huffādh ‘alā al-Turāth al-Islāmī, 1992.
Zahrah, Muh}ammad Abu>. Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Fikr, t.th.
Zaid, Mus}t}afa>. al-Maslah}ah fi al-Tashri’ al-Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T{u>fi>. Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1964.




[1] David Jhonston, “A Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Us}u>l al-Fiqh” dalam Islamic Law and Society (Leiden: KoninklijkeBrill NV, 2004), 255. Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 257.
[2] Di dalam al-Qur’an sendiri hanya terdapat sekitar 500 ayat yang sifatnya mutlak, absolut, kekal dan tidak dapat berubah. Dan selebihnya merupakan ayat yang mengatur hukum secara global dan universal sehingga dengan sifatnya yang global tersebut mampu menjawab semua tantangan. Artinya interpretasi selalu berubah seiring perubahan zaman dengan tujuan fleksibelitas hukum Islam dapat terus eksis. Lihat; Saiful Muzanni, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1995), 33. M. Alfatih Suryadilaga, “ Tujuan Ditunkannya Shari’ah Islam”, dalam Syamsul Bahri, dkk, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), 89-90.  Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 257. Lihat juga Ahmad Ali, Reformulasi al-Mas}lah}ah: Relevansi dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer, Tesis Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, 32.
[3] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 257-258.
[4] Ijtiha>d diartikan sebagai pengerahan segala daya upaya untuk melakukan sesuatu yang sulit. Sejalan dengan etimologi tersebut maka secara terminology ijtiha>d adalah pengerahan segala kemampuan terhadap sesuatu yang terpuji seperti penggalian hukum dari sumbernya. Jadi hal yang di ijtiha>di adalah sesuatu yang besar, yang sulit bukan sesuatu yang gampang. Karena itu para juris memberi syarat bagi orang yang akan berijtihad (mujtahid) dengan beberapa syarat. Lebih lanjut baca; Fakhr al-DI>n al-Ra>zi>, al-Mah}s}u>l fi ‘Ilm al-Us}u>l (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1992), VI: 6 dst. H{asan H{anafi>, Min al-Nas} ila al-Waqi’ (Kairo: Markaz al-Kita>b al-Nashr, 2005) III: 444. M. Hashim Kamali>, Principles of Islmaic Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), 366. Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Fikr, t.th), 301. Al-Shauka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l (Beirut: Da>r al-Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi>, t.th), 250.
[5]  Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}u>l (Baghdad: Musanna, 1970), I: 286-287. Mus}t}fa> Zaid, al-Maslah}ah fi al-Tashri’ al-Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T{u>fi> (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1964), 22. Hasbi Al-Shiddiqiey, Falsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2001), 324.
[6] ‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Qalam, 1978), 198.  Abu> Muh}ammad ‘Izz al-Di>n ‘Abd al-Sala>m, Qawa>’id al-Ah}ka>m fi Mas}a>lih} al-Ana>m (Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, 1990), 9-11. Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqat fi Us}u>l al-Ah}ka>m (Mesir: Da>r al-Fikr, 1431 H), II: 5.
[7]Ahmad RaysūnīNadhariyya>t al-Maqa>s}id ‘ind al-Ima>m al-Sya>t}ibī (Beirūt: al-Muassasah al-Jamī’iyyah li al-Dirāsāt wa al-Nashr wa al-Tauzī’, 1992),  32.
[8]Yūsuf Ah}mad Muh}ammad al-Badawy, Maqa>s}id al-Sharī’ah ‘ind ibn Taymiyyah (Yordān: Dār al-Nafāis, 2000), 75-114.
[9]H{ammādī al-‘Ubaydī, Al-Sha>t}ibī wa Maqa>s}id al-Sharī’ah (Mans}ūrāt Kulliyyat al-Da’wah al-Islāmiyyah wa Lajnah al-Huffādh ‘alā al-Turāth al-Islāmī, 1992), 134-135.
[10]H{ammādī al-‘Ubaydī, Al-Sha>t}ibī 135-136 dan ‘Izz al-Dīn ibn ‘Abd al-Salām, Qawā’id al-Ahkām, II: 73.
[11]H{ammādī al-‘Ubaydī, Al-Sha>t}ibī, 136.
[12]‘Abd al-Wahhāb Khalāf, Mas}a>dir al-Tashrī’ al-Isla>mī fī ma> la> Nas}s}a fī ha> (Kairo: Ma’had al-Dirāsāt al-‘Arabiyyah al-‘Āliyah, 1955),  87.
[13] Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t fī Us}ūl al-Sharī’ah (Mesir: Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā, t.t.), I:  32 dan 77 dan III: 137-138.
[14]‘Allāl al-Fāsī menulis sebuah buku dengan judul Maqa>s}id al-Sharī’ah wa Maka>rimuha>.
[15]Muhammad ‘Abdullāh Darrāz dalam pendahuluan kitab al-Muwa>faqa>t. Lihat Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t , I: 12.
[16]Rid}ā juga yang memberikan mukadimah pada kitab ini. Lihat pada pendahuluan Abū Ishāq al-Syāthibī, Kita>b al-I’tis}a>m (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1982), I: 3-4.
[17]H{ammādī al-‘Ubaydī, Al-Sha>t}ibī, 119-120. Sebelum mengemukakan pendapatnya, Hammādī terlebih dahulu menyebutkan definisi ibn ‘Āshūr. Namun ia menganggap definisi ibn ‘Āshūr bukan lah pengertian maqa>s}id melainkan keterangan penjelasan tentang cakupan wilayah maqa>s}id. Definisi yang dikemukakan oleh ibn ‘Āshūr dapat dilihat di Muh}ammad al-T{āhir ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id al-Sharī’ah al-Isla>miyyah (Mesir: Dār as-Salām li al-T{ibā’ah wa al-Nashr wa al-Tawzī’ wa al-Tarjamah, 2005), 49.
[18]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t, IV: 106
[19]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t II: 8.
[20]‘Abdullāh Darrāz, Pendahuluan, 6. Ibn ‘Āsyur juga menyatakan hal yang senada dengan ini. Lihat ibn ‘Āshūr, Maqās}id, 60-62.
[21]Ibn ‘Āshūr membagi maqa>s}id atau mashlahah ke dalam tiga pembagian; pertama dari sisi pengaruhnya terhadap tegaknya urusan umat, maka terbagi menjadi tiga; d}arūriyyah, hājiyyah, dan tahsīniyyah. Sedangkan dari segi hubungannya dengan umat, kelompok, atau individu, maka terbagi menjadi dua; kulliyyāt dan juz’iyyāt. Sementara jika dari sisi terwujudnya kebutuhan kepada maslahat dalam melaksanakan urusan umat, kelompok, atau individu, maka terbagi menjadi tiga; qat}’iyyah,z\anniyyah, dan wahmiyyah. Lihat Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id, 76.
[22]Muhammad Sa’īd Ramad}ān al-Būt}ī, D{awa>bit} al-Mas}lah}ah fī al-Sharī’ah al-Isla>miyyah (Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1977), 119.
[23]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t I: 13.
[24]Dalam al-Muwa>faqa>t J.I 38, J.II 10, J.III 10, dan J.IV 27 urutannya sebagai berikut: al-dīn, al-nafs, al-nasl, al-māl, dan al-‘aql. Sedangkan dalam al-Muwāfaqāt J.III 47: al-dīn, al-nafs, al-‘aql, al-nasl, dan al-māl. Sementara dalam al-Muwāfaqāt J.II 299 dan al-I’tisham J.II 179: al-dīn, al-nafs, al-nasl, al-‘aql dan al-māl.
[25]Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Mustas}fa (Beirūt: Dār al-Fikr, 1997), I: 258. Lihat juga komentar ‘Abdullāh Darrāz dalam al-Muwāfaqāt, II: 153.
[26]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t,  II: 8.
[27]Muhammad Sa’īd Ramad}ān al-Būt}ī, D{awa>bit}, 119-120.
[28]Ia menganggap qis}a>s} adalah bagian terkecil dari menjaga jiwa. Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id, 78.
[29]Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id, 78.
[30]Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id, 79.
[31]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t,  III: 46-47.
[32]Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id,  80.
[33]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t, IV: 28-29.
[34]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t,  IV: 29.
[35]Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id, 81.
[36]Muhammad Sa’īd Ramad}ān al-Būt}ī, D{awa>bit}, 120.
[37]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t, II: 396.
[38]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t,  III: 146.
[39]Untuk lebih jelasnya lihat Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id, 18-20.
[40]‘Abdullāh Darrāz, Pendahuluan, 10.
[41]Hammādī al-‘Ubaydī, As-Sha>t}ibī, 183.
[42]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t,  II: 299.
[43]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t, II: 394
[44]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t, II: 200.
[45]Abū Ishāq al-Shāt}ibī, Al-Muwa>faqa>t, II: 395.
[46] Zainun Kamal, “Menafsir Kembali Perkawinan antar Umat Beragama,” dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004), 150.
[47] Pada ayat ini Allah menerangkan tiga macam hal yang halal bagi mukmin, diantaranya kebolehan mengawini perempuan-perempuan merdeka baik dari mukminah maupun ahl al-kita>b, lihat Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi> (Beirut: Da>r al-Fikr, 2006), II: 267. Ali al-Sayis, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m (Mesir: Mu’assasa>t al-Mukhtasr, 2001), I: 347.
[48] Ahmad Ali, “Relevansi Maslahah dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum Islam Kontemporer,” Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jkt, 2008.
[49] Al-Mara>ghi>, Tafsi>r al-Mara>ghi>, I: 211 dan II: 267.  dalam diskursus tradisional, masalah perkawinan beda agama ini terbagi kepada tiga macam; pertama kehalalan mukmin kawin dengan perempuan ahl al-kitab. Kedua keharaman perempuan mukminah kawin dengan laki-laki non-muslim, dan ketiga keharaman laki-laki kawin dengan perempuan mushrik, begitu juga perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim. Lihat; Muhammad ‘Ali al-S{abuni, Tafsi>r Ayat al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 203. Rashid Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), VI: 159. Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1983), VI: 143.
[50] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar