MAQĀS{ID AL-SHARĪ’AH
Solusi Atas Problematika
Kontemporer
Oleh : Nurhadi, MS
Abstrak
Dinamika kehidupan yang bergerak cepat, meniscayakan
perubahan pada segala aspek kehidupan, sekaligus melahirkan persoalan-persoalan
fiqh yang kompleksitas kerumitannya menuntut kreatifitas Juris hukum Islam
untuk dapat memformulasikan metodologi yang tepat guna menjawab problematika
tersebut. Walaupun agaknya tidak lagi dapat disebut metode kontemporer, namun
formulasi metode istinbath hukum dalam kerangka maqa>s}id
al-shari>‘ah dapat digunakan sebagai solusi metodologis untuk menjawab
tantangan dan perubahan zaman.
Keyword: maqa>s}id al-shari>‘ah, mas}lah}ah, ijtiha>d,
Kontemporer
Pendahuluan
Keunikan manusia sebagai ciptaan yang paling sempurna
terletak pada kemampuannya beresonansi dan berkomunikasi dalam konteks kehidupannya. Dalam dinamika
kehidupan yang berkembang cepat, resonansi dan komunikasi akal pikiran manusia
melahirkan banyak perubahan. Kemajuan tekhnologi informasi, komunikasi,
transportasi dan kemajuan lainnya tidak hanya memberi dukungan total terhadap
pencerahan hidup, tetapi juga banyak menyisakan persoalan. Salah satunya adalah
aktifitas aktualisasi hukum Islam.
Fenomena dinamika ini menjadi tantangan
tersendiri bagi hukum islam untuk tampil elegan, lentur dan faktual dalam
menjawab problematika yang muncul. David Jhonston mengatakan bahwa karakteristik Hukum
Islam harus segera beralih dari metode klasik kepada metode mas}lah}ah yang
mencerahkan.[1]
Disamping pendapat orientalis diatas, para pakar hukum Islam juga menyatakan bahwa hukum Islam klasik yang
tertuang dalam kitab-kitab klasik sudah tidak relevan diimplementasikan di
kehidupan modern yang telah banyak berubah ini.[2]
Sehingga menjadi sebuah keharusan untuk segera melakukan reaktualisasi hukum
Islam dalam konteks kekinian.
Urgensi H{arakah al-tajdi>d dalam ranah hukum
islam tersebut dilakukan guna reposisi gerakan pemikiran hukum islam yang
terkesan mengalami stagnasi secara metodologis.[3] Rekontruksi
metodologis ini hanya bisa dilakukan melalui proses ijtiha>d[4], termasuk didalamnya menjadi sebuah keharusan
untuk melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman
klasik yang terkesan menjadi kebenaran yang bersifat final. Salah satu metode faktual dengan ragam konsep
kontemporer yang di wacanakan dalam ranah hukum Islam adalah mekanisme ijtiha>d yang harus berorientasi pada kemaslahatan.[5]
Kemaslahatan yang berdiri pada akar pokok maqa>s}id al-shari>‘ah sebagai
parameter tujuan penerapan hukum Islam, setidaknya digeneralisasi menjadi tercapainya maslahat dunia dan akhirat, sebab dishari’atkannya Islam tidak lain bertujuan merealisasikan hal
tersebut.[6]
Tulisan
ini mencoba menjelaskan tentang maqa>s}id al-shari>‘ah dan perannya dalam
ijtihad kontemporer. Mengetahui posisinya dalam menanggapi problematika
kontemporer sangat penting, apakah ia digunakan sebagai metode ijtihad atau
hanya sebatas alat bantu sebagaimana dilakukan ulama konvensional. Diskursus
maqa>s}id al-shari>‘ah tidak bisa dilepaskan dari al-mas}lah}ah, namun
tulisan ini membatasi diri untuk tidak
melebar kepada perbincangan al-mas}lah}ah.
Sejarah
Maqa>s}id al-Shari>‘ah
Sejarah
mencatat bahwa istilah maqa>s}id al-shari>‘ah sebagaimana dikatakan Ah}mad
Raysūni,
digunakan pertama kali oleh al-H{a>kim.
Dia lah yang pertama kali menyuarakan maqa>s}id al-shari>‘ah
melalui buku-bukunya, al-S{ala>h wa Maqa>s}iduh, al-Hajj wa Asra>ruh,
al-‘Illah, ‘Ilal al-Shari‘ah, ‘Ilal al-‘Ubu>diyyah dan juga bukunya al-Furu>q
yang kemudian diadopsi oleh al-Qarafi> menjadi judul buku karangannya.
Setelah bentangan pemikiran al-H{a>kim, muncul Abu> Mans}u>r al-Mātūrīdī
(w.333H.) dengan karyanya Ma’khadh al-Shar’ yang disusul kemudian oleh
Abū
Bakr al-Qafāl (w.365H.) dengan bukunya Us}ūl
al-Fiqh
dan Maha>sin al-Sharī’ah. Setelah al-Qaffal,
ada Abū
Bakr al-Abh}arī (w.375H.) dan al-Bāqillānī
(w.403H.) masing-masing dengan karyanya, diantaranya Mas’alah al-Jawa>b
wa al-Dala>’il wa al-‘Illah dan al-Taqrīb
wa al-Irsha>d fī Tartīb T{uruq al-Ijtiha>d.
Al-Juwaynī
(w.478H.) kemudian muncul setelah al-Bāqillānī,
lalu ada beberapa nama yang ikut berbicara tentang tema ini diantaranya adalah
al-Ghazālī (w.505H.), al-Rāzī
(w.606H.), al-Āmidī (w.613H.), al-Qarafī
(w.684H.), al-T{ūfī (w.716H.), ibn
Taymiyyah dan ibn Qayyim al-Jawziy (w.751H.).[7]
Sementara Yūsuf Ah}mad Muh}ammad al-Badawi> membagi sejarah maqa>s}id
al-shari>‘ah menjadi dua fase; fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase
setelah Ibn Taimiyyah.[8]
Berbeda
dengan Raysūnī dan Yūsuf al-Badawī,
H{ammādī
al-‘Ubaydī menyatakan bahwa orang yang pertama kali membahas maqa>s}id
al-shari>‘ah adalah salah seorang ta>bi’īn
bernama
Ibrāhim
al-Nakha’i> (w.96H). Ia pernah memberikan pernyataan bahwa sesungguhnya
hukum-hukum Allah memiliki tujuan, hikmah, dan maslahat untuk manusia untuk mendukung
pernyataannya, Ibrahim menggunkan sejumlah ayat yang diantaranya
al-Baqarah/2:22.[9]
Setelah
Ibrāhim
al-Nakha’i> muncul al-Ghazālī. Dalam al-Mustas}fā,
al-Ghazālī menawarkan teori al-Kulliyya>t
al-Khams al-D{arūriyyah yang menurutnya
menjadi dasar dari maqa>s}id al-shari>‘ah. Ia juga
memberikan perhatian khusus pada maslahat dalam pembahasan tersendiri di bawah
judul al-istis}la>h. Setelah al-Ghazālī,
ada ‘Izz al-Dīn ibn ‘Abd al-Salām yang sejalan dengan
al-Ghazālī, kemudian membagi hukum dari
sisi maslahat menjadi dua bagian; ibadah dan muamalah. Hukum ibadah menurutnya,
adalah hukum-hukum ta’abbudiy yang wajib diamalkan sebagaimana yang
digariskan tanpa memperhatikan alasan-alasan rasional yang terkandung di
dalamnya. Sementara hukum-hukum muamalah boleh jadi ditemukan alasan-alasan
rasionalnya jika akal mampu menemukannya.[10]
Pernyataan H{ammādī al-‘Ubaydī yang memunculkan nama al-Ghazālī sesudah Ibrāhim
al-Nakha’I terasa sangat janggal, mengingat jarak waktu keduanya yang begitu
jauh.
Najm
al-Dīn
al-T{ūfī
kemudian datang setelah ‘Izz al-Dīn. Ia merumuskan maqa>s}id
al-shari>‘ah dengan istilah yang ia sebut dengan “al-mas}a>lih}
al-Shar’iyyah.”[11]
Menurut ‘Abd al-Wahhāb Khalāf, istilah yang
digunakan oleh al-T{ūfī berbeda dengan “al-mas}a>lih
al-mursalah-nya Mālik. Mas}a>lih}nya
mazhab Malikiyyah digunakan sebagai sumber pengambilan hukum setelah al-Qur’an,
sunnah, ijma’ dan qiyas, sementara al-Tūfī
meletakkannya justru di atas keempat sumber tersebut.[12]
Baru
kemudian al-Shāt}ibī yang secara khusus
menulis tentang maqa>s}id al-shari>‘ah dalam juz II dari
kitab al-Muwa>faqa>tnya. Kelebihan al-Shāt}ibī
dengan pendahulunya tentang maqa>s}id adalah pembahasannya yang luas
dan mendalam. Al-Shāt}ibi> juga mendasari
pembahasan maqa>s}id dari al-Qur’an yang merupakan sumber pertama. Ia
pun memperluas cakupan bahasan maqa>s}id dengan tema-tema baru yang
belum pernah dilakukan oleh para pendahulunya. Tema-tema tersebut diantaranya
adalah maslahat dan batasal-batasannya, teori qas}d (tujuan) dalam
perbuatan, niat dalam hukum dan maqa>s}id, maqa>s}id dan
akal, maqa>s}id dan ijtihad, serta tujuan umum dari maqa>s}id.[13]
Rumusan al-Shāt}ibi>
dianggap lebih sistematis dan lengkap dibandingkan rumusan-rumusan para ulama
sebelumnya. Rumusannya kemudian telah mengilhami setidaknya beberapa ulama
berikutnya seperti Muh}ammad ‘Abduh, Muh}ammad Rashīd Rid}ā,
Abdullāh
Darrāz,
Muh}ammad al-T{āhir ibn ‘Āshūr
dan ‘Allāl al-Fāsī.[14]
‘Abduh misalnya, adalah orang pertama yang mengumumkan pentingnya
ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk mempelajari karya-karya al-Shāt}ibi
terutama al-Muwa>faqa>t.[15]
Demikan pula dengan muridnya, Rashīd Rid}ā
yang tidak hanya terpengaruh oleh maqa>s}id al-Shāt}ibi,
namun juga terpengaruh dengan al-I’tisha>mnya demi menghidupkan
kembali harakah salafiyyah yang sejak lama diusung oleh Rid}ā.[16]
Hal serupa juga terjadi pada ibn ‘Āshūr.
Ulama asal Tunisia ini telah menulis sebuah buku berjudul Maqa>s}id al-Shari>’ah
al-Isla>miyyah yang jika ditelaah secara utuh nyaris sama dengan al-Muwa>faqa>tnya
al-Shāt}ibi.
Pengertian,
Tujuan, dan Pembagian Maqa>s}id
Hammādī
berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan maqa>s}id adalah hikmah yang dituju oleh
pemberi syariat dalam seluruh syariat. Ia mendasari pendapatnya bahwa Allah
pasti memiliki “tujuan” tertentu dalam setiap penciptaannya (al-Anbiyā’/21:61).[17] Maqa>s}id
al-sharī’ah yang dimaksud disini adalah maqa>s}id
Allah yang membuat syariat, bukan tujuan-tujuan manusia.[18] Al-Syāthibī
menegaskan bahwa tujuan utama dari perintah syariat adalah untuk mengambil
maslahat, baik dunia, akhirat, atau keduanya. Sedangkan tujuan dasar dari
larangan adalah mutlak untuk menolak mafsadah dan bahaya. [19]
Senada
dengan al-Shāt}ibī, ‘Abdullāh
Darrāz
dalam pendahuluan al-Muwa>faqa>t karya al-Shāt}ibī
mengatakan bahwa maqa>s}id pada dasarnya bertujuan untuk menjaga
keteraturan alam dengan cara mewujudkan keberlangsungan kemaslahatan dan
menghilangkan kemafsadatan (jalb al-mas}a>lih} wa dar’ al-mafa>sid).[20]
Kemaslahatan ini lah yang kemudian dijadikan sebagai dasar penetapan maqa>s}id.
Maqa>s}id
atau
maslahat dibagi menjadi 3; al-mas}a>lih} al-d}aru>riyyah, al-mas}a>lih}
al-h}a>jiyyah, dan al-mas}a>lih} al-tah}sīniyyah.[21]
Maslahat yang pertama atau al-mas}a>lih} al-d}aru>riyyah adalah
menjaga agama (hifz al-dīn), jiwa (hifz al-nafs),
akal (hifz al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz
al-māl). Kelima hal ini kemudian oleh
ulama disebut dengan al-kulliyya>t al-khams.[22] Maqa>s}id
atau al- al-mas}a>lih} al-d}aru>riyyah ini adalah sesuatu yang
mesti adanya demi keberlangsungan hidup manusia. Al-Shāt}ibī
berpendapat bahwa tujuan awal dari syariat adalah menegakkan kelima dasar ini
dan menjaga keberlangsunganya.[23]
Hirarki kelima d}arūriyya>t ini bersifat ijtiha>dī
bukan naqlī, artinya ia disusun berdasarkan
pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra.
Dalam merangkai kelimanya, al-Shāt}ibī
sendiri terlihat tidak konsisten. Meskipun demikian, ia selalu menempatkan dīn dan nafs diatas
tiga yang lainnya (‘aql, nasl, ma>l).[24]
Sementara ‘Abdullāh Darrāz cenderung untuk
mendukung urutan komposisi yang dilakukan oleh al-Ghazālī
yaitu; al-dīn, al-nafs, al-‘aql, al-nasl dan al-ma>l.[25]
Maqa>s}id al-d}arūriyyah
al-khamsah ini
dianggap sebagai us}ūl al-dīn
(pokok-pokok
agama). Posisinya berada setingkat dibawah us}ūl
al-‘aqīdah, dan oleh karenanya seluruh rasul diutus untuk
kelima pokok ini. Bahkan al-Shāt}ibī menegaskan bahwa
kelimanya adalah us}ūl al-dīn, qawa>’id al-sharīah, dan kulliya>t
al-millah yang jika ada kerusakan menimpa sebagiannya maka dapat
mengakibatkan kehancuran agama seluruhnya.[26]
Oleh karenanya, al-Būt}ī menegaskan bahwa
kelimanya dapat ditemukan pada seluruh hukum syariat, baik itu akidah, ibadah,
muamalah, maupun akhlaq. Rukun iman dan islam disyariatkan untuk menjaga agama
(hifz\ al-dīn), hukum qishāsh untuk menjaga jiwa (hifz\
al-nafs), hukum larangan minum yang memabukkan untuk menjaga akal (hifz\
al-‘aql), hukum keluarga untuk menjaga keturunan (hifz\ al-nasl),
dan hukum pencurian untuk menjaga harta (hifz\ al-ma>l).[27]
Senada dengan al-Būt}ī,
bahkan lebih luas ibn ‘Āshūr menjelaskan bahwa
menjaga kelimanya berarti menjaga maslahat individu-individu dan lebih utamanya
menjaga kemaslahatan umat pada umumnya. Menjaga agama misalnya, berarti menjaga
agama setiap orang muslim dari segala hal yang dapat merusak akidah dan amal
perbuatannya. Sedangkan menjaga agama seluruh umat berarti menjaganya dari
segala hal yang dapat merusak sendi-sendi agama. Menjaga jiwa berarti menjaga
hilangnya nyawa baik individu maupun umat, dan menjaga jiwa tidak lah sekedar
dengan qis}a>s} melainkan menjaga hilangnya nyawa sebelum terjadi
seperti menghindar dari wabah penyakit sebagaimana tindakan antisipasi yang
pernah dilakukan oleh ‘Umar ibn Khaththāb yang melarang
pasukannya masuk Syam karena ada wabah penyakit di wilayah tersebut.[28]
Selanjutnya, -masih
menurut ibn ‘Āshūr- menjaga akal berarti menjaga
akal seseorang agar tidak kemasukan hal-hal yang dapat menyebabkan hilangnya
akal. Karena hilangnya akal seseorang dapat menyebabkan kehancuran, apalagi hal
tersebut menimpa sekelompok orang dalam jumlah besar (umat). Inilah yang
menjadi tujuan dasar untuk mencegah setiap individu dari mabuk dan mencegah
umat dari peredaran minuman keras, narkotika, dan obal-obat terlarang. Adapun
menjaga harta berarti menjaga harta umat dari kehilangan, atau berpindah tangan
tanpa ganti. [29]
Sementara menjaga keturunan berarti menjaga dari ketiadaan keturunan alias
adanya keharusan untuk melestarikan keturunan. Menjaga nasab dilakukan melalui
nikah dan larangan zina misalnya.[30]
Kelima maslahat utama
ini menurut al-Shāt}ibī, merupakan pokok
dakwah (us}ūl al-da’wah) di Mekah. Sementara
hukum syariat yang turun di Madinah adalah penjelasan hukum-hukum cabang yang
merupakan derivasi dari kelima maslahat tersebut sekaligus menjadi penegas dan
penetap untuk pelaksanaan hukum sesuai tuntutan dan bertujuan menjaga kelimanya
dari kehancuran. Oleh karenanya setiap perintah sesungguhnya adalah praktek
penetapan kelima maslahat tersebut, dan setiap larangan pada hakikatnya
bertujuan untuk menjaga kelimanya dari kerusakan.[31]
Karenanya segala sesuatu yang mewujudkan kelima unsur tersebut adalah maslahat,
dan apa pun yang merusaknya disebut masfsadah.
Mas}lah}ah yang kedua
adalah al-mas}a>lih} al-h}a>jiyyah yaitu sesuatu yang harus ada
untuk memenuhi kebutuhan. Sesuatu yang sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya
leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini tidak ada, maka ia
tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian hanya saja akan mengakibatkan mashaqah
dan kesempitan. Seperti hukum jual beli, pinjam meminjam, nikah, dan
bentuk-bentuk muamalah lainnya.[32] Al-mas}a>lih}
al-h}a>jiyyah ini berada setingkat dibawah al-mas}a>lih} al-d}arūriyyah karena ia merupakan
turunan dari al-mas}a>lih} al-d}arūriyyah dan berfungsi untuk
mewujudkan tujual-tujuan al-mas}a>lih} al-d}arūriyyah. Hukum nikah
misalnya berfungsi untuk mewujudkan hifz\ al-nasl.[33]
Al-mas}a>lih} al-h}a>jiyyah
juga
mencakup keringanan dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Allah. Hal yang
demikian bertujuan agar mukallaf tidak mendapatkan kesulitan dalam menjalankan
segala hal yang dibebankan kepadanya. Oleh karenanya, seseorang diperbolehkan
untuk tayammum ketika tidak ada air,
diperbolehkan berbuka puasa Ramadlān dan meringkas
shalat ketika bepergian agar dapat tetap menjaga agama sesuai kemampuan yang
ada.[34]
Maslahat yang ketiga
yaitu Al-mas}a>lih} al-tah}sīniyyah adalah sesuatu yang
sebaiknya ada demi sesuainya dengan akhlak yang baik atau adat istiadat yang berlaku.
Jika ia tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya
sesuatu, juga tidak akan menimbulkan mashaqqah dalam melaksanakannya.
Hanya saja seseorang dinilai tidak pantas dan tidak layak menurut ukuran
tatakrama dan kesopanan.[35]
Sebagai contoh misalnya, larangan untuk boros, pelit, kesamaan dalam memilih
pasangan hidup (kafa>’ah), etika makan, menutup aurat, dan segala hal
yang menyangkut etika, moral dan akhlaq yang mulia.[36]
Pembagian selanjutnya
dilakukan al-Shāt}ibī yang mengatakan
bahwa dalam masing-masing dari ketiga maqa>s}id al-sharī’ah
(d}arūriyyāt,
h}ājiyāt, dan tah}sīniyya>t) tersebut, terdapat
dua macam maqa>s}id; yaitu maqa>s}id as}liyyah
(asli/utama/pokok) dan maqa>s}id ta>bi’ah (pengikut) atau mukammilah
(penyempurna). Tujuan utama dari pernikahan misalnya, adalah menjaga
pelestarian keturunan dan meramaikan dunia. Sementara tujuan penyempurnanya
adalah memperoleh kebahagiaan dan kasih sayang dengan berpasangan dan
keturunan. Oleh karenanya peran maqa>s}id mukammilah adalah untuk
menetapkan maksud yang utama. [37]
Cara
Mengetahui Maqa>s}id
Sebelum
dikaji tentang mekanisme metodis untuk mengetahui maqa>s}id al-sharī’ah, penting diketahui
pemikiran al-Shāt}ibī tentang Maqa>s}id, bahwa hukum terbagi menjadi dua; yang dapat
dicerna oleh akal dan yang tidak dapat dicerna akal (ta’abbudiy). Hukum-hukum yang dapat dicerna oleh akal adalah
hukum-hukum yang dikaitkan dengan maqa>s}id al-sharī’ah. Jika illatnya (alasan) dapat ditemukan,
maka maslahat yang ditemukan itulah yang menjadi tujuan berlakunya sebuah
hukum. Meskipun demikian, hukum-hukum yang dapat dicerna akal tujuannya tidak
dapat serta merta ditemukan maksud dan tujuan yang sesungguhnya. Misalnya
mengapa hukuman bagi pezina adalah dirajam seratus kali sampai mati, mengapa
tidak menggunakan hukuman mati yang lain?[38]
Ibn ‘Āshūr
menyimpulkan, bahwa maqa>s}id al-sharī’ah dapat diketahui
melalui tiga sisi. Pertama, dari teks sebuah perintah dan larangan itu
sendiri. Kedua, melalui ;illat yang terkandung di dalam sebuah
perintah dan larangan. Ketiga, menyerahkan sepenuhnya maqa>s}id al-sharī’ah
kepada
Allah karena tidak ditemukan dari teks ataupun ‘illatnya.[39]
Maqa>s}id
al-Sharī’ah:
Posisinya dalam Ijtihad
Mengingat betapa
pentingnya mengetahui maqa>s}id yang dapat menjelaskan hikmah, tujuan
atau alasan yang sesungguhnya dari sebuah hukum, wajar kiranya jika ulama
menganggap maqa>s}id sebagai intinya fiqh. Oleh karenanya pengetahuan
terhadap maqa>s}id menjadi sebuah keharusan ketimbang mengetahui
kaidah ushul fiqh. Mengetahui maqa>s}id sesungguhnya adalah memahami
agama dan mengetahui aturan syariat.[40]
Al-Shāt}ibī
lah yang kemudian dianggap sebagai orang pertama yang menyuarakan pentingnya
berpegangan pada maqa>s}id al-sharī’ah dalam
berijtihad. Ia bahkan berpendapat bahwa
dalam berijtihad, mengetahui maqa>s}id al-sharī’ah
lebih
penting ketimbang menguasai bahasa Arab bagi orang yang ingin berijtihad dari
teks Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa orang yang akan berijtihad.
Karena ijtihad menurutnya berdasarkan maqa>s}id al-sharī’ah
dan maqa>s}id
dapat difahami oleh siapapun.[41]
Pentingnya maqa>s}id
al-sharī’ah dalam berijtihad dibuktikan
salah satunya melalui pendapatnya tentang nikah mut’ah dan nikah tahlīl.
Menurutnya,
maqa>s}id pernikahan adalah ketersambungan dan kasih sayang dalam
kelanggengan, sedangkan kedua jenis nikah tersebut bersifat temporer atau
sementara. Memahami maqa>s}id al-sharī’ah berarti membuka pintu
cakrawala ijtihad, karena ia adalah temuan syariat yang sesungguhnya. Dengan maqa>s}id
al-sharī’ah dapat diketahui apa yang
termasuk taat, maksiat, rukun, dan sunah.[42]
Meskipun maqa>s}id
al-sharī’ah dapat dipahami oleh setiap
orang, dan posisinya sungguhlah penting dalam berijtihad. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan ketika seseorang ingin berijtihad dengan menggunakan maqa>s}id
al-sharī’ah. Setidaknya, ada tiga
langkah yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid; pertama, mencari maqa>s}id
di dalam perintah atau larangan itu sendiri. Jika sebuah perintah menuntut adanya sebuah perbuatan, maka
perbuatan yang diperintahkan itulah maqa>s}idnya, dan jika sebuah
larangan menuntut adanya meninggalkan perbuatan (al-tark), maka yang
demikianlah yang menjadi maqa>s}idnya. Mujtahid tidak perlu lagi
mencari maqa>s}id al-sharī’ah dibalik perbuatan
tersebut, karena maqa>s}id al-sharī’ahnya telah ditemukan
secara jelas dari perintah dan larangan tersebut. Dan tujuan utamanya adalah
melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang. Model maqa>s}id
seperti ini dapat ditemukan pada hukum yang bersifat ta’abbudiy.[43]
Kedua,
berpegangan
pada ‘illat hukum. Hal ini dilakukan apabila perintah dan larangannya
tidak jelas, maka mujtahid berpegangan pada ‘illat hukum dengan cara
mengajukan pertanyaal-pertanyaan mengenai alasal-alasan yang mendasari adanya
sebuah hukum. Misalnya dengan mengajukan pertanyaan, mengapa Allah
memerintahkan untuk melakukan perbuatan ini atau melarang perbuatan ini? Jika
kemudian ‘illat hukumnya sudah ditemukan, seperti mengetahui bahwa nikah
adalah untuk pelestarian keturunan, jual beli adalah untuk mengambil manfaat
dari akad jual beli yang telah dilakukan, maka hal tersebut dapat diqiaskan.
Karena sesungguhnya ‘illat adalah maqāshid. Satu contoh
misalnya, sabda Rasulullah tentang larangan memtuskan sebuah perkara dalam
keadaan marah. ‘Illat larangan memutuskan adalah marah, dan maksud
sesungguhnya adalah kacaunya pikiran. Oleh karenanya, hal-hal yang mengganggu
pikiran dapat disamakan dengan marah, seperti lapar, terlalu kenyang, dan
dahaga.[44]
Ketiga, berhenti berijtihad
(tawaqquf) sampai benar-benar jelas maqa>s}id al-sharī’ahnya. Jika seorang
mujtahid tidak dapat menemukan maqa>s}id al-sharī’ahnya baik di dalam
hukum itu sendiri (langkah yang pertama) ataupun dari ‘illatnya, maka ia
harus berheti dan tidak melanjutkan ijtihadnya sampai benar-benar jelas maqa>s}id
al-sharī’ah nya.[45]
Satu contoh misalnya pengharaman makan babi yang sampai hari ini belum
ditemukan maqa>s}id al-sharī’ahnya sehingga dianggap
ta’abbudiy.
Oleh
karenanya, optimalisasi penggalian maqa>s}id al-sharī’ah
dalam
objek ijtihad memang sangat diperlukan, namun demikian tidak begitu saja
menegasikan metode-metode yang sudah baku dalam berijtihad sebagaimana yang
dilakukan oleh para mujtahid yang terdahulu. Disamping itu, ijtihad masa kini
tidak hanya dilakukan secara individu dalam sebuah komunitas ilmu pengetahuan
(baca: fiqh) saja. Ijtihad harus dilakukan dengan melibatkan -secara langsung
atau tidak- para ahli di pelbagai bidang pengetahuan yang berkaitan dengan
masalah yang sedang dibahas.
Maqa>s}id
dalam Masalah Kontemporer
- Perkawinan Beda
Agama
Problematika
perkawinan beda agama ini akan dikaji dalam perspektif hukum Islam dengan
metode maqa>s}id al-shari>’ah. Perkawinan semacam ini diatur dalam
al-Qur’an dengan term ahl al-kita>b dan mushri>k. dua hal ini
berbeda dalam pengertiannya, ahl al-kitab diartikan sebagai orang-orang yang
percaya pada salah seorang nabi dan salah satu kitab samawi. Sedang mushri>k
adalah orang yang tidak saja mempersekutukan Allah melainkan juga tidak percaya
pada Nabi dan kitab-kitab samawi.[46]
Ayat yang berkaitan dengan ahl al-Kita>b adalah surat al-Ma’idah (5) : 5[47]
dan al-Baqarah (2): 221 tentang orang mushrik, yang kemudian dijadikan sebagai
dasar perkawinan beda agama. Berdasarkan kedua ayat tersebut maka perkawinan
beda agama dibedakan menjadi dua; pertama perkawinan antara orang muslim
dengan perempuan ahl al-kitab diperbolehkan, sedangkan muslimah dengan
laki-laki ahl al-kitab tidak diperbolehkan. Kedua perkawinan
seorang muslim dan atau muslimah dengan mushrik tidak diperbolehkan.
Dengan
metode maqa>s}id al-Shari>’ah, perkawinan beda agama baik dari ahl
al-kita>b maupun mushrik, baik dilakukan oleh muslim maupun muslimah
tidak diperbolehkan. Di awal sudah dijelaskan bahwa prinsip maqa>s}id
al-shari>’ah didasarkan atas lima hal, yakni demi menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Dan kelimanya dapat terealisasi dengan baik apabila
sebuah intsitusi terkecil yakni keluarga dibina dengan baik, termasuk dalam hal
ini adalah agama. Kesimpulan ini menolak pendapat Ahmad Ali dengan mas}lah}ah
maqsu>dahnya yang menyatakan bahwa PBA boleh dilakukan berdasar atas
prinsip kesetaraan, kebebasan, dan kemaslahatan.[48] Juga agak berbeda dengan kesimpulan fuqaha
klasik; mengenai keabsahan perkawinan seorang muslim dengan perempuan ahl
al-kita>b dengan syarat memberikan mahar sebagai kewajiban, tidak bermaksud
untuk berzina, serta bukan dijadikan gundik.[49]
Dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia, perkawinan beda agama ini tidak
secara tegas dinyatakan. Hanya saja dalam KHI pasal 2 dinyatakan bahwa
perkawinan adalah suatu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah.
Kemudian pada pasal 3 dinyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
menciptakan kehidupan yang tenteram, bahagia, dan penuh kasih sayang.
Selanjutnya pada pasal 4 bahwa perkawinan baru dianggap sah apabila sesuai
dengan hukum Islam, dan hal ini sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Kemudian dalam pasal 44 KHI secara tegas dinyatakan bahwa seorang
perempuan tidak sah melakukan perkawinan dengan seorang laki-laki yang tidak
beragama Islam. Lebih dari itu pada Bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan
pada pasal 14 mengenai rukun perkawinan, baik saksi maupun wali salah satu
syaratnya harus beragama Islam. Dari beberapa pasal yang dikemukakan di atas,
memang tidak secara tegas dinyatakan boleh atau tidaknya seorang laki-laki
melakukan perkawinan dengan perempuan non-muslimah. Namun dapat ditarik
kesimpulan bahwa hal tersebut juga berlaku pada laki-laki, sehingga laki-laki
juga tidak boleh melakukan perkawinan dengan perempuan non-muslimah. Hal ini dilakukan
dengan metode maqa>s}id al-shari>’ah yakni selain menjaga agama, juga
menjaga keturunan.
- Inseminasi Buatan atau Bayi Tabung
Walaupun
permasalahan bayi tabung agaknya tidak lagi menjadi masalah fenomena kekinian,
karena telah banyak praktik ini dilakukan, namun sebagai bagian dari
permasalahan yang pernah menjadi polemik
di tengah-tengah masyarakat Islam kontemporer dan untuk membuktikan
abilitas hukum islam yang dinamis dalam menjawab permasalahan hukum, maka
Kajian tentang Inseminasi buatan ini dalam perspektif maqa>s}id
al-shari>’ah masih menarik
untuk dijadikan sebagai contoh aplikasi maqa>s}id al-shari>’ah
dalam konteks kekinian.
Istilah inseminasi
berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang berarti pembuahan atau
penghamilan secara tekhnologi. Dalam khasanah kedokteran islam, inseminasi
sering dimaknai dengan “Talqiihan” yang berarti mempertemukan atau
memadukan. Dari makna ini dapat dipahami bahwa terdapat dua masam inseminasi,
yaitu inseminasi Alamiah atau Natural insemination (Talqiih ath-Thobi’i)
dengan jalan hubungan badan antara dua jenis makhluk secara biologis. Dan
inseminasi buatan atau Artificial Insemination (Talqiih ash-Shina’i),
pada masyarakat arab proses ini sering digunakan untuk penyerbukan pohon kurma.
Bayi Tabung masuk kategori Artificial insemination yang dikenal dalam mayarakat
Arab dengan istilah “Thiflu al-Anabiib” yang berarti jabang bayi yang
dibiakan dalam cawan, setelah terjadi pembuahan kemudian disuntikkan kedalam
rahim seorang Ibu.[50]
Tekhnologi ini muncul
sebagai jawaban terhadap problematika sulitnya kehamilan pada pasangan suami
isteri yang disebabkan oleh adanya kelainan pada alat reproduksi, sekalipun
memiliki tingkat kesuburan ovum atau sperma yang baik. Dalam aplikasinya
penerapan tekhnologi ini sering dilakukan pada dua kondisi: Pertama, Inseminasi
Heterolog atau Artificial Insemination Donor (AID), yaitu inseminasi
buatan yang selnya bukan berasal dari pasangan suami istri. Dan kedua, Inseminasi
Homolog atau Artificial Insemination Husband (AIH), yaitu inseminasi
buatan yang berasal dari sel suami istri yang sah.
Dalam sudut pandang maqa>s}id
al-shari>’ah, memelihara keturunan merupakan bagian dari kebutuhan pokok
yang harus dipenuhi oleh manusia. Tetapi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut
tidak boleh berbenturan dengan kebutuhan lain yang memiliki tingkat lebih
tinggi, seperti memelihara agama atau memelihara aqal. Dari dua praktik
inseminasi yang umum dilakukan, maka dengan argumentasi Kondisi darurat dan
untuk memelihara keturunan, maka inseminasi Homolog dihukumkan Mubah
(Diperbolehkan). Tetapi Inseminasi Heterolog, dengan pertimbangan
dimungkinkan terjadinya kekacauan keturunan dalam hal garis Nasab dan hak-hak
dalam pewarisan serta masalah yang bersifat perdata lainya, sesuai dengan
Kaidah “Kesulitan tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan kesulitan baru”,
disamping masuk kategori perbuatan Zina, maka inseminasi jenis ini diharamkan.
- Pencatatan Perkawinan
Untuk
menyelamatkan keturunan, Islam, misalnya, mensyariatkan perkawinan dan melarang
perzinahan. Untuk melindungi
keturunan, sebagai tujuan d}aru>ri> melalui
perkawinan, dibutuhkan
(terjemahan harfiah kata h}ajat )
kelengkapan, misalnya, dokumentasi (bukti tertulis). Tanpa KUA, sebagai pihak yang berwenang mendokomentasi, perkawinan
bisa saja dilakukan. Namun demikian, kehadiran
KUA, dengan berbagai
perangkat pelengkapnya, justru
akan lebih menjamin
hak dan kewajiban para
pihak, khususnya ketika
terjadi sengketa. Akta
nikah, yang akan
dijadikan sebagai bukti tertulis,
bisa diperindah (terjemahan harfiah kata tah}si>niyyat)
sesuai dengan minat
(selera), bakat dan kemampuan setempat.
Persoalannya
tidak hanya berhenti di sini, status sesuatu yang semula hanya kebutuhan dapat ditingkatkan menjadi
keharusan (Al-h}a>jah tanzil manzilah al-d}aru>rah) sesuai dengan kaidah ; perintah untuk
menjalankan sesuatu –yaitu, menikah di
Indonesia- sama dengan perintah melaksanakan sarana-sarananya , yaitu harus
memiliki akta nikah: harus menikah di hadapan pejabat KUA. Di sisi lain, al-h}a>kim
(pemegang otoritas) diberi
kewenangan oleh agama
untuk mewajibkan barang mubah,
yaitu menulis kata
menikah di KTP,
karena jika tidak
diwajibkan akan menimbulkan mafsadat: banyak
perempuan menjadi korban
penipuan. Dengan dilengkapi
prinsip sadd al-dhari>’ah (priventive
action) ini, maka semakin
lengkaplah proses pencapaian maqa>s}id
d}aru>riah perlindungan anak
melalui perkawinan.
Agar dapat
berlaku mengikat umat
Islam Indonesia, maka hukum
ini harus diputuskan melalui ijtiha>d jama>’i> (ijmak;
konsensus) –dalam pengertian
legislasi baik berdasarkan
Qur’an, Sunnah atau ra’yi melalui konsultasi dengan perintah Negara- bukan ijtiha>d fardi>. Ijtih}ad
jama>’i> dipilih karena
ijtiha>d fardi> akan melahirkan silang pendapat. Legitimasi ijtiha>d
fardi> sangat rendah. Di samping itu, ijtiha>d jama’i> akan
menawarkan lebih banyak pilihan kualitatif karena pandangan kolektif lebih baik
daripada pandangan individual.
Legitimasinya pun lebih
kuat. Demi tujuan
ijtihad jama’i, Prof.
Hasbi Ash Shiddieqy menyarankan agar pendukung fikih
Indonesia mendirikan lembaga ahl al-h}all wa al-‘aqd. Lembaga ini ditopang
oleh dua sub-lembaga.
Pertama, lembaga politik (hay’at al-siya>sah), yang
anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang dipilih rakyat, dari
rakyat dan untuk rakyat, tetapi harus menguasai bidang yang mereka wakili.
Kedua, lembaga ahl al-ijtiha>d (kaum
mujtahid) dan ahl al-ikhtis}as}
(kaum spesialis) yang juga merupakan perwakilan
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sampai di sini fikih Indonesia
sebetulnya masih belum membumi, sehingga perlu di Indonesiakan.
Dalam
konteks ini dapat dikatakan bahwa hay’at al-tashri>’iyyah itu adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan mujtahid-mujtahid yang diambil dari
perwakilan organisasi Islam semisal Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan
Islam dan Al-Irsyad. Di sisi lain, ahl al-ikhts}as} versi Hasbi dapat
diterjemahkan menjadi Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI). Lebih lanjut, Hay’at al-Siyasah versi
Hasbi dapat diterjemahkan menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Ini dilakukan dengan alasan ‘urf dalam pengertian yang lebih
luas: kedua lembaga tersebut merupakan wadah bagi bangsa Indonesia melahirkan
undang-undang. Umat Islam dapat memanfaatkan lembaga ini untuk tujuan yang sama
demi terundangkannya nila-nilai hukum
Islam yang pelaksanaannya membutuhkan legitimasi kekuasaan, dengan tidak perlu untuk bersikap eksesif
pada bidang-bidang yang tidak
membutuhkan legitimasi kekuasaan. Jika semua anggota ahl al-h}all wa al-‘aqd
sepakat untuk memberlakukan Rancangan
Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan, maka undang-undang ini merupakan manisfestasi fikih
Indonesia. Ia berlaku mengikat bagi umat
Islam Indonesia .
Statusnya akan sama dengan, misalnya,
Undang-Undang No. 1/1974 tentang perkawinan, Undang-Undang No. 7/1989 tentang Peradilan
Agama, Instruksi Presiden No. 1/1991
tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bahkan, undang-undang
yang tidak berlabelkan Islam-pun
mestinya juga merupakan manifestasi Fiqh Indonesia semisal Undang-Undang 1945
dan UU No. 14/1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, selama undang-undang ini terbukti bermaksud membela maqa>s}id
shari>’ah tidak menghalalkan barang haram dan tidak mengharamkan barang
halal, plus kemaslahatannya bersifat hakiki, nyata dan untuk umum. Misalnya,
pasal 150 ayat 1 Undang-Undang Lalu
Lintas berusaha melindungi lingkungan hidup dari pencemaran, padahal maqa>s}id
shari>’ah tingkat pertama (d}aru>ri>) bermaksud melindungi
jiwa, harta, agama, keturunan dan
kehormatan, yang tidak
dapat dicapai dengan
lingkungan yang tidak sehat. Jadi di sini berlaku rumusan
bahwa melindungi lingkungan wajib demi melindungi jiwa (ma> la>
yatimm al-wajib illa
bih fahuwa wajib).
Jika lingkungan ini
tidak diselamatkan, maka
akan menelan korban: kekayaan
menurun, keturunan terancam, yang juga akan berakibat mempersulit pelaksanaan
ajaran agama. Di sini terlihat bahwa pasal ini tidak menghalalkan barang haram
atau mengharamkan barang halal. Benar-benar sejalan dengan maqa>s}id shari>’ah
yang karena diputuskan oleh Ahl al-Hall wa al-‘Aqd maka mengikat umat
Islam Indonesia. Perwujudan maqa>s}id shari>’ah ini telah didahului dengan upaya perlindungan terhadap
akal dan harta, seperti terlihat dalam, misalnya, pasal 27 (1) pasal 31 (1)
Undang-Undang Dasar.
Undang-undang
Lalu Lintas ini dapat ditinjau kembali oleh ijmak (konsensus) lain dari lembaga yang sama jika lembaga
tesebut memang menghendaki demikian dikarenakan alasal-alasan tertentu. Namun
demikian, jika anggota ahl al-hall wa al-‘aqd tidak sepakat untuk
menetapkan suatu undang-undang, maka undang-undang ini dapat ditetapkan oleh
MUI sebagai fatwa atau MUI dapat mengundur pelaksanaan rancangan undang-undang
itu kemudian berusaha untuk mengajukannya kembali ke DPR/MPR. Jika adat daerah tertentu
tidak dapat diberlakukan pada skala nasional, maka diupayakan agar berlaku pada
tingkat propinsi atau kabupaten bersangkutan. Jika penafsiran tentang konsep ijtiha>d
jama>’i> Hasbi ini dilaksanakan, maka otomatis akan melumpuhkan teori
resepsi. Kerjasama tentu lebih
baik. Jadi, pengundangan Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan
Agama Bidang Perkawinan akan melengkapi dan memperkuat sistem hukum
nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. Reformulasi
al-Mas}lah}ah: Relevansi dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum
Islam Kontemporer, Tesis Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008.
Āshūr,
Muh}ammad al-T{āhir ibn. Maqa>s}id al-Sharī’ah
al-Isla>miyyah. Mesir: Dār
as-Salām
li al-T{ibā’ah
wa al-Nashr wa al-Tawzī’ wa al-Tarjamah, 2005.
Badawy, Yūsuf
Ah}mad Muh}ammad al-. Maqa>s}id al-Sharī’ah
‘ind ibn Taymiyyah. Yordān:
Dār
al-Nafāis,
2000.
Būt}ī,
Muhammad Sa’īd Ramad}ān
al-. D{awa>bit} al-Mas}lah}ah fī
al-Sharī’ah
al-Isla>miyyah (Beirūt:
Muassasah al-Risālah, 1977.
Ghazālī,
Abū
Hāmid
al-. al-Mustas}fa. Beirūt: Dār
al-Fikr, 1997.
H{anafi>, H{asan. Min
al-Nas} ila al-Waqi’. Kairo: Markaz al-Kita>b al-Nashr, 2005.
Hamka, Tafsir
al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1983.
Jhonston, David. “A
Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Us}u>l
al-Fiqh” dalam Islamic Law and Society. Leiden: KoninklijkeBrill NV,
2004.
Kamal, Zainun.
“Menafsir Kembali Perkawinan antar Umat Beragama,” dalam Maria Ulfah Anshor dan
Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif
Perempuan dan Pluralisme. Jakarta: KAPAL Perempuan, 2004.
Kamali>, M. Hashim.
Principles of Islamic Jurisprudence. Cambridge: Islamic Texts Society,
1991.
Khalāf,
‘Abd al-Wahhāb.
Mas}a>dir al-Tashrī’ al-Isla>mī
fī
ma> la> Nas}s}a fī ha>.
Kairo: Ma’had al-Dirāsāt
al-‘Arabiyyah al-‘Āliyah, 1955.
Khalla>f, ‘Abd
al-Wahha>b. ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Qalam, 1978.
Manan, Abdul. Reformasi
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Mara>ghi>,
Ah}mad Mus}t}afa> al-. Tafsi>r al-Mara>ghi>. Beirut: Da>r
al-Fikr, 2006.
Muzanni, Saiful. Islam
Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution. Bandung: Mizan, 1995.
Ra>zi>, Fakhr
al-Di>n al-. al-Mah}s}u>l fi ‘Ilm al-Us}u>l. Beirut: Mu’assasah
al-Risa>lah, 1992.
Raysūnī, Ahmad.
Nadhariyya>t al-Maqa>s}id ‘ind al-Ima>m al-Sha>t}ibī.
Beirūt:
al-Muassasah al-Jamī’iyyah li al-Dirāsāt
wa al-Nashr wa al-Tauzī’, 1992
Rid}a>, Rashid. Tafsi>r
al-Mana>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999.
S{abuni, Muhammad ‘Ali
al-. Tafsi>r Ayat al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n. Beirut: Da>r
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999.
Sala>m, Abu>
Muh}ammad ‘Izz al-Di>n ‘Abd al-. Qawa>’id al-Ah}ka>m fi
Mas}a>lih} al-Ana>m. Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, 1990.
Sayis, Ali al-. Tafsi>r
Aya>t al-Ah}ka>m. Mesir: Mu’assasa>t al-Mukhtasr, 2001.
Shāt}ibī,
Abū
Ishāq
al-. Al-Muwa>faqa>t fī Us}ūl
al-Sharī’ah.
Mesir: Al-Maktabah al-Tijāriyyah al-Kubrā,
t.t.
Shāt}ibi>,
Abū
Ishāq
al-. Kita>b al-I’tis}a>m. Beirut: Dār
al-Ma’rifah, 1982.
Shauka>ni>, Al-.
Irsha>d al-Fuh}u>l. Beirut: Da>r al-Ih}ya’ al-Turath
al-‘Arabi>, t.th.
Shiddiqiey, Hasbi Al-.
Falsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Riski Putra, 2001.
Suryadilaga, M.
Alfatih. “ Tujuan Ditunkannya Shari’ah Islam”, dalam Syamsul Bahri, dkk, Metodologi
Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008.
Ubaydī,
H{ammādī
al-.Al-Sha>t}ibī wa Maqa>s}id
al-Sharī’ah.
Mans}ūrāt
Kulliyyat al-Da’wah al-Islāmiyyah wa Lajnah al-Huffādh
‘alā
al-Turāth
al-Islāmī,
1992.
Zahrah, Muh}ammad
Abu>. Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Fikr, t.th.
Zaid, Mus}t}afa>. al-Maslah}ah
fi al-Tashri’ al-Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T{u>fi>. Kairo:
Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1964.
[1] David Jhonston, “A
Turn in the Epistemology and Hermeneutics of Tweentieth Century Us}u>l
al-Fiqh” dalam Islamic Law and Society (Leiden: KoninklijkeBrill NV,
2004), 255. Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), 257.
[2] Di dalam al-Qur’an
sendiri hanya terdapat sekitar 500 ayat yang sifatnya mutlak, absolut, kekal
dan tidak dapat berubah. Dan selebihnya merupakan ayat yang mengatur hukum
secara global dan universal sehingga dengan sifatnya yang global tersebut mampu
menjawab semua tantangan. Artinya interpretasi selalu berubah seiring perubahan
zaman dengan tujuan fleksibelitas hukum Islam dapat terus eksis. Lihat; Saiful
Muzanni, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1995), 33. M. Alfatih Suryadilaga, “ Tujuan Ditunkannya Shari’ah Islam”,
dalam Syamsul Bahri, dkk, Metodologi Hukum Islam (Yogyakarta: Penerbit
Teras, 2008), 89-90. Abdul Manan,
Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 257. Lihat juga Ahmad Ali, Reformulasi
al-Mas}lah}ah: Relevansi dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum
Islam Kontemporer, Tesis Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008, 32.
[4] Ijtiha>d
diartikan sebagai pengerahan segala daya upaya untuk melakukan sesuatu yang
sulit. Sejalan dengan etimologi tersebut maka secara terminology ijtiha>d
adalah pengerahan segala kemampuan terhadap sesuatu yang terpuji seperti
penggalian hukum dari sumbernya. Jadi hal yang di ijtiha>di adalah sesuatu
yang besar, yang sulit bukan sesuatu yang gampang. Karena itu para juris
memberi syarat bagi orang yang akan berijtihad (mujtahid) dengan beberapa syarat.
Lebih lanjut baca; Fakhr al-DI>n al-Ra>zi>, al-Mah}s}u>l fi ‘Ilm
al-Us}u>l (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1992), VI: 6 dst. H{asan
H{anafi>, Min al-Nas} ila al-Waqi’ (Kairo: Markaz al-Kita>b
al-Nashr, 2005) III: 444. M. Hashim Kamali>, Principles of Islmaic
Jurisprudence (Cambridge: Islamic Texts Society, 1991), 366. Muh}ammad
Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Fikr, t.th), 301.
Al-Shauka>ni>, Irsha>d al-Fuh}u>l (Beirut: Da>r al-Ih}ya’
al-Turath al-‘Arabi>, t.th), 250.
[5] Al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min
‘Ilm al-Us}u>l (Baghdad: Musanna, 1970), I: 286-287. Mus}t}fa> Zaid, al-Maslah}ah
fi al-Tashri’ al-Isla>mi> wa Najm al-Di>n al-T{u>fi> (Kairo:
Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1964), 22. Hasbi Al-Shiddiqiey, Falsafah
Hukum Islam (Semarang: Pustaka Riski Putra, 2001), 324.
[6] ‘Abd al-Wahha>b
Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Qalam, 1978),
198. Abu> Muh}ammad ‘Izz al-Di>n
‘Abd al-Sala>m, Qawa>’id al-Ah}ka>m fi Mas}a>lih} al-Ana>m
(Beirut: Mu’assasah al-Rayyan, 1990), 9-11. Al-Sha>t}ibi>, al-Muwa>faqat
fi Us}u>l al-Ah}ka>m (Mesir: Da>r al-Fikr, 1431 H), II: 5.
[7]Ahmad Raysūnī, Nadhariyya>t
al-Maqa>s}id ‘ind al-Ima>m al-Sya>t}ibī (Beirūt:
al-Muassasah al-Jamī’iyyah li al-Dirāsāt
wa al-Nashr wa al-Tauzī’, 1992), 32.
[8]Yūsuf
Ah}mad Muh}ammad al-Badawy, Maqa>s}id al-Sharī’ah
‘ind ibn Taymiyyah
(Yordān:
Dār
al-Nafāis,
2000), 75-114.
[9]H{ammādī
al-‘Ubaydī, Al-Sha>t}ibī wa Maqa>s}id al-Sharī’ah (Mans}ūrāt
Kulliyyat al-Da’wah al-Islāmiyyah wa Lajnah al-Huffādh
‘alā
al-Turāth
al-Islāmī,
1992), 134-135.
[10]H{ammādī
al-‘Ubaydī, Al-Sha>t}ibī 135-136 dan ‘Izz al-Dīn
ibn ‘Abd al-Salām, Qawā’id
al-Ahkām, II: 73.
[12]‘Abd al-Wahhāb
Khalāf,
Mas}a>dir al-Tashrī’ al-Isla>mī
fī ma> la> Nas}s}a fī ha> (Kairo: Ma’had al-Dirāsāt
al-‘Arabiyyah al-‘Āliyah, 1955), 87.
[13] Abū
Ishāq
al-Shāt}ibī,
Al-Muwa>faqa>t fī Us}ūl
al-Sharī’ah (Mesir: Al-Maktabah al-Tijāriyyah
al-Kubrā, t.t.), I:
32 dan 77 dan III: 137-138.
[15]Muhammad ‘Abdullāh
Darrāz
dalam pendahuluan kitab al-Muwa>faqa>t. Lihat Abū
Ishāq
al-Shāt}ibī,
Al-Muwa>faqa>t , I: 12.
[16]Rid}ā
juga yang memberikan mukadimah pada kitab ini. Lihat pada pendahuluan Abū
Ishāq
al-Syāthibī,
Kita>b al-I’tis}a>m (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1982),
I: 3-4.
[17]H{ammādī
al-‘Ubaydī, Al-Sha>t}ibī, 119-120. Sebelum
mengemukakan pendapatnya, Hammādī
terlebih dahulu menyebutkan definisi ibn ‘Āshūr.
Namun ia menganggap definisi ibn ‘Āshūr
bukan lah pengertian maqa>s}id melainkan keterangan penjelasan
tentang cakupan wilayah maqa>s}id. Definisi yang dikemukakan oleh ibn
‘Āshūr
dapat dilihat di Muh}ammad al-T{āhir ibn ‘Āshūr,
Maqa>s}id al-Sharī’ah al-Isla>miyyah (Mesir: Dār
as-Salām
li al-T{ibā’ah wa al-Nashr wa al-Tawzī’ wa al-Tarjamah,
2005), 49.
[20]‘Abdullāh
Darrāz,
Pendahuluan, 6. Ibn ‘Āsyur juga menyatakan hal yang
senada dengan ini. Lihat ibn ‘Āshūr, Maqās}id, 60-62.
[21]Ibn ‘Āshūr
membagi maqa>s}id atau mashlahah ke dalam tiga
pembagian; pertama dari sisi pengaruhnya terhadap tegaknya urusan umat, maka
terbagi menjadi tiga; d}arūriyyah, hājiyyah, dan tahsīniyyah. Sedangkan dari segi
hubungannya dengan umat, kelompok, atau individu, maka terbagi menjadi dua; kulliyyāt
dan juz’iyyāt. Sementara jika dari
sisi terwujudnya kebutuhan kepada maslahat dalam melaksanakan urusan umat,
kelompok, atau individu, maka terbagi menjadi tiga; qat}’iyyah,z\anniyyah,
dan wahmiyyah. Lihat Ibn ‘Āshūr, Maqa>s}id,
76.
[22]Muhammad Sa’īd
Ramad}ān
al-Būt}ī,
D{awa>bit} al-Mas}lah}ah fī al-Sharī’ah
al-Isla>miyyah
(Beirūt:
Muassasah al-Risālah, 1977), 119.
[24]Dalam
al-Muwa>faqa>t J.I 38, J.II 10, J.III 10, dan J.IV 27 urutannya
sebagai berikut: al-dīn, al-nafs, al-nasl,
al-māl,
dan al-‘aql. Sedangkan dalam al-Muwāfaqāt J.III 47: al-dīn, al-nafs,
al-‘aql, al-nasl, dan al-māl. Sementara
dalam al-Muwāfaqāt
J.II 299 dan al-I’tisham J.II 179: al-dīn, al-nafs, al-nasl,
al-‘aql dan
al-māl.
[25]Abū
Hāmid al-Ghazālī,
al-Mustas}fa (Beirūt: Dār al-Fikr, 1997), I:
258. Lihat juga komentar ‘Abdullāh Darrāz
dalam al-Muwāfaqāt, II: 153.
[46] Zainun Kamal, “Menafsir
Kembali Perkawinan antar Umat Beragama,” dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin
Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif
Perempuan dan Pluralisme (Jakarta :
KAPAL Perempuan, 2004), 150.
[47] Pada ayat ini Allah
menerangkan tiga macam hal yang halal bagi mukmin, diantaranya kebolehan
mengawini perempuan-perempuan merdeka baik dari mukminah maupun ahl
al-kita>b, lihat Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi>, Tafsi>r
al-Mara>ghi> (Beirut :
Da>r al-Fikr, 2006), II: 267. Ali al-Sayis, Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m
(Mesir: Mu’assasa>t al-Mukhtasr, 2001), I: 347.
[48] Ahmad Ali,
“Relevansi Maslahah dan Implementasinya dalam Pengembangan Pemikiran Hukum
Islam Kontemporer,” Tesis UIN Syarif Hidayatullah Jkt, 2008.
[49] Al-Mara>ghi>, Tafsi>r
al-Mara>ghi>, I: 211 dan II: 267.
dalam diskursus tradisional, masalah perkawinan beda agama ini terbagi
kepada tiga macam; pertama kehalalan mukmin kawin dengan perempuan ahl
al-kitab. Kedua keharaman perempuan mukminah kawin dengan laki-laki
non-muslim, dan ketiga keharaman laki-laki kawin dengan perempuan
mushrik, begitu juga perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim. Lihat;
Muhammad ‘Ali al-S{abuni, Tafsi>r Ayat al-Ah}ka>m min al-Qur’a>n
(Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 203. Rashid Rid}a>, Tafsi>r
al-Mana>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), VI: 159. Hamka,
Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1983), VI: 143.
[50] Mahjuddin, Masailul Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar